Dalam
melaksanakan puja bhakti kepada Brahman, umat Hindu diberikan kebebasan
untuk dapat mewujudkan bentuk Śraddhā tersebut. Secara umum bentuk Bhakti
umat Hindu dapat dilakukan dengan menggunakan: mantra, yantra, tantra, yajña,
dan yoga. Mantra adalah doa-doa yang harus diucapkan oleh umat
kebanyakan, pinandita, pandita sesuai dengan tingkatannya. Yantra adalah
alat atau simbol-simbol keagamaan yang diyakini mempunyai kekuatan spiritual
untuk meningkatkan kesucian. Tantra adalah kekuatan suci dalam
diri yang dibangkitkan dengan cara-cara yang ditetapkan dalam kitab suci. Yajña yaitu
pengabdia yang ulus ikhlas atas dasar kesadaran untuk dipersembahkan sehingga
dapat meningkatkan kesucian. Dan Yoga artinya mengendalikan
gelombang-gelombang pikiran dalam alam pikiran untuk dapat berhubungan dengan
Tuhan, yang dapat dilakukan melalui Astangga Yoga (yama,
niyama, asana, pranayama, prathyahara, dharana, dhyana, dan samadhi) (Bhagavan
Shri Sathya Sai Baba, 1995: 12).
MANTRA
Secara
etimologi Mantra berasal dari suku kata Man (Manana) dan
kata Tra (Trana) yang berarti pembebasan dari ikatan samsara
atau dunia fenomena ini. Dari kombinasi Man dan Tra itulah
disebut mantra yang berarti dapat memanggil datang (Amantrana). Mantra merupakan
sebuah kata atau kombinasi beberapa buah kata yang sangat kuat atau ampuh, yang
didengar oleh orang bijak dan yang dapat membawa seseorang yang mengucapkannya
melintasi lautan kelahiran kembali, inilah yang merupakan arti mantra yang tertingi.
Arti mantra yang lebih rendah adalah rumusan gaib untuk melepaskan
berbagai kesulitan atau untuk memenuhi bermacam-macam keinginan duniawi,
tergantung dari motif pengucapan mantra tersebut. Mantra adalah sebuah kekuatan
kata yang dapat dipergunakan untuk mewujudkan keinginan spiritual atau
keinginan material, yang dapat dipergunakan demi kesejahteraan ataupun penghancuran diri
seseorang. Mantra seperti energi atom yaitu suatu tenaga
yang bertindak sesuai dengan rasa bhakti seseorang yang mempergunakannya. Sabda
adalah Brahman, karena itu yang menjadi penyebab Brāhmanda manifestasi chit
sakti itu sendiri seperti yang disebutkan dalamVishvasara Tantra,
yaitu ”Parabrahman itu sebagai sabda Brahman yang substansinya semua
adalah mantra, dan yang berada di dalam wujud jivātma”. Bentuk itu
sebagian tidak beraksara (Dhvani), sebagian lagi beraksara
(Varna). Yang tidak beraksara itulah yang memunculkan yang beraksara,
dan itulah aspek yang halus dari Śākti yang menghidupkan jiwa itu (Svami Rama:
1984: 24).
Sedangkan Prapancha
Sara mengatakan bahwa: ’ Brāhmanda diresapi oleh sakti, yang terdiri
atas Dhvani, yang juga disebut Nada, Prana, dan sebagainya”. Manifestasi dari
Sabda menjadi wujud kasar (Sthūla) itu tidak bisa terjadi terkecuali Sabda itu
ada dalam wujud halus (Suksma). Dari penjelasan tersebut, dapata dipahami bahwa
Mantra merupakan aspek dari Brahman dan seluruh manfestasi Kulakundalini.
Secara filosofis sabda itu adalah guna dari Akasa atau ruang ethernal. Tetapi
sabda itu bukan produksi Akasa. Sabda memanifestasikan diri di dalam Akasa.
Sabda itu adalah Brahman, seperti halnya di antariksa, gelombang bunyi
dihasilkan oleh gerakan-gerakan udara (Vāyu); karena itu di dalam rongga jiwa
atau di rongga tubuh yang menyelubungi jiwa gelombang bunyi dihasilkan sesuai
dengan gerakan-gerakan Praṇa vāyu dan proses menarik napas dan
mengeluarkan napas.
Mantra
disusun dengan menggunakan akṣara-akṣara tertentu, diatur sedemikian rupa
sehingga menghasilkan suatu bentuk bunyi, sdangkan huruf-huruf itu sebagai
perlambang-perlambang dari bunyi tersebut. Untuk menghasilkan pengaruh yang
dikehendaki, mantra harus disuarakan dengan cara yang tepat, sesuai
dengan svara (ritme) dan varna (bunyi). Huruf-huruf
penyusunannya pada dasarnya ialah mantra sastra, karena itu dikatakan sebagai
perwujudan Śastra dan Tantra yang terdiri atas
Mantra adalah Paramātma., Veda sebagai Jivātma, Dharsana sebagai indriya,
Puraṇa sebagai jasad, dan Smṛti sebagai anggota. Karena itu Tantra
merupakan Śākti dan kesadaran, yang terdiri atas mantra.
Mantra tidak sama dengan doa-doa atau kata-kata untuk menasehati diri
(Ātmanivedana)
Dalam Nitya
Tantra, disebutkan berbagai nama terhadap mantra menurut jumlah suku
katanya. Mantra yang terdiri dari satu suku kata disebut Pinda.
Mantra tiga suku kata disebutKartari, yang terdiri dari empat suku kata
smpai sembilan suku kata disebut Vija Mantra, sepuluh sampai
duapuluh suku kata disebut Mantra, dan yang terdiri lebih dari
duapuluh suku kata disebut Mālā. Tetapi istilah Vija juga
diberikan kepada mantra yang bersuku kata tunggal.
1. Jenis-jenis Mantra
Berdasarkan
sumbernya mantra ada bermacam-macam jenis yang secara garis besar dapat
dipisahkan menjadi; Vedik mantra, Tantrika mantra, dan Puraṇik mantra.
Sedangkan berdasarkan sifatnya mantra dapat terbagi menjadi; Śāttvika
mantra (mantra yang diucapkan guna untuk pencerahan, sinar,
kebijaksanaan, kasih sayang Tuhan tertinggi, cinta kasih dan perwujudan
Tuhan), Rājasika mantra (mantra yang diucapka guna kemakmuran
duniawi serta kesejahteraan anak-cucu), Tāmasika mantra (mantra
yang diucapkan guna mendamaikan roh-roh jahat, untuk menghancurkan atau
menyengsarakan orang lain, ataupun perbuatan-perbuatan kejam lainnya/Vama
marga/Ilmu Hitam). Disamping itu mantra juga dapat dibagi menjadi:
1.
Mantra: yang
berupa sebuah daya pemikiran yang diberikan dalam bentuk beberapa suku kata
atau kata, guna keperluan meditasi dari seorang guru (Mantra Diksa)
2.
Stotra: doa-doa
kepada para devata, Stotra ada yang bersifat umum, yaitu; yang dipergunakan
untuk kepentingan umum yang harus datang dari Tuhan sesuai dengan kehendakNya,
misalnya doa-doa yang diucapkan oleh para rohaniawan ketika memimpin
persembahyangan, sedangkan Stotra yang bersifat khusus adalah doa-doa dari
seoarang pribadi kepada Tuhan untuk memenuhi beberapa keinginan khususnya,
misalnya doa memohon anak, dan sebagainya.
3.
Kāvaca Mantra: mantra
yang dipergunakan untuk benteng atau perlindungan dari berbagai rintangan.
Dalam kitab
Nirukta Vedangga, mantra dapat dibagi menjadi 3 sesuai dengan tingkat
kesukarannya, yaitu:
1.
Paroksa Mantra, yaitu
mantra yang memiliki tingkat kesukaran yang paling tinggi. Hal ini disebabkan
mantra jenis ini hanya dapat dijangkau arti dan maknanya kalau diwahyukan oleh
Tuhan. Tanpa sabda Tuhan mantra ini tidak mungkin dapat dipahami.
2.
Adyatmika Mantra, yaitu
mantra yang memiliki tingkat kesukaran yang lebih rendah. Mantra ini dapat
dicapai maknanya melalui proses pensucian diri. Orang yang rohaninya masih
kotor, tidak mungkin dapat memahami arti dan fungsi jenis mantra ini.
3.
Pratyāksa Mantra, yaitu mantra yang lebih mudah dipahami. Untuk menjangkau makna mantra ini
dapat hanya mengandalkan ketajaman pikiran dan indriya.
Disamping
itu ada juga jenis mantra yang ditulis baik dalam buku, kitab, lontar yang
disebutVarnātmaka Sabda, yang terdiri dari suku kata, kata ataupun
kalimat. Sedangkan mantra yang diucapkan disebut Dhvanyātma Sabda,
yang merupakan nada atau perwujudan dari pikiran melaui suara tertentu, yang
dapat berupa suara saja atau kata-kata yang diucapkan ataupun dilagukan dan
setiap macamnya dipergunakan sesuai dengan keperluan, kemampuan serta motif
pelaksana.
2.
Cara mengucapkan Mantra
1. Vāikari, yaitu mengucapkan mantra
dengan mengeluarka suara dan dapat didengar oleh orang lain, kekuatan mantra
yang diucapkan dengan cara ini akan mampu memecah guna tāmas (kelambanan),
ketakutan yang ada pada diri seseorang. Cocok dipakai bagi para sadhaka pemula
dan dapat menghancurkan energi negatif yang ada di sekitar pengucapnya.
2. Upaṁsu, yaitu mantra yang diucapkan
yang hanya didengar oleh orang yang mengucapkannya saja (berbisik-bisik),
kekuatan mantra yang diucapkan dengan teknik ini dapat memurnikan guna
rājas (nafsu). Jika mantra ini diucapkan dengan cara ini juga dapat memberikan
perlindungan (kāvaca) dari berbagai gangguan (lingkungan,
energi negatif, roh jahat, dan sebagainya).
3. Mānasika, yaitu mantra yang diucapkan dalam
hati, bermeditasi pada jiwa dari mantra serta arti dari kata-kata suci
tersebut tanpa menggerakkan lidah ataupun bibir. Kekuatan mantra ini akan dapat
menumbuhkan kesadaran illahi pada diri yang mengucapkannya, sedangkan yang
bermeditasi pada irama pernapasan dengan menggunakn mantra disebut Ajapajapa.
3.
Kualitas Mantra
1. Sattvika mantra (Produktif); yaitu dipakai dalam rangka
meningkatkan kesadaran illahi, semata-mata untuk memuliakan kebesaran Brahmandengan
segala prabavaNya, sehingga muncul perasaan welas asih, cinta, dan pengabdian,
terbebas dari ego kepemilikian dan nafsu, dipakai sebagai media untuk
menyebrangkan sang jiwa melewati lautan samsara/penderitaan kelahiran-kematian.
2. Rajasika Mantra (Protektif); yaitu kualitas mantra yang dipakai
untuk kelangsungan hidup secara duniawi, memenuhi keinginan (kama), memperoleh
artha, keturunan, kemuliaan, kemewahan, kesehatan, kewibawaan, kedudukan, dan
sebagainya.
3. Tamasika Mantra (Destruktif); kualitas mantra yang dipakai untuk
kegiatan menundukkan lawan, menghancurkan penyakit, mencelakakan orang lain,
termasuk ilmu hitam. (Sudarma, 2003: 164)
Terlepas
dari hal tersebut di atas, sebuah mantra akan dapat memberikan manfaat maksimal
(śākti, śiddhi, suci) baik kepada yang mengucapkannya maupun orang lain dan
lingkungan dalam bentuk vibrasi dipengaruhi oleh beberapa hal prinsip, yaitu:
1. Śraddhā; keyakinan yang mendalam
terhadap sebuah mantra yang dipakai media untuk merealisasikan tujuan tersebut.
Tanpa keyakinan, sama halnya ketika sakit lalu pergi ke dokter dan minta
diobati tetapi kita tidak yakin terhadap resep dan anjuran dokter tersebut,
tentu kita tidak akan sembuh.
2. Bhakti; perasaan hormat, rindu, cinta
kasih, yang mendalam terhadap mantra tersebut, memperlakukan mantra itu seperti
kita merawat diri sendiri, Dia adalah istri yang sesungguhnya
yang dengan setia menyertai langkah kita. Tanpa bhakti mantra apapun akan
menjadi bumerang buat kita. Kasih dan hormat pada mantra dengan keyakinan pada
hasil yang dijanjikannya jauh lebih penting daripada sekedar pengulang-ulangan
secara mekanis dengan pikiran ngelantur kemana-mana.
3. Sadhāna, cepat atau lambatnya sebuah
mantra memberikan manfaat kepada kita adalah karena Sadhāna (disiplin
spiritual), Bagaimana mungkin mantra akan menjadiŚiddhi apalagi Śākti kalau
hanya diucapkan seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali, sementara kita
setiap saat berhubungan dengan dunia maya yang senantiasa mengkontaminasi
badan, emosi, dan jiwa kita. Lukakanlah Sadhāna dengan konsisten
dan berkesinambungan. Tidak perlu tahu banyak mantra tetapi kita tidak paham
terhadap arti, makna yang tersirat didalamnya, cukup satu mantra tetapi kita
paham dan memiliki Sadhāna . saat ini, banyak orang tahu
banyak jenis mantra tersebut, hal seperti itu tak ubahnya seperti tong kosong
yang bunyinya nyaring tapi tidak memiliki kekuatan.
4. Chānda; teknik pengucapan mantra sangat
penting keberadaannya, karena jika sebuah mantra salah memberikan penekanan dan
pemenggalan sesuai dengan Chānda atauguru laghu dan guru bhasanya,
tentunya akan memiliki arti dan maksud yang berbeda. Mengenai irama itu sesuai
dengan bakat suara masing-masing sadhaka.
5. Kriya; kegiatan berupa pemujaan, baik
luar maupun dalam dengan pengetahuan tentang arti esoterik dan eksoteriknya,
ataupun pemujaan dalam semacam pengorbanan ke-akuan atau pembakaran segala
keinginan. (Sudarma, 1998: 6).
4.
Penggunaan Mantra
Menurut
waktu penggunaannya mantra dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Nitya Karma Puja, yaitu pengucapan mantra yang dilaksanakan
setiap hari secara rutin, misalnya seperti Puja Tri Saṇdhya, yang dilaksanakan
setiap hari. Nitya Karma Puja ada dua jenis, yaitu:
a.
Saṇdhyā Vandanā atau Saṇdhyŏpāsanā, yaitu pemujaan yang dilakukan pada setiap pertemuan
waktu, artinya doa dan pemujaan yang dipersembahkan kepada Tuhan, pada
pertemuan waktu (saṇdhi) malam hari dengan pagi hari, tengah hari dan pertemuan
antara sore hari dengan malam. Saṇdhyŏpāsanā harus dilakukan pada saat Saṇdhya
yang tepat, agar mendapat manfaat yang sebesar-besarnya berupa Brahma
Teja (Pencerahan Brahman), karena pada tiap-tiap Saṇdhya itu
terdapat perwujudan kekuatan khusus yang akan lenyap apabila Saṇdhya tersebut
berlalu. Kekuatan-kekuatan khusus tersebut dapat memotong rantai saṁsara masa
lalu dan mengubah seluruh situasi masa lalu seseorang, serta memberikan
kemurnian dan keberhasilan setiap usaha, dan menjadikannya penuh daya serta
ketenangan. Pelaksanannya Saṇdhya mutlak diperlukan bagi seseorang yang
menelusuri jalan kebenaran, karena pelaksanaan Saṇdhya merupakan kombinasi
dari Japa Upāsana, Svadhyāya, Meditasi, Konsentrasi, Āsana,, Praṇāyāma,
dan lain sebagainya. Pelaksanaan Saṇdhyŏpāsanā bersifat wajib, perlu dipelajari
tata tertib pelaksanaannya agar memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya;
karena kalau tidak dilaksanakan akan menimbulkan Pratyavaya Doṣa atau
doda karena lalai, dan jelas akan kehilangan Brahmma Teja atau
kecemerlangan spiritual. Referensi bacaan: Chandogya
Upaniṣad II.24, I.24, III.16, I.7; Brahma Upaniṣad; Maitreya
Upaniṣad II.13-14; Jabalŏpaniṣad. 12,13, dan sebagainya.
b.
Japa atau Namasmaranaṁ, yaitu pemujaan yang dilakukan untuk mengagungkan nama-nama suci Tuhan
dengan cara menyebut secara berulang-ulang. Dapat pula dibantu dengan
mala/rudraksa/ruas jari tangan atau menuliskannya di buku secara
terus-menerus/berulang-ulang.
2. Naimitika Karma Puja, yaitu pengucapan mantra yang
dilakukan secara insidential pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya: mantra
yang diucapkan ketika upacara abhiseka, peletakan batu pertama, dalam berbagai
saṁskāra, Purnama, Tilem, dan sebagainya. Dalam pelaksanaannya Naimitika Karma
Puja ini ada yang berdasarkan Panca Wara, Sapta Wara, Wuku, Sasih/Bulan,
Varsa/tahun, dan berbagai kejadian yang dianggap penting, seperti Gerhana
Matahari, Gerhana Bulan, Wabah, tempat angker, dan sebagainya.
YANTRA
Yantra
adalah bentuk “niyasa”
(= simbol = pengganti yang sebenarnya) yang diwujudkan oleh manusia untuk
mengkonsentrasikan baktinya ke hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, misalnya dalam
perpaduan warna, kembang, banten, gambar, arca, dan lain-lain.
Dalam
tradisi hindu,Yantra umumnya digunakan dalam melakukan upakara puja dengan
mengikut sertakan bija mantra sesuai Yantra tersebut Dengan banyaknya jenis
puja dan setiap puja menggunakan yantra dan mantra yang berbeda, sehingga
bentuk yantrapun dalam kesustraan hindu dibagi menjadi :
- Bhu
Pristha Yantra: yantra ini biasanya dibuat secara timbul atau dipahat pada
suatu bahan tertentu dan yantra yang hanya ditulis pada selembar kertas
atau kain.
- Meru
Pristha Yantra : yantra ini membentuk seperti gunung atau seperti piramid
dimana di bagian dasar penampangnya dibuat lebar atau besar semakin keatas
semakin mengecil misalnya seperti bentuk meru pada bangunan pelinggih yang
ada di Bali.
- Meru
parastar yantra : ini adalah bentuk yantra yang dipotong sesuai garis
yantra tersebut atau dipotong bagian tertentu.
- Ruram
Pristha Yantra: yantra dimana bagian dasarnya membentuk mandala segi empat
dan diatasnya dibentuk sebuah bentuk tertelungkup atau seperti pundak
kura-kura.
- Patala
yantra: ini adalah kebalikan dari meru Pristha yantra yaitu diatasnya
berbentuk besar an dibawahnya kecil.
Setipa
Yantra baik dari segi bentuk maupun goresan yang tertera pada Yantra tersebut
akan mempunyai arti yang berbeda serta tujuan yang berbeda pula. Karena yantra
mempunyai tujuan dan manfaat yang berbeda sehingga bentuk-bentuk yantra
dikembangkan dan diberi sentuhan artistik modern sehingga yantra tidak lagi
kelihatan seperti barang seni atau seperti sebuah perhiasan yang tentunya
disesuaikan dengan yantra serta kebutuhan si pemakainya.Dengan berkembangnya
jaman sekarang banyak sekali yantra dibentuk kecil ,misalanya dalam bentuk
kalung,gelang dan cincin. memang sebaiknya yantra tersebut diusahakan selalu
dekat dengan si pemakainya, dengan kedekatan itu antra energi yang ada dalam
yantra dan energi si pemakai menjadi saling sesuai. Yantra dapat diibaratkan
polaritas energi positif yang secara terus menerus mempengaruhi si pemakainya
sehingga dalam waktu singkat fungsi yantra yang dikenakan dapat dirasakan
manfaatnya atau hasilnya.
1. Menulis
Yantra
Dalam
menulis yantra,ada ketentuan yang harus diikuti agar yantra nantinya memiliki
energi untuk membantu apa yang diinginkan.Apabila ketentuan penulisan yantra
kurang diperhatikan bisa jadi yantra tersebut hanyalah mejadi sebuah goresan
tanpa memiliki kekuatan apapun. Ada beberapa hal yang diperhatikan menulis
yantra yakni: Waktu ,Tempat dan arah penulisan, setiap yantra mempunyai tujuan
dan manfaat yang berbeda-beda demikian juga dalam pembuatannya disesuaikan
dengan waktu dan tempat dalam menulisnya.Menulis yantra di pagi hari dengan
menghadap ke matahari terbit, maka yantra ditulis dari arah timur ke barat.
yantra ini umumnya digunakan untuk meningkatkan daya spiritual atau untuk
kesucian. Membuat yantra untuk mendamaikan biasanya ditulis pada malam hari
dengan posisi menghadap ke utara.Yantra untuk mencapai kesuksesan ditulis pada
siang hari dengan posisi menghadap ke Barat.Dan berbagai waktu dapat
dipergunakan menulis yantra yang mana disesuaikan dengan tujuan yantra yang
akan ditulis.
Alat
untuk menulis Yantra, biasanya dalam memulis yantra pena yang digunakan
terbuat dari bermacam-macam jenis misalnya pena terbuat tangkai melati,tangkai
pohon delima,bulu burung ataupun tebuat dari dari logam.
2.
Yantra
& Mantra
Yantra bukanlah sesuatu yang magis atau
tahayul, akan tetapi sebuah instrument rahasia yang mampu dimanfaatkan untuk
mencapai tujuan atau memenuhi keinginan dan ambisi.Sebuah instrumen berbentuk
diagram mistik yang sangat rumit dimana setiap goresan ataupun huruf yang
tertulis mengandung makna dan kekuatan tertentu. Yantra telah dikenal sejak
jaman Purba dimana oleh para Rsi dan orang bijak memanfaatkan yantra untuk
membantu mencapai tujuan kesuciannya. Selain itu Yantra juga banyak
dimanfaatkan oleh orang dijaman dulu untuk memenuhi keinginan dan tujuan yang
dia ingin capai.Mereka meyakini dengan kekuatan Yantra tertentu atau yang tepat
untuk dirinya maka yantra itu akan mampu menghilangkan pengaruh buruk dari
zodiak atau planet yang mempengaruhi kelahiran atau kehidupan mereka.Sehingga
dengan yantra mereka mampu merasakan perubahan hidupnya kearah yang lebih baik,
lebih memajukan kehidupannya atau keinginannya telah terpenuhi.
Mantra adalah kata-kata/kalimat
atau suara khusus yang mengandung kekuatan atau daya magis.Mantra berasal dari
kata" Manas / manah " berarti Pikiran/hati, dan suku kata "Tra
" berarti Suara. Jadi mantra dalam hal ini berarti Suara Pikiran/hati atau
getaran pikiran/hati yang diprogram secara khusus untuk mendapatkan effek
tertentu yang nantinya dimanfaatkan untuk keperluan tertentu pula.
Manusia pada umumnya mengekspresikan
diri melalui isyarat berbentuk gerakan dan suara.Isyarat yang berbentuk gerakan
yang dapat dilihat dan di cecap inilah Yantra-nya, dan yang berupa gelombang
Suara yang didengar dan dirasakan inilah Mantra-nya.Antara Yantra dan Mantra
merupakan sesuatu yang saling berkaitan, saling mendukung dan saling melengkapi
untuk menerangkan atau menyampaikan suatu keinginan pribadi kepada Yang
Maha Kuasa.
Dari sisi lain Yantra dan Mantra dapat dikatakan simbolis
dari suatu bentuk dan suara yang bersisi kekuatan khusus.
TANTRA
Secara umum tantra dapat diartikan yaitu kekuatan suci dalam diri yang dibangkitkan dengan cara-cara yang ditetapkan dalam kitab suci. Tantra adalah konsep pemujaan Ida Sanghyang Widhi Wasa di mana manusia kagum pada sifat-sifat kemahakuasaan-Nya, sehingga ada keinginan untuk mendapatkan sedikit kesaktian.
Tantra adalah ilmu pengetahuan kerohanian yang untuk pertama kalinya diajarkan di India 7000 tahun silam. Tan barasal dari akar kata Sansekerta yang berarti “perluasan”, dan Tra berarti “pembebasan”. Dengan demikian Tantra merupakan latihan rohani yang mengangkat manusia ke dalam suatu proses yang memperluas pikirannya. Tantra menghantar manusia dari suatu keadaan tidak sempurna menjadi sempurna, dari keadaan kasar menjadi halus, dari kemelekatan menjadi terbebaskan.
Perkembangan Tantra berjalin dengan perkembangan peradaban di India kuno. Pada saat Tantra tumbuh menjadi latihan rohani yang utama, India sedang mengalami suatu masa persimpangan sejarah. Di barat laut suku-suku pengembara dari Asia tengah, yaitu Arya, mulai memasuki India yang mereka namakan Bharata Varsha(tanah yang menghidupi dan mengembangkan umat manusia). Meskipun mereka adalah bangsa pengembara dengan kebudayaan perang, di kalangan mereka ada juga para bijak yang dikenal sebagai Rishi yang mulai mengungkapkan berbagai pertanyaan mendasar tentang asal mula dan tujuan alam semesta.
Para bijak itu menyampaikan ajaran-ajarannya dari mulut ke mulut, dan belakangan mereka mengumpulkannya menjadi buku yang dikenal dengan nama Veda. Dalam ajaran-ajaran ini mereka mengemukakan pemikiran tentang Kesadaran Yang Maha Tinggi, jauh lebih maju daripada berbagai konsep yang sebelumnya ada di dunia ini mengenai para dewa yang dianggap menghidupi kekuatan alam. Mereka juga mengembangkan sistem doa dan puja agar dapat memasuki keterhubungan dengan Kesadaran Agung, namun kebanyakan bentuknya masih bersifat eksternal, ritual belaka.
Di India suku bangsa Aria berhadapan dan bertempur dengan penduduk pribumi - bangsa Austrik, bangsa Mongolia, dan bangsa Dravidia. Bangsa Aria menganggap para pribumi ini merupakan bangsa yang lebih rendah, dan dalam dongeng India seperti Ramayana, bangsa-bangsa itu dilambangkan seperti para monyet dan hantu.
Meskipun dianggap rendah, namun bangsa Arya sangat tertarik pada latihan rohani yang dipraktikkan para pribumi. Pendekatan rohani yang dianut mereka yang bukan Arya adalah Tantra, dan itu sangat berbeda dengan syariat Veda milik kaum Arya, karena Tantra pada dasarnya adalah proses introvers, masuk ke dalam, bukan sekedar upacara eksternal saja. Banyak orang Arya yang mulai mempelajari cara pengembangan rohani Tantra, dan pada masa kemudian buku-buku Veda sangat dipengaruhi oleh Tantra.
Dalam masa peperangan antara suku bangsa Arya dan non-Arya, lahirlah seorang agung. Namanya Sadashiva, artinya “dia yang selalu terserap dalam kesadaran” dan “dia yang sumpah satu-satunya hanyalah untuk memajukan kesejahteraan menyeluruh semua kehidupan”. Sadashiva, dikenal juga sebagai Shiva, adalah seorang Guru rohani yang istimewa. Meskipun Tantra sudah dipraktikkan sejak sebelum kelahirannya, namun beliaulah yang pertama kali mengungkapkan perkara rohani secara sistematis bagi umat manusia.
Bukan saja beliau adalah seorang guru spiritual, namun beliau juga pelopor sistem musik dan tari India, dari sebab itu beliau terkadang dikenal pula sebagai Nataraj (Tuhan Penata Tari). Shiva juga merupakan pelopor ilmu pengobatan India, dan menurunkan suatu sistem yang terkenal dengan nama Vaedya Shastra.
Dalam bidang sosial Shiva juga memainkan peranan penting. Beliau memelopori sistem pernikahan, yaitu kedua mempelai menerima saling tanggung jawab demi keberhasilan perkawinan, tanpa memandang kasta atau suku. Shiva sendiri melakukan perkawinan campur, dan dengan mengawini seorang putri Arya beliau membantu menyatukan berbagai pihak di India yang sedang saling berperang dan memberikan bagi mereka suatu sudut pandang sosial yang lebih universal. Karena kepeloporan sosial ini Shiva dikenal juga sebagai “Bapa peradaban manusia”.
Sumbangan terbesar dari Shiva pada kelahiran peradaban yang baru adalah pengenalan konsep dharma. Dharma adalah suatu kata Sansekerta yang berarti “sifat dari sananya” milik sesuatu hal. Apakah yang menjadi sifat alamiah dan kekhasan manusia? Shiva menerangkan bahwa manusia selalu menginginkan lebih, lebih daripada kenikmatan yang diperoleh dari kepuasan inderawi. Beliau mengatakan bahwa manusia berbeda dengan tanaman atau binatang karena apa yang sangat diinginkan oleh manusia adalah kedamaian mutlak. Itu adalah tujuan hidup manusia, dan ajaran rohani Shiva ditujukan untuk memberdayakan manusia untuk mencapai tujuan itu.
Seperti halnya dengan berbagai ajaran kuno lainnya, ajaran Shiva disampaikan dari mulut ke mulut, dan baru kemudian dituliskan ke dalam buku. Isteri Shiva, Parvati, sering bertanya pada beliau mengenai berbagai pengetahuan rohani. Shiva memberikan jawabannya, dan kumpulan tanya jawab ini dikenal sebagai Tantra Shastra (kitab suci Tantra). Ada dua macam buku. Prinsip-prinsip Tantra terdapat dalam buku bernama Nigama, sedangkan praktik-praktiknya dalam bukuAgama.
Sebagian buku-buku kono itu telah hilang dan sebagian lagi tak dapat dimengerti karena tertulis dalam tulisan rahasia untuk menjaga kerahasiaan Tantra terhadap mereka yang tak memperoleh inisiasi, namun dengan demikian pemikiran-pemikiran Tantra tak pernah terungkapkan dengan jelas.
Guru dan Murid
Dalam berbagai ulasan mengenai Tantra Shastra dan dalam bukunya mengenai kehidupan dan ajaran Shiva, Shrii Shrii Anandmurti mengemukakan beberapa pemikiran dasar bersumber dari ajaran-ajaran kuno itu. Salah satu unsur utama dalam Tantra adalah hubungan antara Guru dan murid. Guru berarti “seseorang yang dapat menyingkirkan kegelapan” dan Shiva menjelaskan bahwa agar diperolehnya keberhasilan rohani harus ada seorang guru yang baik dan seorang murid yang baik.
Shiva menjelaskan bahwa ada tiga jenis Guru. Golongan pertama adalah guru yang memberikan sedikit pengetahuan namun tidak menindaklanjuti pengajarannya. Jadi mereka pergi dan meninggalkan murid tanpa pengarahan. Kelompok kedua atau tingkat menengah adalah mereka yang mengajar dan mengarahkan para muridnya sebentar namun tidak selama masa yang diperlukan murid untuk mencapai tujuan akhirnya. Jenis guru yang paling baik menurut Tantra adalah yang memberikan pengajaran dan kemudian mengupayakan terus menerus agar muridnya mengikuti semua petunjuk dan sampai menyadari tujuan akhir kesempurnaan manusia.
Ciri guru yang istimewa ini lebih jauh diperinci dalam Tantra Shastra. Guru adalah yang tenang, dapat mengendalikan pikirannya, rendah hati, dan berpakaian sederhana. Dia memperoleh penghidupannya secara layak, dan berkeluarga. Dia fasih dalam filsafat metafisik dan matang dalam seni meditasi. Dia juga tahu teori dan praktik pengajaran meditasi. Dia mencintai dan menuntun para muridnya. Guru yang demikian disebut Mahakoala.
Namun meskipun ada seorang guru yang hebat, tetap saja harus ada sesorang yang dapat menyerap pelajarannya. Tantra Shastra menguraikan tiga kelompok murid. Jenis pertama dapat dibandingkan dengan sebuah gelas yang dibenamkan ke air dengan mulut kebawah. Meskipun berada di dalam air dan tampak penuh, namun bila dikeluarkan dari air akan tetap kosong. Ini seolah seorang murid yang berlaku baik di depan gurunya, namun begitu gurunya pergi, murid itu tidak melanjutkan latihannya dan tidak dapat menerapkan pelajarannya dalam keseharian.
Kelompok murid kedua adalah seperti gelas yang dicelupkan miring ke dalam air. Tampaknya memang penuh saat terbenam namun ketika diangkat akan kehilangan banyak air. Murid seperti ini adalah yang tekun saat kehadiran gurunya namun perlahan-lahan akan berkurang bahkan meninggalkan latihannya sama sekali.
Kelompok murid yang terbaik dilambangkan dengan gelas yang dibenamkan dalam air dengan posisi tegak. Saat dalam air gelas itu penuh dan saat diangkat keluar air tetap penuh. Murid seperti ini tekun berlatih di hadirat gurunya dan terus bertekun biarpun secara fisik terpisah jauh dari gurunya.
Hubungan guru murid sangat penting dan merupakan ciri kunci dalam Tantra. Jalan rohani sering disamakan dengan sisi tajam pisau cukur. Mudah sekali keluar dari jalur dan dengan demikian memang sulit memperoleh pembebasan. Sang guru selalu hadir untuk mencintai dan menuntun si murid pada setiap tahap upayanya.
Shiva adalah Mahakala, namun sejak kematiannya tak ada guru yang sepadan lagi dengannya dan Tantra mengalami surut. Berbagai ajarannya hilang dan sebagian lagi terpelintir. Kini Tantra terselubung misteri dan banyak sekali salah pengertian mengenainya.
Meraih pengertian tentang M
Untuk mengerti sumber salah pengertian itu, patut kita teliti mengenai 5M, yaitu beberapa latihan rohani yang dinamai dengan huruf mula M. Shiva mulai mengajarkannya sepadan dengan kemajuan murid. Beliau mengamati bahwa orang terntentu masih pada tingkat terkuasai oleh nafsu hewani dan sebagian lain sudah berkembang lebih tinggi. Beliau memberikan latihannya tergantung pada sifat muridnya.
Huruf M pertama adalah Mada. Artinya ada dua. Salah satu arti mada adalah “anggur”. Bagi mereka yang masih dikuasai oleh insting ragawi Shiva menganjurkan mereka untuk tetap minum anggur, namun beliau menunjukkan jalannya untuk mengendalikan kebiasaan itu dan akhirnya meninggalkannya. Bagi mereka pada tingkat yang lebih tinggi, mada mempunyai arti yang berbeda. Artinya bukan anggur melainkan “madu ilahi”. Sepanjang waktu kelenjar pineal mengeluarkan cairan yang disebut amrta. Seorang yogi yang telah membersihkan pikirannya dan berlatih puasa dapat mencicipi cairan ini dan mengalami kedalaman akibat cairan ini pada seluruh dirinya, yang sering disebut sebagai penuh kebahagiaan. Jadi, ada dua pengetian mada, yang kasar dan materiil, dan pengertian yang lebih halus dan rohani.
Huruf M berikutnya adalah Mamsa. Salah satu artinya adalah daging. Bagi mereka yang makan banyak daging, Shiva menganjurkan untuk meneruskannya namun dengan pemikiran rohani dan akhirnya mengendalikan serta meninggalkan kebiasaan itu. Bagi praktisi Tantra yang lebih halus, mamsa berarti lidah dan berhubungan dengan latihan rohani pengendalian ucapannya.
Matsya, huruf M yang ketiga, berarti ikan. Bagi praktisi yang masih berpikir ragawi, Shiva mengajarkan hal yang sama seperti anggur dan daging. Pada tingkat Tantra rohani atau halus, ikan berarti dua jalur halus yang menelusuri tubuh dari ujung tulang belakang yang saling menjalin dan berakhir di kedua lubang hidung. Kedua jalur ini dikenal sebagai ida dan pingala. Dengan pengetahuan pengendalian napas,Pranayama, aliran dalam kedua jalur itu dikendalikan dan pikiran menjadi tenang agar mudah meditasi. Ini adalah bentuk matsya bagi praktisi spiritual.
Huruf M berikutnya adalah Mudra. Mudra hanya mempunyai arti spiritual dan tak ada hubungannya dengan praktik yang lebih kasar. Mudra berarti memelihara hubungan dengan semua yang membantu kita memperoleh kemajuan rohani dan menghindarkan diri dari kehadiran semua hal yang dapat mengganggu kemajuan kita.
Huruf M terakhir adalah Maethuna, dan ini yang banyak menimbulkan kerancuan mengenai Tantra. Maethuna berarti persatuan. Pada pengertian yang rendahan berarti persatuan seksual. Bagi mereka yang masih dikuasai oleh insting seksual, Shiva menganjurkan bahwa seks dilakukan dengan ideasi rohani dan secara perlahan harus dikendalikan.
Bagi para praktisi yang lebih maju, yaitu mereka yang telah mempraktikkan Tantra yang lebih rohani dan lebih halus, Shiva mengajarkan praktik Maethuna yang lain. Dalam hal ini, “persatuan” berarti menyatukan kesadaran seseorang dengan Kesadaran Mahatinggi. Dalam hal ini enersi spiritual manusia, yang diam tertidur di ujung tulang belakang, dibangkitkan sampai naik mencapai pusat enersi yang paling tinggi (dekat kelenjar pineal), mengakibatkan praktisi mengalami persatuan dengan Yang Mahatinggi.
Persatuan yang halus
Salah satu ciri khas dari Tantra yang halus adalah metode meditasinya yang introvers, masuk ke dalam. Konsep mantra memiliki tempat yang penting dalam paham meditasi Tantra. “Man” berarti “pikiran” sedangkan “tra” berarti “yang membebaskan”. Maka mantraadalah getaran tertentu yang membebaskan pikiran.
Para yogi jaman dahulu bereksperimen dengan berbagai getaran suara dan mulai menggunakan suara-suara khusus yang mereka anggap berguna bagi perluasan pikiran. Mereka menemukan bahwa ada tujuh pusat enersi psycho-spiritual yang utama dalam tubuh manusia. Mereka selanjutnya menemukan bahwa ada 50 macam suara keluaran dari pusat-pusat enersi itu. Suara-suara ini terdapat dalam abjad Sansekerta, dan kombinasi dari suara-suara itu dipergunakan pada jaman dahulu dalam proses konsentrasi dan meditasi.
Selama meditasi Tantra, seorang meditator akan berkonsentrasi pada mantra dan mengupayakan satu getaran suara saja (dan ideasi yang berhubungan dengannya) dalam pikirannya. Pengulangan mantra secara menerus akan mengangkat kesadaran praktisi pada tingkat yang lebih tinggi.
“Tidak sembarang suara secara acak dapat dipergunakan untuk meditasi, namun memang ada beberapa ciri yang harus dimiliki mantra agar bermanfaat. Pertama, setiap mantra haruslah berdenyut sifatnya, yaitu mempunya dua suku kata yang dirapal ulang seiring tarikan dan hembusan napas. Selanjutnya mantra harus berkaitan dengan suatu ideasi. Paham umum yang digunakan mantra dalam meditasi adalah “Aku menunggal bersama Kesadaran Mahatinggi”. Mantra yang demikian membantu mengkaitkan kesadaran praktisi pada keseluruhan kesadaran alam semesta.
Ciri terakhir dari mantra adalah mantra harus memiliki getaran tertentu yang dapat menghubungkan getaran si meditator dengan getaran Kesadaran Agung. Karena setiap orang tidak sama, maka mantra yang digunakan juga tidaklah sama bagi setiap orang. Guru meditasi akan memilihkan mantra yang sesuai dengan getaran tertentu seseorang dan dapat menghubuingkan getarannya dengan irama semesta Kesadaran Agung.
Tantra bukan saja merupakan kumpulan teknik meditasi atau yoga belaka. Ada paham-paham mengenai dunia yang terkandung di dalamnya. Menurut Tantra, perjuangan adalah sari hidup. Upaya penuh perjuangan mengatasi berbagai kendala dan maju dari keadaan tak sempurna menuju yang sempurna adalah semangat sejati dari Tantra.
Dalam upaya maju dari ketidaksempurnaan menuju kesempurnaan, ada tiga tingkat yang harus dilalui. Tingkat pertama, seseorang masih dikuasai oleh insting hewaninya, namun pada tingkat berikutnya dia berhasil mengendalikan insting-insting itu dan mencapai tingkat perkembangan sebagai manusia sejati. Akhirnya, dengan upaya dan perjuangan yang berkelanjutan, suatu tingkat (kosa) akan tercapai saat seseorang bagaikan dewata. Tantra dengan demikian memiliki sudut pandang dunia yang sangat optimistik. Tantra menunjukkan bagaimana seseorang maju dalam lingkaran kosmik (”Brahmacakra“) dengan kesadaran yang kurang, maju menuju yang jauh sangat lebih tinggi
Pengetahuan
tentang kundalini sudah berumur kurang lebih tujuh ributahun. Kundalini
merupakan bagian dari ajaran Tantra yang berkembang diIndia dan Tibet. Ajaran
ini tidak diajarkan secara luas, hanya terbataspada murid-murid yang terpilih.
Pengetahuan ini diturunkan secaralangsung dari guru spiritual kepada muridnya
untuk menghindari jatuhnyapengetahuan ini kepada orang-orang yang berkesadaran
rendah dan kepadamereka yang hanya mencari kesaktian.
Karena itu
selama beberapa ributahun ilmu pengetahuan kuno ini tidak pernah
didokumentasikan. Setelahbeberapa ribu tahun, setahap demi setahap para guru
mulai menuliskanrahasia-rahasia ini agar pengetahuan ini tidak akan hilang
seluruhnya.Mereka menuliskannya dalam bahasa yang disamarkan. Dalam berbagai
macamkiasan, simbol, kode sehingga tulisan tersebut tidak dapat disalahgunakan
oleh para pencari yang tidak layak mempelajarinya.
Kundalini
berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti gulungan. Dalamkeadaan tidur (belum
bangkit dan belum aktif) , kundalini berbentuk gulungan 3½ lingkaran yang
terletak di sumsum tulang belakang manusia,tepatnya di bawah tulang ekor
(perinum). Ketika kundalini sudah bangkitdan aktif ia akan merambat naik
melalui jalur sushumna, menembus semua chakra dan akhirnya keluar dari chakra
mahkota. Pada saat merambat naik, kundalini akan membersihkan semua jalur-jalur
energi yang dilaluinya dan saat itu, anda akan merasakan sensasi-sensasi
tertentu di tubuh anda.
Pada saat
ini kundalini dapat dikatakan sebagai energi. Tujuh ributahun yang lalu
kundalini tidak dapat digambarkan dalam istilah energikarena pada saat itu
pengertian akan energi belum ditemukan. Kundalinijuga disebut sebagai
Kundali-shakti (kekuatan Kundali).Kata Kundalini atau Kundali digunakan oleh
aliran yoga dalam pengertianteknis dan dapat pula disebut sebagai kekuatan
dalam bentuk spiral atauenergi.
MANFAAT KUNDALINI
* Menciptakan
keseimbangan tubuh secara holistic (fisik, mental, emosional dan spiritual.
* Membantu
proses percepatan penyembuhan seluruh jenis penyakit.
* Peningkatan
daya imun tubuh dari penyakit dan stress.
* Melepaskan
trauma masa lalu.
* Memperbaiki
sikap mental yang kurang baik.
* Meningkatkan
kecerdasan dan konsentrasi.
* Kemampuan
untuk mengontrol pikiran dan emosi.
* Melancarkan
peredaran darah.
* Memperbaiki
sel-sel tubuh yang rusak dan meremajakan DNA tubuh.
* Membersihkan
kotoran-kotoran eterik.
* Memperbaiki
system metabolisme tubuh.
* Membersihkan
chakra-chakra dan jalur-jalur energi.
* Memurnikan
getaran/vibrasi energi pada tubuh.
* Menyeimbangkan
keaktifan semua chakra.
* Memurnikan
prana/energi yang masuk ke dalam tubuh.
* Membantu
bangkitnya kemampuan clairvoyance, yaitukemampuan dalam melihat dan merasakan
energi yang halus (subtleenergies) seperti : melihat aura, pancaran energi,
melihat chakra dll.
* Membantu bangkitnya kemampuan clairaudience, yaitu
kemampuan dalam mendengar dan memahami suara gaib, mendengar pesan dari
alam/dimensi lain.
* Membantu
bangkitnya kemampuan psychometry, yaitu dapat mengetahui sejarah suatu benda
hanya dengan sentuhan saja.
* Membantu
bangkitnya kemampuan clairsentience, yaitu kemampuan merasakan suatu pikiran,
emosi, aroma, dan sensasi fisik (emosi dan sakit yang diderita orang lain).
* Membantu
bangkitnya kemampuan psychokinesis, yaitu kemampuan mempengaruhi sikap, pikiran
dan jiwa seseorang ke arah yanglebih baik, menenangkan orang yang kalap,
bingung, emosi, dan dapatmenyadarkan/menetralisir orang yang kesurupan
(trance).
* Materialisasi,
yaitu kemampuan untuk mewujudkan/mempercepat prosespencapaian
keinginan/cita-cita, menetralisir suatu tempat / benda darienergi yang
merugikan.
* Out Of Body
Experience, yaitu kemampuan untuk melepastubuh eterik memasuki dimensi tingkat
tinggi, bertemu dengan spiritualguide/ascended masters/guru-guru tingkat tinggi.
* Merasakan
peningkatan pengalaman spiritual dalam kehidupan yanganda jalani sekarang
maupun pada tingkat dimensi yang lebih subtle dantinggi.
* Lebih mudah
memasuki keadaan meditatif.
* Peningkatan
kesadaran yang lebih tinggi guna pencerahan/enlightment.
* Proteksi
tubuh, harta benda dan objek lainnya.
* Terlindungi
dari niat tidak baik orang lain.
* Menetralisir
ancaman-ancaman kejahatan.
* Terbebas dari
pengaruh serangan energi negatif.
* Reflek tubuh
yang baik disaat bahaya mengancam, dll
Penyatuan Siva-Buddha Melalui Ajaran Tantra di Bali
Sejarah
Ringkas Śiva-Buddha
Dalam
sejarah kebudayaan Indonesia, evolusi Śiva-Buddha dibagi menjadi tiga phase,
yaitu phase pertama meliputi evolusi sebelum
zaman Majapahit; phase kedua pada zaman Majapahit (1292-1500); dan phase ketiga
setelah zaman Majapahit terutama perkembangan kedua sistem keagamaan tersebut
di Bali.
Pada
phase pertama, yaitu sebelum zaman Majapahit tingkat sinkretisme antara
Śivaisme dan Buddhisme belum menunjukkan gejala penyatuan yang kuat sehingga
perbedaan antara Śivaisme dan Buddhisme masih dapat diperlihatkan.
Pada
phase kedua, yaitu pada zaman Majapahit, sinkretisme antara kedua agama
tersebut menunjukkan tingkat penyatuan yang semakin kuat karena beberapa alasan
seperti peran raja yang menganut kedua agama tersebut, berkembangnya ajaran
tantra yang mempengaruhi baik Śivaisme maupun Buddhisme, inter-marriage, dan
persamaan-persamaan antara kedua sistem tersebut baik dalam tataran philosophy,
etika maupun upacara keagamaan, disamping sosial keagamaan seperti kerjasama
dalam mendirikan bangunan suci.
Sedangkan
phase ketiga, yaitu evolusi Śiva-Buddha setelah Zaman Majapahit, khususnya di
Bali, menunjukkan tingkat hubungan yang semakin luluh, seperti ditunjukkan oleh
kenyataan dimana Śiva dan Buddha dipuja didalam Padmasana sebagai Tuhan yang
satu yang disebut Sanghyang Tunggal.
Di
India, percampuran Śiva-Buddha mulai menunjukkan jati dirinya bersamaan dengan
berkembangnya ajaran Tantra pada dinasti Pala (dari abad 8-11 Masehi) di Bengal
dan Bihar pada dinasti Bhumakaras (736-940 M) di Orissa. Tanda-tanda awal
percampuran antara Śaktisme, Śivaisme dan Buddhisme bisa ditemukan di Mandir
Vetal, yaitu tempat suci untuk memuja Sakti. (H.C. Das, 2003: 70). Menurut R.C.
Sharma (2004: 10) percampuran antara mazab Śiva and Buddha di India merupakan
hasil dari interaksi yang diinginkan (interaction of willing), sehingga
unifikasi tersebut menghasilkan hubungan yang damai dan harmonis. Interaksi
yang tidak diinginkan atau interaksi yang dipaksakan akan menghasilkan
ketidak-harmonisan.
Dalam
sejarah evolusi agama Hindu dan Buddha di India, tidak
selalu terjadi hubungan yang harmonis di antara kedua agama tersebut. Ada
kalanya, interaksi di antara kedua agama tersebut, justru menyebabkan agama
Buddha mengalami kemerosotan (decline). Khususnya pada akhir zaman pertengahan
(medieval period) kebencian kaum Brāhmaṇas terhadap pengikut Buddha dianggap
salah satu faktor penyebab kemerosotan agama Buddha di India. Kurangnya
perlindungan terhadap pengikut Buddha dari raja-raja Hindu juga memegang
peranan penting atas kemerosotan agama Buddha di India, selain karena
berkembangnya ajaran Tantra.
Di Nepal, gejala percampuran Śiva-Buddha, dapat ditelusuri melalui tempat suci
Pasupathinath Mandir. Ini adalah salah satu tempat suci terbesar di Nepal,
dimana Śiva dipuja sebagai pelindung semua makhluk hidup atau Pashupati.
Sejarah pemujaan Pashupati di lembah Himalaya ini sudah ada sejak abad ke 3-4
M, sebagaimana dijelaskan dalam prasasti dan sumber-sumber sastra.
Pada
bagian uttama mandala (sanctum sancturium) dari Pashupatinath Mandir terdapat
Śivalingga. Pada setiap bulan Juli, yaitu pada Srawana Purnima, umat Buddha
Newar di Lembah Kathmandhu, memuja Pashupatinath sebagai Bodhisattva avalokitesvara.
Mereka memuja Śivalingga dengan menghiasi bagian kepala Śivalingga tersebut
dengan mahkota. Mahkota tersebut umumnya berbentuk pendeta Buddha tantrik.
Dalam Prasasti Pritivi Malla yang ditemukan di daerah Nepal bagian Barat,
berangka tahun saka 1279 (1357 M), mantra Buddha “Om Mani Padme Hum” dituliskan
pada bagian atas prasasti, sedangkan pada bagian bawah ditulis mantra Hindu “Om
Swasti”.
Sinkretisme
Śiva-Buddha bukanlah monopoli Indonesia. Selain di India dan Nepal, phenomena
yang sama juga terjadi di beberapa Negara Asia dan Asia Tenggara, seperti Tibet
dan Kamboja. Namun, gejala percampuran Śivaisme dan Buddhisme di Indonesia
tidak hanya yang terbesar dalam hal pengaruhnya yang luas terhadap kepercayaan
masyarakat, melainkan juga satu-satunya contoh sinkretisme yang masih tetap
bertahan hidup sampai saat sekarang.
Penyatuan
Śiva-Buddha Melalui Ajaran Tantra di Bali
Beberapa
sarjana mencoba membagi tantra menjadi dua bagian utama, yaitu: “jalan kanan” dan “jalan
kiri.” Bernet Kemper berpendapat, tantra “jalan kanan” (menghindari
praktek ekstrem, mencari-cari pengertian yang mendalam, dan pembebasan melalui
asceticism) harus dibedakan dari “jalan kiri” (black magic dan ilmu sihir). Ia
kemudian menegaskan, didalam “jalan kanan”, bhakti atau penyerahan diri
memegang peranan yang sangat penting. Lebih dari itu, bhakti cenderung menolak
dunia material. Sedangkan “jalan kiri” mempunyai kecendrungan yang sangat
berbeda. Ia berusaha keras untuk menguasai aspek-aspek kehidupan yang
mengganggu dan mengerikan seperti kematian dan penyakit. Untuk mengatasi hal
tersebut, eksistensi dari kekuatan keraksasaan (demonic) “jalan kiri” membuat
kontak langsung di tempat-tempat yang mengerikan seperti di pekuburan.
Pandangan
kalangan akademis ini sangat berbeda dengan pandangan dari praktisi tantra.
Para praktisi tantra pada umumnya menolak pembagian tantra atas tantra positif
dan negative dan menekankan pada metode untuk mentransformasikan keinginan.
Lama Thubten Yeshe, seorang praktisi Tibetan tantra, mengatakan, tantra
menggunakan pendekatan yang berbeda. Meskipun tantra mengakui bahwa khayalan
seperti keterikatan kepada keinginan adalah sumber dari penderitaan dan oleh
karena itu harus diatasi, namun ia juga mengajarkan keahlian untuk menggunakan
energi dari khayalan tersebut untuk memperdalam kesadaran kita sehingga
menghasilkan kemajuan spiritual. Seperti mereka yang dengan keahliannya mampu
mengangkat racun tumbuh-tumbuhan dan menjadikannya obat yang mujarab, seperti
itu pula seorang yang ahli dan terlatih dalam praktek tantra, mampu
memanipulasi energi keinginan bahkan kemarahan menjadi mapan. Ini
sungguh-sungguh sangat mungkin dilakukan.
Dalam arti tertentu, tantra merupakan suatu teknik untuk mempercepat pencapaian
tujuan agama atau realisasi sang diri dengan menggunakan berbagai medium
seperti mantra, yantra, mudra, mandala, pemujaan terhadap berbagai dewa dan
dewi, termasuk pemujaan kepada makhluk setengah dewa dan makhluk-makhluk lain,
meditasi dan berbagai cara pemujaan, serta praktek yoga yang kadang-kadang
dihubungkan dengan hubungan sexual. Elemen-elemen tersebut terdapat dalam
tantra Hindu maupun Buddha. Kesamaan teologi ini menjadi faktor penting yang
memungkinkan tantra menjadi salah satu medium penyatuan antara Śivaisme dan
Buddhisme di Indonesia.
Hubungan
sex dalam Tantra, seperti diperkirakan oleh Dasgupta
merupakan penyimpangan dari konsep awal Tantra. Konsep Tantra
meliputi elemen-elemen yakni: mantra, yantra, mudra, dan yoga. Penyimpangan
tersebut terjadi karena penggunaan “alat-alat praktis” (practical means) dalam
Tantra Buddha yang berdasarkan prinsip-prinsip Mahāyāna dimaksudkan untuk
merealisasikan tujuan tertinggi. Dengan kata lain, tujuan tertinggi baik tantra
Hindu maupun Buddha, adalah tercapainya keadaan sempurna dengan penyatuan
antara dua praktek (prajñā and upāya) serta merealisasikan sifat non-dual dari
Realitas Tertinggi.
H.B.
Sarkar menyatakan hubungan sexual dalam Tantra lebih diarahkan untuk mengontol
kekuatan alam dan bukan untuk mencapai pembebasan. Ia mengatakan, secara
umum, tradisi Indonesia, membagi tujuan hidup manusia menjadi dua: pragmatis
and idealistis. Mengontrol kekuatan alam adalah salah satu tujuan pragmatis.
Hal ini biasanya dilakukan oleh raja yang mempraktekkan sistem Kālācakrayāna
dalam usaha melindungi rakyatnya, memberikan keadilan, kesejahteraan dan
kedamian.
Di
Indonesia dikenal tiga jenis tantra, yaitu: Bhairava Heruka di Padang Lawas,
Sumatra Barat; Bhairava Kālācakra yang dipraktekkan oleh raja Ktanegara dari
Singasari dan Ādityavarman dari Sumatra yang sezaman dengan Gajahmada di
Majapahit; dan Bhairava Bhima di Bali. Arca Bhairava Bima terdapat di Pura
Edan, Bedulu, Gianyar, Bali. Menurut Prasasti Palembang (684 M), Tantrayana
masuk ke Indonesia melalui kerajaan Śrivijaya di Sumatra pada abad ke- 7.
Kālacakratantra memegang peranan penting dalam unifikasi Śivaisme dan
Buddhisme, karena dalam tantra ini, Śiva and Buddha, di-unifikasi-kan menjadi
Śivabuddha.
Konsep
Ardhanarisvarī memegang peranan yang sangat penting dalam Kālācakratantra.
Kālācakratantra mencoba menjelaskan penciptaan dan kekuatan alam dengan
penyatuan Dewi Kali yang mengerikan, tidak hanya dengan Dhyāni Buddha,
melainkan juga dengan Ādi Buddha Sendiri. Kālācakratantra mempunyai berbagai
nama dalam sekta tantra yang lain, seperti Hewajra, Kālācakra, Acala, Cakra
Sambara, Vajrabairava, Yamari, Candamahaosana dan berbagai bentuk Heruka.
Didalam Tantrayana, ritual adalah elemen utama untuk merealisasikan Kebenaran
Tertinggi. Seni adalah bentuk luar materi sebagai ekspresi dari ide-ide yang
berdasarkan intelektual dan dirasakan secara emosional. Seni ritual berhubungan
dengan ekspresi ide-ide dan perasaan tersebut yang secara khusus disebut
religious. Ini adalah suatu cara, dengan mana kebenaran religious ditampilkan,
dan dapat dimengerti dalam bentuk material dan simbol-simbol oleh pikiran. Ini
berhubungan dengan semua manifestasi alam dalam wujud keindahan, dimana untuk
beberapa alasan, Tuhan memperlihatkan Diri Beliau Sendiri. Tetapi ini tidak
terbatas hanya untuk tujuan itu semata-mata. Artinya, dengan seni
religious sebagai alat, pikiran ditransformasikan dan disucikan.
Mazab
Śiva-Buddha dengan pengaruh khusus Kālācakratantra dapat dilihat pada
tinggalan-tinggalan arkeologi, seperti di Candi Jawi. Prapanca dalam
Nāgarakěrtāgama Bab 56, ayat 1 dan 2, melukiskan monumen ini dengan sangat
indah. Bagian bawah candi, yaitu bagian dasar dan badan candi, adalah Śivaistis
dan bagian atas atau atap, adalah Buddhistis, sebab didalam kamar terdapat arca
Śiva dan diatasnya di langit-langit terdapat sebuah arca Akobhya. Inilah
alasannya mengapa Candi Jawi sangat tinggi dan oleh karena itu disebut sebuah
Kirtti.
Dalam
tantra Hindu prinsip metaphisik Śiva-Śakti dimanifestasikan di dunia
material ini dalam wujud laki dan perempuan; sedangkan dalam tantra Buddha pola
sama diikuti, dimana prinsip-prinsip metaphisik Prajñā and
Upāya termanifestasikan dalam wujud perempuan dan laki. Tujuan tertinggi
dari kedua mazab tantra ini adalah penyatuan sempurna, yaitu penyatuan
antara dua aspek dari realitas dan realisasi dari sifat-sifat non-dual dari roh
dan non-roh.
Prinsip-prinsip
tantra secara fundamental sama dimana-mana. Perbedaan-perbedaan kecil yang
barangkali ada, hanyalah perbedaan pada nada dan warna. Dalam tantra Hindu,
nada dan warna tersebut, diisi oleh ide-ide filsafat, agama dan praktek-praktek
agama Hindu; sedangkan tantra Buddha diisi oleh ajaran-ajaran agama Buddha.
Sehubungan
dengan tantra Hindu dan Buddha ini, H.B. Sarkar mengatakan, mistik yang lebih
tua dan ritual dengan praktek-praktek shamanisme diperlakukan dan dimodifikasi
dengan perhiasan-perhiasaan baru pemujaan yang didominasi oleh mandala, mantra,
mudrā, ābhiseka, dan sebagainya. Disini, baik tantra Buddha maupun
tantra Hindu sebagian besar menggunakan simbul-simbul luar dan pola yang
sama dalam penyelenggaraaan ritual, tetapi isi dan objek dari kedua tantra itu
berbeda secara keseluruhan. Sebab, para sadhaka Buddha melalui praktek
tantra menginginkan pembebasan dari ikatan dunia material dan tenggelam
kedalam kebahagiaan abadi, sedangkan tantra Śaiva ingin mengontrol dunia
material.
Dengan
kenyataan-kenyataan tersebut tidak mengherankan apabila Śivaisme dan
Buddhisme bisa mencapai penyatuan yang begitu dalam melalui medium ajaran
Kālācakratantra. Alasan atas kuatnya penyatuan tersebut juga dapat ditelusuri
melalui fakta sejarah bahwa awal mula kehadiran Kālācakratantra di antara
pemeluk Hindu dan Buddha adalah untuk melakukan perlawanan terhadap pengaruh
kekuasaan Islam.
Biswanath
Banerjee mengatakan, penyatuan dewa-dewa dan dewi-dewi Hindu mencapai
puncaknya pada waktu berkembangnya sistem Kālācakra. Faktor utama yang
mendorong berkembangnya kecendrungan berkompromi antara Buddhisme dengan
berbagai sekta dalam agama Hindu, dapat dilacak keberadaaannya dengan kehadiran
agama dan kebudayaan Islam. Ini dapat dipelajari melalui teks-teks Kālacakra
bahwa Buddhisme sedang mengalami masalah sosial atas sergapan infiltrasi
kebudayaan Smitic dan untuk melakukan perlawanan atas berkembangnya pengaruh
kebudayaan asing tersebut, mereka melakukan kerjasama dengan umat Hindu. Maksud
memperkenalkan sistem Kalacakra adalah untuk melindungi umat Buddha dan Hindu
dari konversi (pengalihan agama) ke agama Islam. Dengan maksud untuk
menghentikan kerusakan akibat kebudayaan asing, para pemimpin agama Buddha
melakukan inter-marriage dan inter-dining antara keluarga Buddha dan Hindu, dan
akhirnya mereka tertarik untuk berlindung dibawah panji satu Tuhan Kālacakra,
yang diterima di antara mereka sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Bagi mereka yang
sedang menghadapi darurat perang adalah sangat mungkin untuk menyatukan
berbagai kelompok religius dan berjuang dibawah kepemimpinan Tuhan Kālacakra
untuk melawan pengaruh asing. Perkembangan mazab ini dengan penyatuan dewa-dewa
Hindu yang begitu kuat didalam mandala Kālācakra menyebabkan terjadinya fusi
kebudayaan dan mereka akhirnya bersatu menghadapi bahaya yang segera terjadi
karena infiltrasi Islam. Selanjutnya dicoba melakukan penyatuan di antara semua
pengikut Brahmā, Visnu, Śiva dan termasuk orang-orang suci mereka di dalam satu
keluarga Vajrakula, dengan empat inisiasi utama didalam Kālacakra, yaitu
menghilangkan semua perbedaan didalam ras, kelas, syahadat dan tradisi.
Selain
karena pendekatan sejarah dan teologi, banyak juga yang melihat penyatuan
Śiva-Buddha karena persamaan philosophy. Ida Bagus Made Mantra mengatakan bahwa
persamaan fundamental dalam teori manifestasi antara Śivaisme,
khususnya Śaiva Siddhānta, dan Buddha Mahāyāna bertanggung jawab atas
berkembangnya mazab Śiva-Buddha. Untuk tujuan ini ia memberikan uraian yang
sangat panjang.
Dalam
filsafat Śaiva Siddhānta terdapat tiga tattva (realitas): Śiva-tatva,
Sadāśiva-tattva, dan Mahěśa-tattva. Ketiga tattwa tersebut berturut-turut
memiliki sifat-sifat sebagai berikut: Niskalā, Sakalā-niskalā dan Sakalā.
Ketiga tattvas dari Śaiva Siddhānta itu berkaitan dengan empat Kāya dari
filsafat Buddha Mahāyāna. Ke-empat kayā itu adalah: Svabhāva-kāya, Dharma-kāya,
Sambhoga-kāya dan Nirmaya-kāya.
Niskalā
artinya tanpa bentuk, dan aspek ini merupakan ciri dari Śiva-tatva. Śiva dalam
posisi tertinggi adalah tanpa bentuk atau tanpa atribut atau dalam suatu
keadaan entitas tanpa bentuk yang tak dapat dibedakan (undifferentiated
formless entity). Dalam kedudukan ini semua bentuk-bentuk yang diciptakan dari
corpo-realitas menyatukan badan mereka didalam penyebab awal (Primeval Cause).
Keadaan ini merupakan keadaan damai yang tidak dapat dimengerti. Dalam
kedudukan ini pula, Realitas Tertinggi, dipahami tanpa awal dan akhir, meresap
kedalam seluruh alam semesta, tak terpisahkan dan tidak dapat dibandingkan.
Inilah keadaan yang dipahami dalam keadaan Niskalā. Svabhāvaka-kāya adalah
kesadaran murni, bersih dari semua kekotoran subyektif dan obyektif, passif,
tanpa aktifitas, meliputi alam semesta, penyatuan kosmis dari kebijaksanaan
yang tak terbatas dan kebajikan, memiliki kasih sayang universal,
prinsip-prinsip dalam (inner principle) dari semua Dharma. Sifat-sifat tersebut
adalah sifat dari svabhāvaka-kāya yang diidentifikasikan dengan Buddha.
Ke-empat kaya tersebut diklasifikasikan menjadi dua group. Group pertama,
Svabhāvaka-kāya dan Dharma-kāya, yang bersifat kesucian sempurna, passif
didalam prinsip-prinsipnya, dan group kedua, muncul di dunia ini untuk
dipertunjukkan. Disini perlu digaris-bawahi bahwa Svabhāvaka-kāya kadangkala
tidak dijelaskan, dan oleh karena itu, hanya Dharma-kāya mewakili prinsip murni
dan passif.
Mazab
Shinghong dari Buddha Mahāyāna di Jepang juga mempunyai teori manifestasi dari
penyatuan alam (manifestation of the cosmic unity) yang kurang lebih memiliki
persamaan dengan Śaiva Siddhānta. Menurut mazab ini, Tathāgata Mahavairocana
atau Dahrma-kāya mempunyai dua perwujudan, yaitu Garba-dhātu (matrix element),
dan Vajra-dhātu (thunder element). Garba-dhatu memiliki karakter: a) Meditasi
Agung, b) Kebijaksanaan, c) Kasih sayang, dan masing-masing dari ketiganya
diatributkan kepada Buddha, Vajra and Padma. Buddha bersesuaian dengan
Tathāgata-Mahavairocana yang menandakan pengetahuan sempurna. Yang kedua
bersesuaian dengan Vajra-sattva menandakan suatu kebijaksanaam, pasti dalam
sifat-sifatnya dan menghancurkan semua penderitaan. Yang ketiga bersesuaian
dengan Avalokitěsvara menandakan pemikiran murni dari bagian dalam makhluk
hidup.
Dhātu
kedua, Vajra-dhātu (elemen halilintar), mempunyai lima aspek, tiga diantaranya
termasuk tiga klas sebagaimana dijelaskan didalam Garba-dhātu, dan dua lainnya
adalah Ratnānubhāva dan Karmānubhāva. Sifat-sifat Ratnānubhāva mengungkapkan
kebenaran dan pembebasan sempurna dari Buddha tanpa pembatasan. Yang kelima,
Karmānubhāva memperlihatkan pemenuhan dari seluruh kegiatan.
Dalam
perbandingan sistem cosmology antara filsafat Buddha Mahāyāna dan Śaiva
Siddhānta, keduanya mempunyai basis yang sama. Ini terlihat dari tritunggal
Śaiva Siddhānta seperti Paramaśiva, Sadāśiva dan Sadāśiva-Mahěsvara dengan
bentuknya dalam Niskalā dan Niskalā-Śakalā, yang parallel dengan tritunggal
Buddha, yakni: Buddha Vajrasattva dan Avalokitěsvara dengan bentuk mereka
berturut-turut sebagai Dharmakāya, Sambogakāya dan Nirmāna-kāya.
Didalam
Buddha Mahāyāna, keadaan tertinggi adalah Boddhi Citta atau pikiran yang
tercerahkan. Boddhi Citta ini mempunyai dua elemen yang terdiri dari Sūnyatā,
pencerahan sempurna dari sifat-sifat kesunyataan, dan kedua adalah Karunā,
kasih sayang universal untuk semua makhluk hidup. Penggabungan menjadi satu
dari kedua elemen tersebut (Sūnyatā and Karunā) dikenal sebagai Advaya.
Didalam
ajaran Vajrayana, realisasi dari kedua elemen tersebut sangat penting.
Dikatakan, keadaan Sūnyatā adalah berdasarkan pada realisasi bahwa semua benda
adalah fana, tanpa roh. Mereka seperti khayalan dalam mimpi, dan tidak
nyata. Sūnyatā diberkati dengan kesucian, tanpa eksistensi, tidak terlahirkan,
dan kosong. Karunā, yang mewakili kasih sayang semesta dimaksudkan untuk
menyebarkan pengetahuan yang benar kepada umat manusia. Kenginan menyebabkan
manusia diikat oleh kebodohan, dan tidak bisa merealisasikan hukum tumimbal
lahir karena tekanan dari kegiatan mereka. Kasih sayang menyiratkan
terhilangkannya ikatan, dan menuntun mereka kepada kehidupan yang percaya
dengan hukum saling ketergantungan (Pratītya-samutpāda). (B. Bhattacarya, 1964:
102).
Sebagaimana
dijelaskan di atas, penggabungan kedua elemen tersebut dinamakan advaya. Ini
seperti bercampurnya garam didalam air, yang hasilnya berupa penghilangan
dualitas sehingga memunculkan non-dualitas. Belakangan, dalam mazab Vajrayana,
ide tersebut diganti dengan Ādi Buddha and Prajña. Jadi, kedua arca ini
mewakili Sunyatā and Karunā. Hubungan di antara kedua arca tersebut dilukiskan
dalam beberapa teks sebagai conjugal love (shajam prema) yang bersifat alami,
dan Yuganaddha (conjugal relation) atau dinamakan advaya, yang tidak lain dari
Boddhi-citta dan Dharma-kāya.
Konsep
sakti dalam agama Buddha juga parallel dengan sakti dalam Śivisme. Konsep
Yub-yam dalam Buddha diwakili oleh Śiva dan saktiNya, Parvati. Secara teknis,
bentuk ini disebut Ardhanāriśvara-mūrti. (Gophinatha Rao, 1916: 160). Disini,
Śiva Sendiri adalah murni dan sakti-Nya aktif, suatu kekuatan dinamis untuk membebaskan
roh-roh yang terikat dari karma mereka. Uraian-uraian diatas, menunjukkan
dengan jelas bahwa kesamaan-kesamaan dalam ajaran tantra, telah menyatukan
kedua agama tersebut, Hindu (Śiwaisme) dan Buddhisme, menjadi satu mazab
keagamaan yang tunggal, Śivabuddha. Dalam teks sastra Jawa Kuna kenyataan itu
berpuncak dalam sebutan “ya Buddha ya Śiva”, yang artinya tidak ada perbedaan
apakah anda seorang penganut Śiva atau Buddha.
Pemujaan
Śiva-Buddha di Bali
Di
Bali, sinkretisme ]iwa-Buddha, sudah ada sejak zaman Bali Kuno (abad 8-14 M),
sebagaimana dapat dibuktikan melalui tinggalan-tinggalan arkeologi dan
literatur. Pada Zaman Bali Kuna, agama Buddha mempunyai kedudukan yang sangat
kuat dalam masyarakat di Bali. Buddha dikenal dengan berbagai nama seperti
Jina, ]akyamuni, dan Sogata (Sanskrit: Sugata). Prasasti Sukavana (Sukhavana)
mengandung bukti yang sangat jelas, bahwa pendeta-pendeta brahmana diberikan
nama Bhiku, seperti: Bhiku Śivakansita, Bhiku Śivanirmala dan Bhiku
Śivavaprajna.
Nama-nama
tempat di Bali, seperti Sukawati, Suwung, Sakenan, semuanya mengingatkan kita
kepada konsep-konsep penting ajaran Buddha, seperti Sukhavati, Sunya dan
]akyamuni. Pengaruh Buddha di Bali masih sangat kuat sampai pada zaman modern
ini. Bahkan motto universitas negeri terbesar di Bali, Universitas Udayana,
mengambil inspirasi dari kutbah pertama Sang Buddha yang disampaikan di Taman
Menjangan, Benares: dharmacakraprawartana, pemutaran roda dharma. Agama Buddha
adalah yang pertama kali datang ke Bali.
Sedangkan
agama Hindu adalah yang pertama kali datang ke Indonesia. Dalam teks-teks
lontar kita menemukan istilah-istilah kasaiwan dan kasogatan, yang semua itu
memberi indikasi yang kuat tentang adanya penyatuan Śiva-Buddha di Bali. Yang
sangat menarik, hampir semua arca-arca Buddha ditemukan dalam tempat suci agama
Hindu. Para sarjana meyakini bahwa fakta ini bukan merupakan bukti tentang
konversi agama, melainkan suatu proses penyatuan antara Śivaisme dan Buddhisme
yang terjadi secara gradual dalam proses sejarah. Contoh-contoh seperti ini
bisa diperpanjang dengan mengutip sumber-sumber yang lebih luas lagi.
Pada
Zaman Majapahit, Bali merupakan perpanjangan birokrasi dari Majapahit. Suasana
keagamaan di Majapahit secara otomatis mempengaruhi Bali. Karena itu,
sinkretisme Śiva-Buddha di Bali menjadi semakin kuat karena pengaruh Majapahit.
Pengaruh itu dicatat dalam teks-teks sastra. Kidung Pamancangah, misalnya,
memberi gambaran yang jelas tentang sinkretisme Śiva-Buddha melalui pelaksanaan
homa yajna. Dijelaskan, pada tahun 1578 Dalem Watur Enggong di Samprangan
(Klungkung) melaksanakan upacara homa yaj〉a dalam rangka upacara Eka Dasa Rudra
di Besakih. Upacara homa ini dipimpin dua orang pendeta, yaitu pendeta Buddha
dan pendeta Śiva. Dari pendeta Śiva dipercayakan kepada Danghyang Nirartha,
sedangkan dari pendeta Buddha diwakili oleh Danghyang Astapaka.
Pada
mulanya Dalem Watur Enggong meminta Danghyang Angsoka, seorang pendeta di
kerajaan Majapahit, untuk mewakili pendeta Buddha dalam memimpin upacara homa
tersebut. Bahkan Dalem Watur Enggong sempat mengirim utusan ke Majapahit, Jawa
Timur. Tetapi setelah bertemu dengan Danghyang Angsoka, utusan itu diberi
tahu bahwa putranya, Danghyang Astapaka, yang lebih ahli dalam homa yaj〉a,
sudah ada di Bali. Karena itu, beliau menyarankan supaya putranya itu diminta
untuk memimpin homa yaj〉a tersebut. Akhirnya, utusan Dalem Watur Enggong balik
ke Bali, dan setelah menerima laporan dari utusan tersebut, Dalem Watur Enggong
memutuskan, bahwa pemimpin homa yajña dari pihak Buddha diwakili oleh Danghyang
Astapaka. Jadi, homa yajña dalam rangka upacara Eka Dasa Rudra di Besakih itu,
dipimpin oleh Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka. Dalam naskah kidung
ini, juga dijelaskan riwayat pelaksanaan homa yajna itu. Dikatakan, tempat pelaksanaan
homa yajna adalah didalam istana Samprangan, dan dalam proses pelaksanaannya,
api homa yajna tidak dapat dikendalikan dan menjadi semakin besar sehingga
membakar gedung tempat penyelenggaraan homa yajna tersebut.
Berbeda dengan di India, yang dalam periode tertentu, Buddhisme selalu
mengklaim diri lebih unggul dari Hinduisme (terutama soal filsafat), dan
sebaliknya Hinduisme selalu mengklain diri lebih unggul juga dari Buddhisme.
Di
Bali, posisi keduanya ditempatkan dalam kedudukan yang sejajar, tidak ada
yang lebih tinggi dan lebih rendah. Ini terbukti dari pengakuan para pendeta di
Bali, bahwa para pendeta Śiva tidak akan sempurna jika tidak mengetahui
ajaran agama Buddha, dan sebaliknya pendeta Buddha juga mengakui tidak akan
sempurna jika tidak mengetahui ajaran Śiva.
Air
suci “tirtha Buddha” dari pendeta Buddha dipakai oleh penganut Śiva untuk
penyucian roh orang yang meninggal, dan sebaliknya air suci pendeta Śiva
dipakai oleh penganut Buddha untuk tujuan yang sama.
Sebagaimana
diketahui, masalah sinkretisme Śiva-Buddha sebagian besar diuraikan dalam
teks-teks Buddha, seperti Sutasoma, Sanghyang Kamahanikan, Bubhuksah dan
sebagainya. Ada kecenderungan dalam teks-teks Buddha tersebut, untuk
menempatkan Buddhisme dalam posisi superior dibandingkan dengan Śivaisme.
Namun, belakangan di Bali, teks-teks yang bercorak Śivaisme justru menempatkan
]iwaisme lebih unggul dibandingkan dengan Buddhisme. Salah satu contohnya
adalah Tutur Candrabherawa. Pengawi dalam naskah ini menceritakan tokoh
Yudisthira yang menganut ajaran Karma Sanyasa, dan Candrabherawa yang menganut
ajaran Yoga Sannyasa. Dalam naskah disebutkan bahwa ajaran Karma Sanyasa
berpusat pada pembangunan tempat suci, persembahyangan sesaji yang dikenal
dengan Panca Yajna, dan penyembahan kepada Dewa. Sedangkan ajaran Yoga Sanyasa
adalah sebaliknya, tidak ada tempat suci, tidak ada persembahan, tidak ada
persembahan kepada Dewa. Yang dipuja adalah Sanghyang Adhi Buddha dengan
mempelajari Bajradhara. Tidak ada Dewa diluar (tempat suci), tetapi ada dalam
diri dan banyak persembahan yang mengantar ke Neraka. Maka itu, Dewa dalam
badan harus dipuja, agar lepas dari sorga dan neraka, tidak terlahirkan lagi.
Ajaran
yoga sanyasa yang dianut oleh Candrabherawa (tantra Buddha) seperti
dijelaskan diatas, sama persis dengan ajaran tantra sebagaimana
dijelaskan oleh S.B. Dasgupta, berikut ini: “Tdak ada perbedaan prinsip antara
tantra Hindu dan Buddha. Lepas dari banyaknya perbedaan, secara esensial,
tantrayana, baik Buddhisme maupun Hinduisme, menekankan pada suatu fostulat
fundamental, bahwa kebenaran terletak didalam badan manusia; atau, dengan kata
lain, badan manusia adalah medium yang paling baik untuk merealisasika
kebenaran. Penekanan khusus pada pentingnya badan manusia sebagai kebenaran
tertinggi, dan pada saat yang sama sebagai medium terbaik untuk merealisasikan
kebenaran, merupakan pendekatan berbeda, yang membuat sadhana tantra berbeda
dari semua jenis sadhana yang lain.
Namun
demikian, baik tantra Hindu maupun Buddha, keduanya secara fundamental mempunyai
ciri umum mengenai prinsip-prinsip teologi yang bersifat dualitas dalam
non-dualitas Keduanya mengakui bahwa realitas non-dual yang tertinggi mempunyai
dua aspek didalam sifatnya yang fundamental, yaitu negative (nivrti) dan
positif (pravrti), atau sifat-sifat statis dan dinamis. Kedua aspek dari
realitas tersebut diwakili oleh Siwa dan Sakti dalam agama Hindu,
sedangkan dalam agama Buddha diwakili oleh Prajna dan Upaya (Sunyata dan
Karuna)”.
Apabila
ajaran dalam Tutur Candrabherawa diatas, dianalisis menurut kerangka ajaran
agama Hindu dan Buddha secara keseluruhan, maka Karma Sannyasa tidak lain dari
ajaran Eksoteris yang menekankan ajarannya keluar badan. Sedangkan, ajaran Yoga
Sanyasa dapat disejajarkan dengan ajaran Esoteris yang memusatkan ajarannya
kedalam diri, kedalam badan. Secara tidak langsung Tutur Candrabherawa
menempatkan Karma Sanyasa (eksoteris) lebih superior atau lebih unggul
dibandingkan dengan Yoga Sanyasa, sebagaimana tampak dalam plot keberhasilan
Yudisthira menangkap roh Chandrabherawa dan membawanya kembali ke Dewantara,
dan termasuk adegan yang menyusul berikutnya dimana Chandrabherawa menyembah
Yudisthira. Kecendrungan ini merupakan hasil dari kuatnya pengaruh ritual dan
upakara yajna dari ajaran Śiva Siddhanta di Bali.
Jadi,
dalam arti khusus, agama Hindu sebagaimana yang dipraktekkan oleh umat Hindu di
Bali sampai saat ini adalah mazab Śiva-Buddha. Tetapi praktek Śiva-Buddha
sebagai ajaran tantra hanya dilaksanakan oleh kalangan pendeta secara terbatas.
Umat kebanyakan, tidak hanya tidak mempraktekkan (karena mereka tergantung
kepada pendeta), melainkan juga sama sekali buta dan tidak mengetahui tentang
ajaran-ajaran yang berkaitan dengan sinkretisme Śiva-Buddha ini. Kenyataan ini,
dapat dimaklumi, karena agama Hindu dan Buddha, baik di Indonesia maupun di
India, pada mulanya berkembang didalam lingkungan kerajaan. Dalam pengertian
ini, raja, atas saran penasehat kerajaan (purohita) melaksanakan ajaran
Śiva-Buddha, sedangkan rakyat hanya mengikuti apa yang dilaksanakan atau diperintahkan
oleh raja. Kondisi ini bertahan terus ketika kita telah memasuki zaman
post-modern, dimana fenomena keagamaan secara keseluruhan, termasuk agama Hindu
dan Buddha, berkembang menjadi agama massa.
Memang
ajaran yang dipraktekkan dalam tantra Śiva-Buddha disuplai oleh ajaran agama
Buddha dan Hindu (Śivaisme) secara bersama-sama. Dalam arti ini, mazab
Śiva-Buddha kadang-kadang dibedakan dari mazab tantra Śiva maupun mazab tantra
Buddha. Tetapi dengan kecendrungan perkembangan terakhir di Bali, terutama
setelah zaman kemerdekaan, apa yang disebut dengan Śiva-Buddha tidak lain dari
sub-sistem dari agama Hindu.
Secara
formal, para pendeta Śiva maupun pendeta Buddha di Bali, adalah beragama Hindu,
sebagaimana tercantum dalam KTP mereka. Sejarahnya bisa ditelusuri setelah
terbentuknya pemerintahan Indonesia setelah zaman kemerdekaan. Setelah
Indonesia merdeka, pemerintah menetapkan lima agama: Hindu, Buddha, Islam,
Katolik dan Kristen. Semua penduduk Indonesia diharuskan memilih salah satu
dari lima agama tersebut. Menghadapi kenyataan ini, para pendeta Buddha dan
para pengikutnya di Bali tidak memilih masuk menjadi agama Buddha, melainkan
mengikuti rekan mereka para pendeta Śiva menjadi pemeluk agama Hindu. Sejak
itu, para pendeta Buddha dan pengikutnya menjadi pemeluk agama Hindu.
Apapun
penilaian yang diberikan oleh berbagai kalangan atas sinkretisme Śiva-Buddha
ini, satu hal yang pasti, mazab Śiva-Buddha ini adalah suatu mazab yang unik,
karena didalamnya mengadopsi kepercayaan kuno dan kepercayaan lokal yang sangat
komplek. Didalamnya termasuk elemen-elemen pemujaan kepada leluhur, ibu bhumi,
pohon, roh burung, binatang, kekuatan magis, spirit dan hantu-hantu. Dalam
batas-batas tertentu, beberapa dari elemen tersebut, terutama kepercayaan lokal
seperti pemujaan kepada leluhur, telah dihapuskan dalam agama Buddha, seperti
terjadi dalam sejarah masuknya agama Buddha ke Srilanka.
Komentar
Posting Komentar