Dalam pustaka suci Weda Manawa Dharmaśastra II.6 dan Manawa
Dharmaśastra II.10 diuraikan
sebagai berikut
Vedo ‘khilo dharma mūlam
smṛtiṡīle ca tadvidām,
ācāraṡcaiva sādhūnām
ātmanastușțir eva ca.
Terjemahan:
Seluruh pustaka
suci Weda merupakan sumber pertama dari dharma, kemudian adat istiadat, lalu
tingkah laku yang terpuji dari orang-orang bijak yang mendalami ajaran suci
Weda; juga tata cara kehidupan orang suci dan akhirnya kepuasan pribadi. (Manawa Dharmaśastra, II. 6)
Pada terjemahan
di atas terdapat kata sile (sila), yang berarti tingkah laku yang baik (terpuji) atau dengan kata
lain perbuatan-perbuatan yang bajik, yaitu perbuatan-perbuatan yang
menyenangkan orang lain. Sumber hukum tersebut memuat tentang sumber hukum
agama Hindu yaitu Weda-Smrti, acara, atmanastuti, artinya Sruti, Smrti, acara, sila dan atmanastuti semuanya
merupakan sumber hukum (dharma mulam). Dari semua sumber tersebut, maka sumber utama adalah Weda (Vedo ‘khilo). Jadi, untuk
mendapatkan kebenaran hukum, untuk mengetahui baik tidaknya tingkah laku
seseorang, dan untuk menentukan apa yang harus dan apa yang tidak boleh
dikerjakan adalah Weda itu sendiri (Sruti).
śrutis tu vedo vijñeyo
dharmaśàstram tu vai smṛtiḥ,
te sarvàrtheșva mīmàṁsye
tābhyàm dharmo hi nirbabhau.
Terjemahan:
Yang dimaksud
dengan Sruti, ialah Weda dan
dengan Smrti adalah dharmasàstra, kedua macam
pustaka suci ini tidak boleh diragukan kebenaran ajarannya, karena keduanya
itulah sumber dharma (Manawa Dharmaśastra, II.10).
Sruti = wahyu, Weda. Smrti =
tradisi dharma. Jadi, Sruti ialah Weda (pustaka suci yang merupakan Weda). Smrti,
yaitu kitab-kitab sastra yang bersumber pada ingatan atau pengetahuan yang
diperoleh secara tidak langsung. Pengetahuan ini dapat berupa keterangan,
ketentuanketentuan, perintah yang memuat aturan-aturan, larangan, anjuran dan lain-lain,
yang memuat asal-usul dari ketentuan Sruti (Weda). Berdasarkan ketentuan ayat
ini, baik Sruti maupun Smrti kebenaran isinya tidak boleh diragukan. Artinya
tidak boleh diuji kebenarannya dan keduanya adalah sumber hukum yang pasti. Dari
kedua uraian dan penjelasan tersebut sudah dapat dipastikan bahwa baik Sruti
maupun Smrti (dharmaśastra) kebenaran isinya tidak boleh diragukan artinya
tidak boleh diuji kebenaranya dan keduanya adalah sebagai sumber hukum.
1.
Dharmaśastra-nya Manu untuk Zaman Krtayuga
Masa Krtayuga kehidupan masyarakat
ditandai oleh corak kehidupan secara khusus, yaitu tapa (pengekangan diri,
yoga, samadhi). Pelaksanaan penebusan dosa yang ketat (tapa) merupakan
kebajikan pada masa Satyayuga/Krtayuga. Zaman Satyayuga yang mengandung arti
bahwa pada masa itu manusia
hidup di dalam kesetiaan. Perilaku
pengendalian diri menjadi budaya kehidupan pada zaman Krtayuga, demikian juga
dengan kesetiaan sehingga kesucian spiritual pada masa itu sangat terjaga.
Nilai-nilai yang dapat kita terapkan saat ini untuk membentuk sikap mental yang
positif melalui pengendalian diri yang ketat dan selalu setia terhadap ajaran
dharma (nilai-nilai kebajikan).
2.
Dharmaśastra-nya Gautama untuk Zaman Tretayuga
Masa Tretayuga ditandai oleh corak
kehidupan secara khusus, yaitu Jñana (ilmu pengetahuan). Pelaksanaan
pengetahuan tentang sang diri pada Tretayuga. Zaman Tretayuga fokus nilai-nilai
dharma yang diajarkan
melalui pengetahuan tentang sang
diri. Pada masa tersebut kehidupan manusia fokus pada pengetahuan tentang sang
diri menjadi budaya kehidupan pada zaman Tretayuga. Melalui pengetahuan tentang
sang diri
tersebut seseorang akan mampu
mendapatkan kebahagiaan dan pelepasan dirinya dari penderitaan. Ajaran ini juga
sebagai cara untuk melakukan penebusan dosa pada zaman Tretayuga. Nilai-nilai
yang dapat kalian
terapkan adalah menjadi orang yang
terpelajar dengan cara terus giat belajar dan tekun belajar agar pengetahuan
tentang sang diri dilandasi dengan ajaran dharma (nilai-nilai kebajikan)
tercapai.
3.
Dharmaśastra-nya Sankha-likhita untuk Zaman Dwapara
Masa Dwaparayuga ditandai oleh
corak kehidupan secara khusus, yaitu yajna (kurban). Pengetahuan tentang
pelaksanaan upacara kurban keagamaan (yajña) pada masa Dwaparayuga. Pada masa
tersebut kehidupan manusia focus pada kurban keagamaan (yajña) menjadi budaya
kehidupan pada pada masa Dwaparayuga. Melalui kurban suci keagamaan tersebut
seseorang akan mampu mendapatkan kebahagiaan dan pelepasan dirinya dari
penderitaan. Ajaran ini juga sebagai cara untuk melakukan penebusan dosa pada
zaman Dwapara.
Nilai-nilai yajña yang dapat
diterapkan saat ini melalui ajaran panca yajña sebagai berikut:
1. Dewa yajña, yaitu kurban suci berupa persembahan dan bhakti kepada Hyang
Widhi Wasa melalui setiap kemahakuasaan-Nya. Contoh-contoh pelaksanaan dewa
yajña, antara lain
a. selalu melantunkan tri sandhya
sesuai dengan waktunya;
b. berdoa sebelum melaksanakan
aktivitas; dan
c. rajin sembahyang pada setiap
hari suci seperti hari purnama, tilem dan hari suci lainya baik yang
berdasarkan pawukon maupun sasih.
2. Pitra yajña, yaitu kurban suci berupa persembahan dan bhakti kepada
leluhur. Adapun contoh pelaksanaan pitra yajña, antara lain
a. membahagiakan orang tua;
b. berbakti kepada orang tua;
c. selalu menjaga dan merawat orang
tua; dan
d. melaksanakan ritual pitra
yajña/ngaben.
3. Rsi yajña adalah korban suci yang tulus dan dipersembahkan kepada
rsi, orang suci (pandhita dan pinandita), dan guru. Contoh-contoh pelaksanaan
rsi yajña, antar lain
a. berpikir, berkata, dan
berperilaku baik kepada orang suci dan guru;
b. santun kepada seluruh orang suci
dan guru; dan
c. memberikan persembahan punia
kepada orang suci dan guru.
4. Manusa yajña adalah segala
bentuk ritual dan pelaksanaan upacara yang bertujuan keselamatan manusia dan
menjaga keharmonisan sesame manusia. Contoh manusa yajña, yaitu upacara dari
dalam kandungan sampai dengan pawiwahan (perkawinan).
5. Bhuta yajña adalah upacara suci yang dipersembahkan kepada bhuta kala
dan kekuatan alam. Contoh praktik bhuta yajña adalah semua ritual tentang
pembersihan alam dan merawat alam.
4.
Dharmaśastra-nya Parasara untuk Zaman Kaliyuga
Masa Kaliyuga ditandai oleh corak
kehidupan secara khusus, yaitu dana, misalnya harta benda material.
Melaksanakan amal sedekah (danam) pada masa Kaliyuga adalah cara manusia untuk
mencapai pembebasan. Pelaksanaan sedekah tersebut menjadi persembahan yang
mulia di zaman Kaliyuga seperti yang dimuat pada kitab Dharmaśastra Parasara
berikut ini.
“Kutumbine
daridraya srautriyaya visesatah,
Yaddanam
diyate tasmai tadayurvrddhi karakam”
Terjemahannya:
Sedekah yang diberikan kepada
sebuah keluarga yang miskin, teristimewa kepada seorang Brahmana yang mahir
dalam Weda, cenderung menambah umur panjang bagi si pemberi sedekah. (Parasara Dharmaśastra, XII.45).
Berdasarkan sloka di atas, makna
etika (moralitas) dapat diketahui setelah memperoleh harta benda. Seseorang
harus menggunakan penghasilan atau kekayaan material yang dimiliki pertama
untuk pelaksanaan aktivitas dharma atau kebajikan, seperti memberikan sedekah
atau jamuan kepada para atiti (tamu atau orang lain) atau menolong seseorang
yang pantas untuk ditolong.
Komentar
Posting Komentar