Blog Archive

Categories

Popular Posts

Pages

Langsung ke konten utama

Sloka-Sloka Dharmaśastra Sebagai Sumber Hukum Hindu


Sumber hukum yang menjelaskan tentang aturan-aturan hukum Hindu secara tegas terdapat dalam Kedudukan Menawa Dharmaśastra II.10 dan II.6, merupakan dasar yang patut dipegang teguh.

Vedo ‘khilo dharma mūlam

smṛtiṡīle ca tadvidām,

ācāraṡcaiva sādhūnām

ātmanastușțir eva ca.

Terjemahan:

Seluruh pustaka suci Weda merupakan sumber pertama dari dharma,

kemudian adat istiadat, lalu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang

bijak yang mendalami ajaran suci Weda; juga tata cara kehidupan orang

suci dan akhirnya kepuasan pribadi. (Manawa Dharmaśastra, II. 6)


śrutis tu vedo vijñeyo

dharmaśàstram tu vai smṛtiḥ,

te sarvàrtheșva mīmàṁsye

tābhyàm dharmo hi nirbabhau.

Terjemahan:

Yang dimaksud dengan Sruti, ialah Weda dan dengan Smrti adalah

dharmasàstra, kedua macam pustaka suci ini tidak boleh diragukan

kebenaran ajarannya, karena keduanya itulah sumber dharma (Manawa

Dharmaśastra, II.10).


Uraian tersebut secara tegas menjelaskan sesungguhnya Sruti adalah Weda demikian pula Smrti itu adalah Dharmaśastra. Keduanya tidak boleh diragukan kebenarannya dalam hal apapun yang karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber dari Agama Hindu “dharma” dalam menjalankan kehidupan ini.


Kàmàtmatà na praśastā

na caive hàstya kàmatà,

kàmyo hi vedàdhigamaḥ

karmayogaśca vaidikaḥ

Terjemahan:

Berbuat hanya karena ingin mendapat pahala tidaklah terpuji, tetapi

sebaliknya perbuatan tanpa keinginan, yang demikian inipun tak dapat

kita temui di dunia ini, karena ajaran Weda serta pelaksanaan kegiatan

yang diajarkan oleh Weda itu sendiri juga didasari oleh rasa keinginan

demikian (Manawa Dharmaśastra, II.2).


Uraian tersebut berdasarkan pada pokok pikiran doktrin karmayoga. Berbuat bukan karena untuk mencapai sesuatu (phala), tetapi berbuat tanpa untuk mencapai sesuatu tidak ada adalah kama itu  sendiri diatur dalam Weda adalah untuk sesuatu maksud tertentu yang di dalamnya telah terkandung secara implisit (penjelasan Pudja, 2010: 30)

Teșu samyag varta māno

gacchatya mara lokatām,

yathà saṁkalpitàṁśceha

sarvān kāmān samaśnute

Terjemahan:

Ia yang tekun melakukan tugas-tugas yang telah ditentukan ini,

dengan cara yang benar, akan mencapai keadaan Brahma; bahkan dalam

hidup ini sekalipun akan terpenuhi segala keinginan yang mungkin

didambakanya. (Manawa Dharmaśastra, II.5).


Maksud dari “cara yang benar”, yaitu misalnya dengan cara yang sesuai menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Weda dan pengerjaanya bukan berdasarkan atas niat untuk memperoleh pahala saja. Uraian tersebut menjelaskan bahwa akan sampai pada ruang kesucian dan kebahagiaan tertinggi karena segala keinginan dipenuhi oleh Brahman.

Tapah param krtayuge tretayam jñananucyate,

dvapare yajñam ityacurddnama ekam kalau yuge

Terjemahan:

Pelaksanaan penebusan dosa yang ketat (tapa) merupakan kebajikan

pada masa Satyayuga; pengetahuan tentang sang diri (jñana) pada

Tretayuga, pelaksanaan upacara kurban keagamaan (yajña) pada masa

Dwaparayuga, dan melaksanakan amal sedekah (danam) pada masa

Kaliyuga (Parasara Dharmaśastra I.23)

Berdasarkan seloka di atas, bahwa masa Satyayuga/Krtayuga kehidupan masyarakat ditandai oleh corak kehidupan secara khusus, yaitu tapa (pengekangan diri, yoga, samadhi). Pelaksanaan penebusan dosa yang ketat (tapa) merupakan kebajikan pada masa Satyayuga/Krtayuga. Zaman tersebut yang mengandung arti bahwa pada masa itu manusia hidup di dalam kesetiaan. Masa Tretayuga ditandai oleh corak kehidupan secara khusus, yaitu Jñana (ilmu pengetahuan). Pelaksanaan pengetahuan tentang sang diri (jñana) pada Tretayuga masyarakat fokus pada nilai-nilai dharma yang diajarkan melalui pengetahuan tentang sang diri (jñana). Masa Dwaparayuga ditandai oleh corak kehidupan secara khusus, yaitu yajña (kurban). Masyarakat fokus pada pelaksanaan pengetahuan tentang pelaksanaan upacara kurban keagamaan (yajña). Masa Kaliyuga ditandai oleh corak kehidupan secara khusus, yaitu dana, misalnya harta benda material. Melaksanakan amal sedekah (danam) pada masa Kaliyuga cara manusia untuk mencapai pembebasan dengan cara amal sedekah (danam) atau berdana punia.


Penerapan keteraturan (hukum) masyarakat dalam pemberlakuan hukum Hindu penerapanya disesuaikan dengan zamanya seperti yang diuraikan pada Parasara Dharmaśastra berikut:


Krte tu manavo dharmas tretayam gautamah smrtah,

dvapare sankha likhitau kalau Parasarah smrtah.

Terjemahan:

Hukum-hukum dari Manu diberlakukan pada zaman Satya, hukum

dari Gautama pada zaman Treta; hukum sankha dan l=Likhita pada

zaman Dwapara; dan hukum Parasara pada zaman Kaliyuga. (Parasara

Dharmaśastra I.24)


Dari uraian sloka Parasara Dharmaśastra I.24 dijelaskan bahwa hukum yang berlaku sesuai dengan zamanya, yaitu

1. hukum-hukum dari Manu diberlakukan pada zaman Satya;

2. hukum dari Gautama pada zaman Treta;

3. hukum Sankha dan Likhita pada zaman Dwapara; dan

4. hukum Parasara pada zaman Kaliyuga.


Setiap zaman memiliki hukum sesuai dengan kualitas diri manusia pada zaman tersebut, sehingga hukum berfungsi sebagai pengendalian diri (individu) maupun sosial. Dalam Parasara Dharmaśastra dijelaskan tentang musuh manusia yang akan berpengaruh terhadap keteraturan hidupnya baik secara individu maupun sosial, seperti dimuat pada Parasara Dharmaśastra berikut:

Trayedesam krtayuge tretayam gramam utsrjet,

dvapare kulam ekantu kartaranca kalau yuge.

Terjemahan:

Pada Satyayuga, seseorang harus meninggalkan daerahnya agar

terhindar pergaulannya dengan seseorang yang berdosa; pada zaman

Treta ia bersatu desa dengan orang yang berdosa; pada zaman Dwapara,

yang berdosa merupakan salah satu anggota keluarganya dan pada

Kaliyuga berdosa itu adalah dirinya sendiri (Parasara Dharmaśastra I.25)


Dari uraian sloka Parasara Dharmaśastra I.25 dijelaskan bahwa keberadaan perilaku tidak baik atau musuh manusia dihubungkan dengan zamannya, yaitu

1. pada Satyayuga, seseorang harus meninggalkan daerahnya agar terhindar pergaulannya dengan seseorang yang berdosa;

2. pada zaman Treta ia bersatu desa dengan orang yang berdosa;

3. pada zaman Dwapara, yang berdosa merupakan salah satu anggota keluarganya; dan

4. pada Kaliyuga berdosa itu adalah dirinya sendiri.


Komentar

Postingan Terakhir

8-latest-65px

Comments

8-comments