Blog Archive

Categories

Popular Posts

Pages

Langsung ke konten utama

CATUR ASRAMA

 




A. Pengertian Catur Asrama

            Kata Catur Asrama berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari kata Catur dan Asrama. Catur berarti empat dan kata Asrama berarti tempat atau lapangan ’kerohanian’. Kata ’asrama’ sering juga dikaitkan dengan jenjang kehidupan. Jenjang kehidupan itu berdasarkan atas tatanan rohani, waktu, umur, dan sifat perilaku manusia. Susunan tatanan itu mendukung atas perkembangan rohani seseorang. Perkembangan rohani berproses mulai dari bayi, muda, dewasa, tua, dan mekar. Kemudian berkembang menjadi rohani yang mantap mengalami ketenangan dan keseimbangan. Jadi Catur Asrama berarti empat jenjang kehidupan yang berlandaskan petunjuk kerohanian Hindu.

            Adanya empat jenjang kehidupan dalam ajaran agama Hindu dengan jelas memperlihatkan bahwa hidup itu diprogram menjadi empat fase dalam kurun waktu tertentu. Tegasnya dalam satu lintasan hidup diharapkan manusia mempunyai tatanan hidup melalui empat tahap program itu, dengan menunjukkan hasil yang sempurna. Dalam fase pertama, kedua, ketiga, dan keempat rumusan tatanan hidup dipolakan. Sehingga dapat digariskan bahwa pada umumnya orang yang berada dalam fase pertama dan tidak boleh atau kurang tepat menuruti tatanan hidup dalam fase yang kedua, ketiga, ataupun keempat.

            Demikian seterusnya diantara satu fase hidup dengan kehidupan berikutnya. Bilamana hal itu terjadi dan diikuti secara tekun maka kerahayuan hidup akan mudah tercapai. Bilamana dilanggar tentu yang bersangkutan akan mengalami hal yang sebaliknya. Jadi untuk memudahkan menuju tujuan hidup maka agama Hindu mengajarkan dan mencanangkan empat jenjang tatanan kehidupan ini. Masing- masing jenjang itu, memiliki warna tersendiri dan semua jenjang itu mesti dilewati hingga akhir hayat dikandung badan. Setelah itu diharapkan atma menjadi bersatu dengan sumbernya yaitu Parama Atma.

 

B. Bagian-bagian Catur Asrama dan Kewajibannya

            Naskah Jawa Kuno yang diberi nama Agastya Parwa menguraikan tentang bagian-bagian Catur Asrama. Dalam kitab Silakrama itu dijelaskan sebagai berikut:

 

“Catur Asrama ngaranya Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha, Bhiksuka, Nahan tang Catur Asrama ngaranya” (Sīlakrama hal 8).

 

Terjemahan:

 

Yang bernama Catur Asrama adalah Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha, dan Bhiksuka.

 

            Berdasarkan uraian dari Agastya Parwa itu menjadi sangat jelaslah pembagian Catur Asrama itu. Catur asrama ialah empat fase pengasramaan berdasarkan petunjuk kerohanian. Dari keempat pengasramaan itu diharapkan mampu menjadi tatanan hidup umat manusia secara berjenjang. Masing-masing tatanan dalam tiap jenjang menunjukkan proses menuju ketenangan rohani. Sehingga diharapkan tatanan rohani pada jenjang Moksa sebagai akhir  pengasramaan  dapat  dicapai  atau  dilaksanakan  oleh  setiap  umat. Adapun pembagian dari Catur Asrama itu terdiri atas:

1.  Brahmacari

Brahmacari terdiri atas dua kata yaitu kata Brahma dan kata cari. Kata Brahma berarti ilmu pengetahuan atau pengetahuan suci. Kata cari berarti tingkah laku dalam mencari atau mengejar ilmu pengetahuan. Jadi Brahmacari berarti tingkatan hidup bagi orang yang sedang menuntut ilmu pengetahuan.

“Brahmacari ngaranya sang sedeng mangabhyasa Sang Hyang Śāstra,mnwang Sang Wruh ring tingkah Sang hyang aksara, sang mangkana karamanya sang Brahmacari ngaranya. (Silakrama hal 8)

 

Terjemahan:

 

Brahmacari namanya bagi orang yang sedang menuntut ilmu pengetahuan dan yang mengetahui perihal ilmu huruf (aksara).

 

Brahmacari atau Brahmacarya dikenal juga dengan istilah hidup aguron-guron atau Asewaka guru. Dalam istilah Jawa kuno disebut dengan lapangan hidup asrama, yaitu tempat penampungan bagi siswa yang sedang menuntut ilmu. Di dalam tingkatan Brahmacari ini guru mendidik para siswa atau murid dengan petunjuk kerohanian, kebajikan, amal, pengabdian dan semuanya itu didasari oleh Dharma (kebenaran).

Demikian juga Brahmacari merupakan pondasi/dasar untuk menempuh tingkat dan jenjang kehidupan lainnya seperti Grhastha (berumah tangga) wanaprastha dan Biksuka lapangan  atau  tingkat  hidup  pada  masa menuntut ilmu ini. Siswa tidak boleh melakukan perkawinan. Jadi hubungan seksual itu sangat dilarang.Namun setelah tamat masa Brahmacari tersebut, menurut pandangan sosiologi dalam masyarakat Hindu, maka dilanjutkan dengan kehidupan jenjang yang kedua yaitu Grhastha hidup berumah tangga/suami istri.

Dengan adanya hubungan sosiologis tersebut maka tingkat hidup Brahmacari itu dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu:

1).   Sukla Brahmacari

Sukla Brahmacari yaitu orang yang tidak kawin sejak dari kecil sampai tiba ajalnya atau mati. Orang yang melaksanakan Sukla Brahmacari dengan sungguh- sungguh maka dalam ingatannya tidak ada terlintas nafsu seks dan beristri. Kesadaran melaksanakan Sukla Brahmacari ini memang tumbuh dari getaran batin dan hatinya yang suci murni. Bukan disebabkan karena menderita penyakit kelamin (impoten) dan lain sebagainya.

Pada tahap ini ditekankan bahwa pelaksanaan Sukla Brahmacari itu sudah merupakan niat secara murni dari sejak lahir sampai meninggal. Di dalam buku Silakrama halaman 32 ada disebutkan sebagai berikut:

Sukla brahmacari ngaranya tan parabi sangkan rare, tan maju tan kuring sira, adyapi teku ring wreddha teewi tan pangucap arabi sangkan pisan. (Sīlakrama hal. 32)

 

Terjemahan:

 

Sukla Brahmacari namanya orang yang tidak kawin sejak dari lahir sampai meninggal. Hal ini bukan disebabkan karena impoten atau pun lemah sahwat. Dia takkan pernah kawin walaupun sampai umur lanjut.

 

2).   Sawala Brahmacari

Sawala Brahmacari ialah orang yang kawin beristri atau bersuami hanya sekali saja. Selanjutnya tidak akan kawin lagi, walaupun suami atau istrinya meninggal dunia. Dalam hidupnya mereka sudah bertekad hanya kawin sekali saja. Dalam Silakrama ada disebutkan:

 

Sawala Brahmacari ngaranika, marabi pisan, tan parabi muwah yon kahalangan mati strinnira, tan parabi muwah sira, adyapi teka rika patinira, tan pangucap arabya. Mangkana Sang Brahmacari yan sira sawala Brahmacari. (Sīlakrama hal. 32)

Terjemahan:

Sawala Brahmacari namanya bagi orang yang hanya kawin satu kali, tidak kawin lagi. Bila mendapat halangan salah satu meninggal, maka ia takkan kawin lagi hingga datang ajalnya. Demikianlah yang namanya Sawala Brahmacari.

3). Tṛṣṇa (Krsna) Brahmacari

Tṛṣṇa Brahmacari berarti kawin lebih dari satu kali yaitu sampai batas maksimal empat kali. Keempat istri-istri yang dikawini itu adalah istri yang sah menurut hukum, baik hukum agama maupun perundang-undangan yang ada. Tṛṣṇa Brahmacari ini dapat dilakukan apabila:

a.  Istri yang pertama tidak dapat melahirkan keturunan. Demikian juga istri yang kedua juga tidak melahirkan anak-maka seorang suami bisa kawin lagi sampai batasnya empat.

b.  Istri tidak dapat melaksanakan tugas sebagaimana mestinya (sakit yang tak dapat disembuhkan).

Yang harus diperhatikan tiap pengambilan istri yang baru, harus seizin istri-istri yang terdahulu demi menjaga ketenteraman dan kerukunan rumah tangga. Dalam hal ini suami harus dapat memenuhi kebutuhan dalam keluarga sehingga benar-benar dapat mencerminkan keluarga yang sejahtera dan bahagia. Tetapi kalau Trsna (Krsna) Brahmacari itu dilakukan atas dorongan nafsu untuk kepuasan (kama), maka orang semacam itu tidak dapat disebut Trsna Brahmacari.

Walaupun dalam Tṛṣṇa Brahmacari disebutkan boleh kawin lebih dari satu kali, namun ada aturan yang harus ditaati agar ketenteraman rumah tangga tetap dapat terbina. Aturan atau syarat-syarat yang harus ditaati bagi yang mau menjalankan kehidupan Tṛṣṇa Brahmacari adalah:

a.  Mendapatkan persetujuan dari istri/istri-istrinya.

b.  Suami harus bersifat adil terhadap istri-istrinya secara lahir dan batin.

c.  Suami sebagai seorang ayah harus dapat berlaku adil terhadap anak-anak yang dilahirkan.

 

Kewajiban dalam Brahmacari:

Sebagai seorang siswa yang sedang menuntut ilmu pengetahuan ia harus taat terhadap petunjuk dan nasihat yang diajarkan oleh guru yang mengajarnya. Dalam ajaran agama Hindu kita mengenal adanya empat guru, yang disebut dengan Catur Guru, yaitu:

a.  Guru Swadyaya, yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Mahaesa).

b.  Guru Rupaka, yaitu orang tua (Ibu dan Bapak) yang melahirkan dan membesarkan kita.

c.  Guru Pangajian, yaitu   guru   yang  mendidik  dan  mengajar di sekolah.

d.  Guru Wisesa, yaitu pemerintah.

 

Kewajiban terhadap Guru Swadyaya:

Adapun kewajiban sebagai seorang siswa terhadap Guru Swadyaya tersebut, harus taat terhadap segala petunjuk dan ajaran-Nya. Sebagai umat yang percaya tentang kemahakuasaan Tuhan, yang merupakan sumber dari segala yang ada di dunia ini, maka taat kepada Guru Swadyaya dapat diwujudkan dengan cara sujud bakti memujanya.

Hyang Widhi Wasa sebagai guru dari alam semesta beserta isinya, sering digelari dengan sebutan “Dewa Guru” atau Sang Hyang Paramesti Guru. Berguru ke hadapan Tuhan dapat dilakukan dengan cara mentaati ajaran suci yang telah diwahyukan melalui para maharesi. Setiap hari kita harus mendekatkan diri pada Beliau sebagai Guru dari semua guru. Dalam hubungan ini kita manusia adalah murid dari Sang Hyang Widhi (Tuhan), yang sering disebut dengan “Brahmacarin”. Brahman artinya Tuhan. Carin artinya berguru. Jadi berguru kepada Tuhan.

Amal baik atau perbuatan dosa yang dilakukan selama berguru kepada Hyang Widhi hasilnya berupa subha dan asubha karma. Subha asubha karma ini dapat diterima hasilnya berupa:

a. Sancita Karmaphala, yaitu hasil perbuatan pada waktu kehidupannya yang lalu, baru dapat dinikmati pada kehidupannya sekarang ini.

b. Prarabda Karmaphala, yaitu perbuatan pada waktu kehidupan sekarang, langsung dapat dinikmati sekarang juga.

c. Kriymana  Karmaphala,  yaitu  hasil  perbuatan  pada  kehidupan  sekarang,  tapi belum sempat dinikmati dalam kehidupan sekarang ini, sehingga dapat dinikmati pada kehidupan yang akan datang.

 

Kewajiban  kepada Guru Rupaka:

Guru Rupaka ialah orang tua (Ibu dan Bapak) yang mengadakan atau yang ngerupaka kita. Sebagai seorang anak harus menyadari bahwa jasa orang tua (Ibu dan Bapak) adalah sangat berat, dan tak ternilai berapa besar jasanya lebih-lebih sang ibu yang mengandung dan melahirkan kita, dengan bertaruhan nyawa.

Walaupun demikian besar jasa dari orang tua itu, namun ia tak pernah menuntut balas jasa dari anaknya. Walaupun demikian kita sebagai seorang anak yang berbudi luhur harus mengakui pernyataan yang dimuat dalam Sarasamuccaya sloka 242 yang menyatakan sebagai berikut:

Tiga hutang yang dimiliki oleh seorang anak terhadap orang tuanya yang patut dibayar untuk memenuhi darma baktinya terhadap orang tua sebagai guru rupaka yaitu: a)  Śarīra kṛta, yaitu hutang badan (sarira data), b) Annadatta, yaitu hutang budhi karena orang tualah yang memberikan makan, minum, pakaian, pendidikan, dan lain sebagainya. c)  Praṇadatta, yaitu hutang jiwa dalam arti pemeliharaan atau kelanjutan hidup.

 

Oleh karena itu tidak ada suatu alasan bagi seorang anak untuk membenci orang tuanya apalagi menyakiti atau membunuh orang tuanya. Sebab membenci, menyakiti, atau membunuh orang tua adalah merupakan suatu perbuatan dosa besar. Maka dari itu jauhilah segala perbuatan terkutuk itu. Kita harus berbakti dan hormat kepada orang tua. Di dalam kitab Sarasamuccaya ada disebutkan:

 

Pitā mātā ca rājendra tusyāto yasya dehinah, iha pretya ca tasyātha kīrtirbawati çāçwati.

 

“Ikang bhakti makawwitan, paritusta sang rawwitnya denya phalanya mangke dlāha, langgeng paleman ika ring hayu. (Sarasamuccaya 241)

 

Terjemahan:

 

Orang yang setia dan hormat kepada orang tua, sehingga membuat orang tua menjadi senang dan bahagia, maka anak yang demikian akan memperoleh kemasyuran dan keselamatan pada kehidupannya sekarang dan kelak

di kemudian hari.

Dengan memperhatikan sloka tersebut di atas maka pahala yang diperoleh oleh orang yang hormat pada orang tua ialah ada empat hal yaitu:

a.  Kerti yaitu kemasyuran yang baik.

b.  Yusa yaitu panjang umur.

c.  Bala yaitu kekuatan.

d.  Yasa yaitu jasa atau penghargaan.

Keempat hal ini bertambah-tambah kesempurnaannya, sebagai pahala bagi orang yang hormat dan berbakti kepada orang tua.

 

Kewajiban kepada Guru Pengajian:

Yang dimaksud dengan Guru Pengajian ialah guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan yang memberi pendidikan tertentu, di sekolah maupun di asrama. Tugas guru pengajian cukup berat tetapi mulia. Guru Pengajian berfungsi untuk melanjutkan pendidikan dari Guru Rupaka, yang bertitik tolak dari segi kerohanian dan juga ilmu pengetahuan lainnya.

 

Secara singkat tugas Guru Pengajian ialah mendidik dan mengajarkan ilmu pengetahuan dengan penuh cinta kasih agar anak didiknya menjadi manusia susila lahir batin (wahyadyatmika). Hubungan antara murid dengan guru benar-benar dapat mewujudkan keharmonisan, sebagai halnya antara seorang ayah dengan anaknya. Seorang murid tidak boleh menjelek-jelekkan atau menghina guru.

Hal ini disebut dengan istilah alpaka Guru (menentang guru), siswa (murid) harus taat dan menuruti nasihat serta ajaran-ajaran Guru Pengajian. Dalam Niti Sastra ada disebutkan:

 

Haywa maninda ring dwija daridra dumada atȇmu. çāstra teninda denira kapātaka tinēmu magӧng. Yan kita ninda ring guru patinta maparȇk atȇmu. Lwirnika wangça-patra tunibeng watu rȇmȇk apasah (Nitiśāstra II, 3)

 

Terjemahan:

 

“Janganlah sekali-kali mencela guru, perbuatan itu akan dapat mendatangkan kecelakaan bagimu. Jika kamu mencela buku-buku suci, maka kamu akan mendapatkan siksaan dan neraka, jikalau kamu mencela guru maka kamu akan menemui ajalmu, ibarat piring yang jatuh hancur di batu.

 

Adapun orang berkhianat kepada guru, berarti ia telah berbuat dosa besar. Dalam kitab Sarasamuccaya ada disebutkan seperti:

 

“Samyaṅ mithyāprawrtte wā wartitawyam gurāwiha,

gurunindā nihantyāyurmanusyānām nā samçayah.

 

Lawan waneh, hay wa juga ngwang mangupat ring guru, yadyapin salah kene polahnira, kayatnākena juga gurūpacarana, kasiddhaning kasewaning kadi sira, bwat amuharāpāyusa amangun kapāpan, kanin-dāning kadi sira’ (Sarasamuccaya, 238)

 

Terjemahan:

Sebagai seorang siswa (murid), tidak boleh mengumpat guru, walaupun perbuatan beliau keliru, adapun yang harus diusahakan dengan baik ialah perilaku yang layak kepada guru agar berhasil dalam menimba ilmu. Bagi yang suka menghina guru, akan menyebabkan dosa dan umur pendek baginya.

 

Umur untuk belajar (Brahmacari)

Kitab Dharmasastra oleh Rsi Yajnawalkya menyatakan bahwa umur untuk mulai belajar adalah umur semasih kanak-kanak yakni umur lima tahun dan selambat- lambatnya umur delapan tahun. Pada umur delapan tahun seorang anak harus sudah menikmati masa belajar melalui proses belajar mengajar.

Sedangkan kitab Grihya Sutra menyatakan bahwa masa belajar berlangsung jangan sampai melampaui batas umur 24 tahun. Ini berarti setelah berumur 24 tahun seseorang sudah semestinya mempersiapkan diri untuk memasuki masa hidup Grhasta.

 

Tata tertib pada masa belajar

Tertib dan disiplin merupakan modal utama untuk meraih sukses dalam usaha dan perjuangan. Demikianlah dalam pendidikan Hindu diatur pula tata tertib masa belajar. Secara umum tata tertib itu antara lain:

a.  Siswa wajib taat dan bakti pada catur guru (guru susrusa).

b.  Siswa harus hidup sederhana.

c.  Berpakaian bersih, rapi, sopan dan sederhana.

d.  Makan sederhana (aharalaghawa).

e.  Siswa harus bisa dan biasa hidup jujur.

f.  Tidur secukupnya dan sepatutnya.

g.  Tidak menghibur diri berlebih-lebihan (liar),

h.  Tidak kawin selama masa belajar.

 

Kewajiban kepada Guru Wisesa (Pemerintah)

Guru Wisesa ialah pemerintah yang sah. Sebagai seorang siswa, dan sekaligus juga  merupakan  bagian  dari  anggota  masyarakat  maka  kita  harus  menghormati dan menjunjung tinggi martabat bangsa, negara, dan pemerintahannya. Sebaliknya pemerintah selalu memikirkan dan mengusahakan kesentosaan dan kemakmuran rakyat.

 

2.  Gṛhaṣtha

Gṛhaṣtha ialah tingkat kehidupan pada waktu membina rumah tangga yaitu sejak kawin. Kata Grha berarti rumah atau rumah tangga. “Stha (stand) artinya berdiri atau membina. Tingkat hidup Gṛhaṣtha yaitu menjadi pimpinan rumah tangga yang bertanggung jawab penuh baik sebagai anggota keluarga maupun sebagai anggota masyarakat serta sekaligus sebagai    warga    negara    jenjang    kehidupan Grhastha dapat dilaksanakan apabila keadaan fisik maupun psikis dipandang sudah dewasa dan bekal pengetahuan sudah cukup memadai.

Setelah memasuki tingkat hidup Grhastha, bukan berarti masa belajar atau menuntut ilmu itu berakhir sampai disitu saja. Belajar tidak mengenal batas usia. Belajar berlangsung selama hayat dikandung badan. Maka orang mengatakan masa muda adalah masa belajar. Hal ini mengandung arti bahwa tidak ada istilah tua dalam hal belajar. Karena ilmu pengetahuan itu sifatnya berkembang terus. Ilmu yang didapatkan dalam jenjang Brahmacari itu lebih diperdalam serta ditingkatkan lagi setelah menginjak hidup berumah tangga (Gṛhaṣtha).

Dalam hidup berumah tangga ini ada beberapa kewajiban yang perlu dilaksanakan yaitu:

a.  Melanjutkan keturunan

b.  Membina rumah tangga

c.  Bermasyarakat

d.  Melaksanakan Pañca Yajña

Untuk itu maka dalam jenjang kehidupan ini masalah artha dan kama menduduki tujuan utama, dengan berlandaskan darma (kebenaran).

 

 

Kewajiban Suami dan Istri dalam Rumah Tangga

Kita telah ketahui bahwa keluarga Hindu menganut hukum patriaarchat atau patrilineal (kebapaan). Dengan demikian jelaslah di sini bahwa suami berkedudukan sebagai kepala rumah tangga. Bila suami tidak mampu lagi bertindak sebagai kepala rumah tangga, karena suatu penyakit atau meninggal maka istrilah yang menggantikan suami selaku kepala rumah tangga.

Menurut undang-undang Perkawinan yaitu UU. No. 1 Tahun 1974 bahwa suami dan istri masing-masing memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Secara garis besarnya kewajiban-kewajiban tersebut adalah:

a.    Hak dan kedudukan suami istri dalam pergaulan kehidupan dalam masyarakat adalah seimbang.

b.    Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

c.    Suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga.

d.    Suami  istri  wajib  saling  cinta  mencintai,  hormat  menghormati,  dan  saling memberikan bantuan secara lahir dan batin.

Sejalan dengan dasar-dasar ketentuan yang telah ditetapkan berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 itu, Kitab suci Hindu yang merupakan dasar Hukum Hindu telah pula menggariskan ketentuan yang menjadi syarat dan landasan bagi pembinaan keluarga itu. Tentang garis-garis besar mengenai kewajiban Suami-Istri dicantumkan dalam Kita Manava dharmasastra Bab. IX mulai dari pasal 1 sampai dengan pasal 103. Untuk dapat mengetahui pokok-pokok pikiran yang mengatur hubungan hukum mengenai hak dan kewajiban suami istri menurut ajaran agama Hindu adalah sebagai berikut:

 

Kewajiban Suami

Menurut kitab suci Hindu (Weda Smerti) seorang suami berkewajiban:

a.    Melindungi istri dan anak-anaknya. la harus mengawinkan anaknya kalau sudah waktunya.

b.    Menugaskan istrinya untuk mengurus rumah tangga. Dan urusan agama dalam rumah tangga ditanggung bersama.

c.    Menjamin hidup dengan memberi nafkah kepada  istrinya bila akan pergi keluar daerah.

d.  Memelihara hubungan kesucian dengan istri, saling percaya mempercayai, memupuk rasa cinta dan kasih sayang serta jujur lahir batin. Suka dan duka dalam rumah tangga ditanggung bersama sehingga terjaminnya kerukunan dan keharmonisan.

e.    Menggauli istrinya dan mengusahakan agar tidak terjadi perceraian dan masing- masing tidak melanggar kesucian.

f.     Tidak merendahkan martabat istri. Janganlah terlalu cemburuan, yang menyebabkan timbulnya percekcokan dan perceraian dalam keluarga.

 

Kewajiban Istri

Di samping kewajiban suami menurut Weda Smerti, ditetapkan pula pokok kewajiban istri, sebagai timbal balik dari kewajiban suaminya. Kewajibannya ini meliputi kewajiban sebagai seorang istri dan kewajiban sebagai wanita dalam rumah tangga. Adapun kewajibannya itu adalah:

a.    Sebagai seorang istri dan sebagai seorang wanita hendaknya selalu berusaha tidak bertindak sendiri-sendiri. Setiap rencana yang akan dibuat harus dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan suami.

b.    Istri harus pandai membawa diri dan pandai pula mengatur dan memelihara rumah tangga, supaya baik dan ekonomis.

c.    Istri harus setia pada suami dan pandai meladeni suami dengan hati yang tulus ikhlas serta menyenangkan.

d.    Istri harus dapat mengendalikan pikiran, perkataan, dan tingkah laku dengan selalu berpedoman pada susila. la harus dapat menjaga kehormatan dan martabat suaminya.

e.  Istri harus dapat memelihara rumah tangga, pandai menerima tamu, dan meladeni dengan sebaik-baiknya.

f.     Istri harus setia dan jujur pada suami, dan tidak berhati dua.

g.    Hemat cermat dalam menggunakan harta kekayaan, tidak berfoya-foya, dan boros.

h.  Tahu dengan tugas wanita, rajin bekerja, merawat anak dan meladeni kepentingan semua keluarga. Berhias diwaktu perlu.

Demikianlah antara lain kewajiban sebagai seorang suami dan istri. Oleh karena itu hendaknya selalu memupuk pribadi yang baik. Selain itu rasa kasih dan sifat lemah lembut bersaudara harus kita tumbuh kembangkan. Contoh hal tersebut dapat kita temui dalam wiracarita Mahabarata, dimana diceritakan bahwa Pandawa bersama lima saudaranya bersatu dan hidup rukun, sehingga ia dapat terangkat dari lembah kesengsaraan menuju bahagia.

 

3.  Wanaprastha

Jenjang kehidupan yang ketiga dari Catur Asrama ialah wanaprastha. Wanaprastha terdiri dari dua rangkaian kata Sansekerta yaitu wana artinya pohon kayu, hutan semak belukar dan prastha artinya berjalan/berdoa paling depan dengan baik.

Pengertian Wanaprastha dimaksudkan berada dalam hutan, mengasingkan diri dalam arti menjauhi dunia ramai secara perlahan-lahan untuk melepaskan diri dan keterikatan duniawi. Dalam upaya melepaskan diri yang dimaksud adalah berusaha membatasi dan mengendalikan diri dari unsur Triguna yaitu sifat Rajas dan Tamas, agar dalam Satwam kerohaniannya lebih mantap dan diberkahi oleh Hyang Widhi sebagai tujuannya menjadi lebih dekat.

Tingkatan hidup Wanaprastha merupakan persiapan diri mengurangi keterikatan dan keterlibatan dengan kehidupan duniawi. Dalam kehidupan sehari-hari tingkatan hidup Wanaprastha ini dapat dilaksanakan setelah anak kita dewasa semua bebas dari tanggungan. Wanaprastha adalah jenjang kehidupan untuk mencari ketenangan batin dan mulai melepaskan diri dari keterikatan terhadap kemewahan duniawi. Pada masa kehidupan Wanaprastha ini, tanggung jawab rumah tangga dan kewajiban-kewajiban selaku anggota masyarakat, diambil alih oleh anak dan cucu.

Kenikmatan  dan  kepuasan  yang  bersifat lahiriah sedikit demi sedikit mulai dikurangi. Pusat perhatian pada jenjang ini adalah mengarah pada  kenikmatan rohani yang bersifat abadi yaitu moksa. Dia tidak terikat lagi dengan Artha dan Kama.

Kalau kita memperhatikan istilah Wanaprastha berarti hidup mengasingkan diri ke hutan, tetapi zaman sekarang, menjalani masa hidup Wanaprastha itu tidak usah pergi ke hutan. Lebih baik ketenangan itu kita cari pada diri masing-masing. Berbuat baik untuk kepentingan masyarakat, nusa dan bangsa, dengan menegakkan ajaran Ahimsa (tanpa kekerasan) ajaran agama lainnya.

Adapun manfaat menjalankan hidup Wanaprastha  adalah:

a)  Untuk mencapai ketenangan rohani.

b) Memanfaatkan sisa-sisa kehidupan di dunia ini untuk mengabdi dan berbuat amal kebajikan kepada masyarakat umum.

c)  Melepaskan segala keterikatan terhadap duniawi.

 

Masa mulai Menempuh Hidup Wanaprastha

Masa yang baik untuk mulai menempuh hidup sebagai seorang Wanaprastha adalah setelah berusia kurang lebih 60 tahun ke atas. Karena pada usia seperti itu, anak-anaknya sudah dapat hidup mandiri. Bagi seorang pegawai negeri ia sudah pensiun sehingga ia sudah lepas dan bebas dari tugas dinasnya.

Ia dapat menikmati sisa usianya yang sudah senja untuk ketenangan batinnya, agar dapat berpegang pada ucapan-ucapan yang baik, terutama mempelajari persiapan- persiapan untuk lepasnya Atma dari tubuh kita yaitu mati. Mati adalah pasti karena tidak dapat dihindari, hanya waktunya kita tidak tahu karena itu merupakan kuasa Tuhan. Maka menempuh hidup Wanaprastha bagi setiap orang tidak sama usianya, karena tingkat sosial ekonomis tiap-tiap orang adalah berbeda.

 

4.  Bhiksuka/Sanyasin

Bhiksuka juga sering disebut Sanyasin. Kata Bhiksuka berasal dari kata Bhiksu, sebutan untuk pendeta Buddha. Bhiksu artinya meminta-minta. Bhiksuka ialah tingkat kehidupan yang lepas dari ikatan keduniawian dan hanya mengabdikan diri kepada Hyang Widhi dengan jalan menyebarkan ajaran-ajaran kesusilaan.

Dalam pengertian sebagai peminta-minta dimaksudkan ia tidak boleh mempunyai apa-apa dalam   pengabdiannya   pada   Hyang   Widhi   dan untuk   makannya   pun   ditanggung   oleh   murid- murid  pengikutnya  ataupun  umatnya  sendiri. Dalam  pengertian  sebagai  Sanyasin  dimaksudkan meninggalkan keduniawiaan dan hanya mengabdi kepada Hyang Widhi dengan memperluas ajaran-ajaran kesucian.

Bagi orang yang telah menjalankan hidup Bhiksuka, akan mencerminkan suatu sifat dan tingkah laku yang baik serta bijaksana. Seorang Bhiksuka akan selalu memancarkan sifat-sifat yang menyebabkan orang lain menjadi bahagia.

Dia akan tetap menyebarkan angin kesejukan, angin kebenaran, tidak mudah diombang-ambing oleh gelombang kehidupan duniawi. Dia telah mampu menundukkan musuh-musuh yang ada dalam dirinya, seperti Sad Ripu, Sapta Timira, Sad Atatayi, dan Tri Mala.

 

Sad Ripu

Sad Ripu adalah enam macam musuh yang ada dalam setiap diri manusia. Musuh- musuh ini perlu dikendalikan dari diri kita, sehingga dapat menerapkan kehidupan Bhiksuka dengan baik. Adapun keenam musuh tersebut sebagai berikut:

a.  Kama

Kama berarti hawa nafsu, hal ini ada pada setiap orang dengan menjadi musuh dari setiap orang, selama belum dapat dikuasainya. Kalau nafsu ini dapat dikuasai dan ditundukkan, ia akan menjadi teman akrab. Bagi orang yang telah dapat mengatasi pengaruh kama itu, adalah orang yang telah lulus dalam liku-likunya hidup. Beberapa kali kehidupan dilaluinya dan setiap pengaruh kama ditelitinya, sehingga dengan kewaspadaan yang tinggi serta dengan usaha yang keras dan akhirnya kama dapat dikendalikan.

b.  Lobha

Lobha atau tamak menyebabkan orang tidak pernah merasa puas akan sesuatu. Orang yang loba akan selalu ingin memiliki sesuatu yang lebih daripada apa yang telah dimiliki. Dengan demikian ia akan berpikir dan bekerja keras. Akibatnya orang yang demikian itu akan gusar, gelisah resah, karena didorong oleh kelobaannya. Dia tidak akan pernah merasa tenteram dan tenang, sedangkan ketenangan menjadi idaman bagi setiap orang. Oleh karena itu sifat loba itu adalah musuh bagi setiap orang.

c.  Krodha

Krodha artinya marah. Kemarahan timbul karena pengaruh perasaan yang jengkel, muak, bosan, tersinggung dan sebagainya. Orang yang suka marah adalah tidak baik, sebab kemarahan menyebabkan orang menderita. Dan orang pada umumnya tidak suka dimarahi. Orang yang dimarahi juga bisa marah, sehingga akan dapat menimbulkan suasana hubungan yang buruk. Orang yang suka marah akan kehilangan simpati dan akhirnya akan terkucil. Karenanya hilangkan perasaan marah itu dan kendalikanlah kemarahan itu.

d.  Moha

Moha artinya kebingungan. Karena bingung dapat menyebabkan pikiran menjadi gelap.  Orang  yang  sedang  bingung  tidak  dapat  berpikir  dengan  baik,  sehingga tidak akan dapat melakukan kewajiban dengan baik. Kebingungan juga dapat mempengaruhi kesehatan, dan sekaligus menurunkan kondisi tubuh. Moha atau bingung banyak penyebabnya, antara lain:

1) Karena ditimpa kesusahan yang hebat.

2) Karena kehilangan sesuatu yang dicintai.

3) Karena situasi yang menekan perasaannya.

4) Karena  tidak dapat mengatasi problem yang  menimpa dirinya.

Semua hal tersebut di atas dapat menimbulkan kebingungan. Agar tidak ditimpa kebingungan, maka perlu terlebih dahulu dalam menghadapi berbagai bentuk persoalan, ditanggapi dengan perasaan dan pikiran yang tenang dan jiwa yang seimbang. Dengan demikian, dapatlah diteliti segala macam persoalan itu dengan cara saksama, serta dapat mencari jalan pemecahannya dengan baik. Menempuh jalan dengan cara demikian berarti kita telah siap untuk menerima segala kemungkinan dan kenyataan yang akan terjadi. Oleh karena itu maka kita harus berusaha menghilangkan kebingungan itu.

e.  Mada

Mada artinya minuman keras. Minuman keras mengandung alkohol yang dapat memabukkan. Minuman yang termasuk minuman keras antara lain arak, berem, bir dan lain-lain. Bila minuman ini diminum melewati batas akan menimbulkan kemabukan, bahkan sering menimbulkan akibat yang jelek seperti merusak tubuh, melumpuhkan pencernaan, merusak urat-urat syaraf dan lain sebagainya.

Oleh karena itu orang-orang suci dan sadhu (suci) tidak meminum minuman keras karena dapat memabukkan. Kemabukan ini dapat menghilangkan kesadaran, sehingga menimbulkan perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Maka dari itu kemabukan ini harus dicegah karena ia merupakan musuh yang harus dijauhi.

f.  Matsarya

Matsarya artinya iri hati. Perasaan iri hati merupakan perongrongan diri manusia. Karena orang yang diliputi oleh rasa iri ini, tidak senang melihat orang lebih bahagia dan beruntung dari padanya. Orang yang demikian selalu merasa dirinya malang, miskin, nasib sial dan bermacam-macam perasaan negatif yang dirasakan. Akibat dari perasaan yang demikian, maka timbulah maksud-maksud yang tidak baik pada orang lain. Maksud yang tidak baik itu berupa rencana-rencana jahat, ingin memusuhinya, melawan dan bertengkar. Maka dari itu kendalikan dan hilangkanlah sifat-sifat iri hati itu.

 

Sapta Timira

Sapta Timira artinya tujuh kegelapan. Yang dimaksud dengan tujuh kegelapan ialah tujuh hal yang menyebabkan pikiran orang menjadi gelap. Kegelapan pikiran ini dapat menimbulkan tingkah laku yang jelek dan menyimpang dari ajaran agama. Ketujuh kegelapan itu adalah:

a.  Surupa

Surupa artinya kecantikan atau ketampanan. Kecantikan dan ketampanan ini dibawa  sejak  lahir,  merupakan  anugerah  Hyang Widhi Wasa.  Bagi  orang  yang memiliki semua ini, boleh merasa beruntung, namun janganlah takabur atas kecantikan dan ketampanan yang dimiliki itu. Karena semua sifatnya maya dan tidak kekal.  

b.  Dhana

Dhana artinya kekayaan. Kekayaan memang sangat berguna bagi siapapun, dan setiap orang menginginkan hal itu. Kekayaan itu disebut artha. Dan bentuk artha itu ada tiga macam yang disebut dengan Tri Bhoga, yaitu bhoga, upabhoga dan pari bhoga. Kekayaan ini sangat besar gunanya dan sangat besar juga godaannya. Oleh karenanya bagi orang yang memiliki kekayaan hendaknya dapat menggunakan kekayaan itu dengan tepat sesuai dengan ajaran agama Hindu. Kekayaan harus diperoleh berdasarkan petunjuk agama dan dipergunakan sesuai dengan perintah agama.

c.  Guṇa

Guna  artinya  kepandaian.  Kepandaian  dicari  oleh  setiap  orang,  dan  semua orang  ingin  menjadi  pandai.  Karena  kepandaian  dapat  meringankan  seseorang dalam menghadapi suka duka kehidupan di dunia ini. Dan kepandaian juga dapat membahayakan orang, bila digunakan untuk kejahatan.

Sering juga, kepandaian itu dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang dilarang oleh ajaran agama misalnya menipu, memperalat orang, memfitnah, mengacau, membuat isu-isu dan korupsi. Dan semua itu dapat menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Demikianlah kepandaian itu bila diliputi oleh kegelapan, dan akan menimbulkan keburukan serta membahayakan bagi dirinya sendiri dan masyarakat. Oleh karena itu kepandaian harus diimbangi oleh ajaran agama. Ilmu tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa ilmu adalah buta.

d.  Kulina

Kulina artinya keturunan. Keturunan memang mempunyai arti yang penting. Orang dipandang terhormat disegani, dapat dipercaya, karena dikenal berasal dari keturunan orang-orang berjasa, baik budi dan karyanya dapat dinikmati oleh banyak orang. Orang tuanya yang berjasa dan terhormat, tapi sampai keturunannyapun ikut menjadi terhormat.

Seringkali dari adanya keturunan ini, orang merasa bangga akan dirinya, karena ia merasa keturunan orang-orang terhormat, maka dengan kebanggaan ini lalu ia menjadi orang yang berderajat tinggi, sombong dan angkuh, sehingga kemudian menghina orang lain. la menganggap orang lain itu rendah dan bodoh. Orang yang demikian tidak dapat dibenarkan sikapnya oleh agama dan masyarakat. Kita hidup adalah saling hormat menghormati, saling harga-menghargai. Menghargai orang lain berarti kita menghargai diri sendiri. Oleh karena itu Kulina atau keturunan yang terhormat itu bukan untuk menghina, merendahkan, dan menghancurkan orang lain.

e.  Yowana

Yowana artinya masa muda. Masa muda atau masa remaja ini penuh dengan kegairahan hidup, masa gemilang penuh dengan kreatif. Masa inilah sebenarnya merupakan kesempatan untuk berbuat banyak dalam menimba berbagai ilmu untuk bekal di kemudian hari. Tetapi masa muda ini juga penuh tantangan seperti tidak tetap pendirian, goyah, emosi dan belum ada keseimbangan pikiran, sehingga belum tahu kemanakah arah hidupnya kelak.

Karenanya seringkali perbuatan yang dilakukan kurang terarah, ia lalu berbuat hanya untuk menarik perhatian orang lain. Maka sering tindakan keliru yang dilakukan seperti; melanggar kesopanan, kesusilaan yang dapat merugikan orang lain. Oleh karena itu kitab Sarasamuccaya memberikan pedoman seperti:

 

Yuwaiwa dharmmam anwicched Yuwā  wittam yuwa çrutam, tiryyag bhawati wai dharbha utpatan na ca widdyati

 

Matangnya deyaning wwang, pengponganikang kayowanan, panedeng ning awak, sadanakena ri karjananing dharmma, artha, jnana, kunang apan tan pada kacaktining atuha lawan rare, drstanta nahan yangalalang atuha, telas rumepa, marin alandep ika. (Sarasamuccaya, 27)

 

Terjemahan:

 

Pergunakanlah kesempatan selagi masih muda, selagi badan kuat untuk mencari berbagai macam ilmu berdasarkan dharma. Sebab kekuatan sesudah tua jauh lebih merosot dibandingkan dengan pada waktu masih muda. Ibarat padang alang-alang semasih muda ia tajam, tapi setelah tua ia menjadi lemah dan rebah.

f.  Sura

Sura artinya minuman keras. Minuman itu kalau diminum melebihi batas akan membuat orang mabuk. Kemabukan membuat orang kehilangan kesadaran, dan akhirnya akan membuat malapetaka. Hal ini harus dijauhi.

g.  Kasuran

Kasuran artinya keberanian. Setiap orang perlu memiliki keberanian. Tanpa keberanian orang akan selalu merasa takut. Keberanian di sini dipergunakan untuk dapat mengatasi berbagai masalah dan liku-liku kehidupan. Keberanian yang dilakukan tanpa didasari oleh Dharma maka keberanian itu akan menjurus kepada perbuatan kejam dan sadis. Keberanian yang demikian itu disebut dengan Kasuran. Hal yang demikian perlu dihindari.

 

Sad Atatayi

Sad Atatayi artinya enam macam pembunuh kejam. Keenam pembunuh ini adalah:

a.  Agnida

Agnida artinya membakar milik orang lain. Orang yang karena perasaan iri dan dengki, sentimen pribadi dan macam-macam perasaan lainnya, kemudian melakukan perbuatan terlarang lain membakar milik orang. Perbuatan tersebut digolongkan dalam perbuatan yang kejam dan disebut Agnida. Karenanya kendalikanlah diri dari perbuatan terlarang itu.

b.  Wisada

Wisada artinya meracun. Perbuatan meracun adalah suatu perbuatan jahat dan terkutuk. Meracun adalah perbuatan membunuh orang dengan mempergunakan alat berupa benda atau obat keras yang disebut racun. Orang yang melakukan hal ini disebabkan karena perasaan dendam, benci, sehingga orang lain dianggap sebagai musuhnya. Perbuatan yang demikian termasuk perbuatan kejam, tidak berperikemanusiaan karenanya termasuk pembunuhan kejam. Itulah sebabnya perbuatan ini sangat terlarang.

c.  Atharwa

Atharwa artinya melakukan ilmu hitam. Ilmu hitam atau black magic ini sering digunakan untuk membuat orang lain menderita sakit, orang lain menjadi gila dan lain sebagainya. Perbuatan dengan melakukan ilmu hitam ini sangat dilarang oleh ajaran agama. Oleh karena itu dianggap sebagai suatu pembunuhan bila dilakukan. Itulah sebabnya ilmu hitam ini jangan dilakukan, karena akibatnya menimbulkan dosa bagi pelakunya.

d.  Satraghna

Satraghna artinya mengamuk. Mengamuk adalah suatu perbuatan dari orang yang sedang bingung. Perbuatan mengamuk bisa menimbulkan kepanikan, bahkan bisa menimbulkan pembunuhan. Perbuatan mengamuk itu adalah perbuatan yang tidak terpuji.

e.  Dratikrama

Dratikrama artinya memperkosa. Memperkosa adalah perbuatan yang dilakukan tanpa adanya persetujuan kedua belah pihak. Perbuatan memperkosa adalah sama dengan perbuatan binatang, karena binatang melakukan kehendaknya hanya berdasarkan nafsu jahatnya saja. Manusia terlibat dalam perbuatan itu, berarti kesadarannya sudah hilang karena pengaruh nafsu yang tidak terkendalikan lagi. la lupa akan rasa malu, rasa harga diri, nama baik keluarga dan lain sebagainya, Perbuatan semacam itu tidak akan mungkin dapat membahagiakan, tapi sebaliknya akan menimbulkan kesengsaraan. Itulah sebabnya ajaran agama melarang perbuatan dratikrama itu.

 

f.  Raja Pisuna

Raja pisuna artinya memfitnah. Memfitnah adalah suatu perbuatan yang paling tidak baik. Memfitnah lebih kejam dari pembunuhan. Perbuatan ini dilakukan untuk menghancurkan kehidupan orang lain. Maka dari itu perbuatan semacam ini tidak dibenarkan menurut ajaran agama. Oleh karena itu janganlah dilakukan perbuatan memfitnah itu

 

Tri Mala

Tri mala artinya tiga macam perbuatan kotor yaitu:

a.  Kasmala yaitu perbuatan yang hina dan kotor.

b.  Mada yaitu perkataan, pembicaraan yang dusta dan kotor.

c.  Moha yaitu pikiran perasaan yang curang dan angkuh.

 

Musuh-musuh atau sifat-sifat tersebut di atas harus dihindarkan dari segala bentuk perbuatan seperti dalam bentuk perkataan, pikiran, dan perbuatan. Mengenai batas waktu atau saat yang baik untuk menjalankan hidup Bhiksuka atau Sanyasin tidak dapat ditentukan secara pasti.  

Komentar

Postingan Terakhir

8-latest-65px

Comments

8-comments