Masuknya Agama Hindu ke Indonesia merupakan masa yang
sangat panjang. Agama Hindu yang merupakan Agama yang muncul di daratan India,
masuk ke Indonesia melalui beberapa cara. Menurut sejarah, Masuknya Agama Hindu
ke Indonesia tidak lepas dari aktivitas dagang antara pedagang India dan
Pedagang-pedagang di nusantara. Tetapi jika kita hanya menganut satu teori ini,
kita tidak akan bisa mempelajari lebih jauh tentang sejarah masuknya agama
Hindu di Indonesia.
Di bawah ini akan di jelaskan secara luas tentang
masuknya Agama Hindu ke Indonesia menurut beberapa versi.
1.
Masuknya Agama Hindu ke
Indonesia menurut catatan Sejarah
Menurut catatan sejarah, masuknya Agama Hindu ke
Indonesia diperkirakan sekitar awal abad ke-IV. Ini ditandai dengan berdirinya
kerajaraan Kutai dan Tarumanegara yang bercorak Hindu. Kehadiran Agama Hindu ke
Indonesia menandai berakhirnya zaman prasejarah di Indonesia. Ciri-ciri
peralihan zaman pra sejarah adalah dengan di kenalnya tulisan. Hal ini di buktikan
dari beberapa prasasti yang ditemukan yang berasal dari Kerajaan Tarumanegara
yang menggunakan tulisan Pallawa, tulisan asli India. Ini membuktikan bahwa,
agama Hindu masuk ke Indonesia dan mengakhiri masa prasejarah di Indonesia,
memasuki masa sejarah.
2.
Teori masuknya Agama Hindu
ke Indonesia
Memasuki abad Masehi, antara Indonesia dengan India
sudah terjalin hubungan terutama dalam perdagangan. Setelah jalur perdagangan
India dengan Cina lewat laut (tidak lagi melewati jalan darat), maka selat
Malaka merupakan alternatif terdekat yang dilalui pedagang. Dalam hubungan
tersebut masuk dan berkembang pula agama dan budaya India di Indonesia.
Peristiwa masuknya agama dan kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia pada abad
pertama Masehi membawa pengaruh yang sangat penting. Peristiwa tersebut
menandai berakhirnya jaman prasejarah Indonesia dan memasuki jaman sejarah
serta membawa perubahan dalam susunan masyarakat dan kebudayaan yang berkembang
di Indonesia.
Proses masuknya pengaruh budaya India ke Indonesia,
sering disebut penghinduan. Pada dasarnya istilah ini sebenarnya kurang tepat,
karena disamping agama Hindu, masuk pula agama Budha. Proses ini terjadi
didahului adanya hubungan Indonesia dengan India, sebagai akibat perubahan
jalur perdagangan dari jalur tengah (sutera) berganti ke jalur pelayaran
(rempah-rempah. Hal ini didasarkan bukti peninggalan arca dan prasasti di
Indonesia. Sedangkan di India terdapat karya sastra, diantaranya kitab Jataka,
Ramayana dan Raghuwamsa. Kitab Jataka berisi kisah perjalanan Budha yang
menjumpai Swarnabhumi. Kitab Ramayana terdapat istilah Jawadwipa dan
Swarnabhumi. Kitab Raghuwamsa karya Kalisada tentang perdagangan India yang
menyebutkan Dwipantara sebagai asal bahan perdagangan cengkih atau lavanka.
Mengenai hipotesis/ teori masuknya pengaruh Hindu – Buddha di Indonesia, para
ahli berpendapat yang berlainan, dimana secara garis besar dibedakan atas:
·
Teori Ksatria. Teori ini juga disebut teori prajurit
atau kolonisasi yang dikemukakan CC. Berg dan FDK. Bosch. FDK. Bosch menggunakan
istilah hipotesa ksatria. Menurut teori ini, peran utama masuknya budaya India
ke Indonesia adalah ksatria. Hal ini disebabkan di India terjadi kekacauan
politik yaitu perang brahmana dengan ksatria, para ksatria yang kalah melarikan
diri ke Indonesia. Mereka mendirikan kerajaan dan menyebarkan agama Hindu.
Pendukung teori ini kebanyakan sejarawan India, terutama Majumdar dan Nehru.
Hipotesis ksatria banyak mengandung kelemahan yaitu tidak adanya bukti
kolonisasi baik di India maupun di Indonesia. Kedudukan kaum ksatria dalam
struktur masyarakat Hindu tidak memungkinkan menguasai masalah agama Hindu dan
tidak nampak pemindahan unsur masyarakat India (sistem kasta, bentuk rumah,
pergaulan dan sebagainya). Tidak mungkin para pelarian mendapat kedudukan sebagai
raja di tempat yang baru.
·
Teori Waisya. Teori ini dikemukakan NJ. Krom dan
Mookerjee yang berpendapat; orang India tiba ke Asia tenggara pada umumnya dan
khususnya Indonesia karena berdagang. Pelayaran perdagangan saat itu masih
tergantung sistem angin muson. Sehingga pedagang India terpaksa tinggal di
Indonesia selama beberapa saat untuk menanti bergantinya arah angin. Mereka
banyak menikah dengan penduduk setempat. Keturunan dan keluarga pedagang ini
merupakan awal penerimaan pengaruh India. Tampaknya teori ini mengambil
perbandingan proses penyiaran Islam yang juga dibawa pedagang. Teori ini juga
dibantah ahli lain, karena tidak setiap orang boleh menyentuh kitab Weda.
Ajaran Hindu milik kaum brahmana dan hanya mereka yang memahami kitab Weda.
·
Teori Brahmana. Teori ini dikemukakan JC. Van Leur,
FDK. Bosch dan OW. Wolters yang berpendapat bahwa orang yang ahli agama Hindu
adalah brahmana. Orang Indonesia/ kepala suku aktif mendatangkan brahmana untuk
mengadakan upacara abhiseka secara Hindu, sehingga kepala suku menjadi
maharaja. Dalam perkembangannya, para brahmana akhirnya menjadi purohito
(penasehat raja). Teori ini tampaknya dianggap lebih mendekati kebenaran karena
agama Hindu bersifat tertutup, dimana hanya diketahui kalangan brahmana.
Prasasti yang ditemukan berbahasa Sanskerta dan huruf Pallawa. Candi yang ada
di Indonesia banyak ditemukan arca Agastya. Disamping itu brahmana di Indonesia
berkaitan dengan upacara Vratyastoma dan abhiseka.
·
Teori Arus Balik/ Nasional. Teori arus balik atau
disebut teori nasional ini muncul dikemukakan JC. Van Leur, dimana sebagai
dasar berpikir adalah hubungan antara dunia maritim dengan perdagangan.
Hubungan dagang Indonesia dengan India yang meningkat diikuti brahmana untuk
menyebarkan agama Hindu dan Budha. Orang- orang Indonesia yang tertarik ajaran
itu, mengirimkan kaum terpelajar ke India untuk berziarah dan menuntut ilmu.
Setelah cukup lama, mereka kembali ke Indonesia dan ikut menyebarkan agama
Hindu- Budha dengan menggunakan bahasa sendiri. Dengan demikian ajaran agama
lebih cepat diterima bangsa Indonesia.
Berdasarkan beberapa teori tersebut, para ahli sejarah
membuat dua bentuk kemungkinan tentang proses masuknya agama dan budaya Hindu
Budha di Indonesia, yaitu :
·
Bangsa Indonesia bersifat pasif. Hal ini memberikan
pengertian bahwa masyarakat Indonesia hanya sekedar menerima budaya dari India.
Dengan demikian akan menimbulkan kesan bila telah terjadi penjajahan /
kolonisasi yang dilakukan bangsa India baik secara langsung maupun tidak
langsung.
·
Bangsa Indonesia bersifat aktif. Hal ini memberikan
pengertian bahwa masyarakat Indonesia sendiri ikut aktif dalam membawa dan
menyebarkan agama dan budaya Hindu Budha di nusantara. Salah satu cara yaitu
mengundang para brahmana dari India untuk memperkenalkan agama dan budayanya di
Indonesia.
Bersamaan dengan masuk dan berkembangnya agama Hindu,
masuk dan berkembang pula agama Budha di Indonesia. Dalam penyebaran agama
Budha, dikenal misi penyiaran agama yang disebut Dharmadhuta. Masuknya agama
Budha diperkirakan pada abad 2 Masehi. Hal ini didukung adanya bukti penemuan
arca Budha dari perunggu di daerah Sempaga (Sulsel) yang menggunakan langgam
seni arca Amarawati (India selatan). Patung sejenis juga ditemukan di daerah
Bukit Siguntang (Sumsel) yang memperlihatkan langgam seni arca Gandhara (India
utara). Agama Budha yang berkembang di Indonesia sebagian besar beraliran Budha
Mahayana. Perkembangan agama Budha mencapai masa puncak jaman kerajaan
Sriwijaya.
3.
Wujud Akulturasi Hindu Buddha di Berbagai Bidang
Akulturasi merupakan fenomena yang timbul dari
hasil jika kelompok-kelompok manusia yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda
bertemu serta terjadi kontak secara langsung dan secara kontinyu; yang kemudian
menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang asli dari salah satu kelompok
atau kedua-duanya. Dari definisi di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa akulturasi sama dengan kontak budaya yaitu
bertemunya dua kebudayaan yang berbeda melebur menjadi satu menghasilkan
kebudayaan baru tetapi tidak menghilangkan kepribadian/sifat kebudayaan
aslinya.
Dengan adanya kontak dagang antara Indonesia dengan
India, maka mengakibatkan adanya kontak budaya atau akulturasi yang
menghasilkan bentuk-bentuk kebudayaan baru
tetapi tidak melenyapkan kepribadian kebudayaan sendiri. Hal ini berarti
kebudayaan Hindu – Budha yang masuk ke Indonesia tidak diterima seperti apa
adanya, tetapi diolah, ditelaah dan disesuaikan dengan budaya yang dimiliki
penduduk Indonesia, sehingga budaya tersebut berpadu dengan kebudayaan asli
Indonesia menjadi bentuk akulturasi kebudayaan Indonesia Hindu – Budha. Wujud
akulturasi tersebut dapat diamati pada uraian materi unsur-unsur budaya
berikut ini:
a. Bahasa
Wujud
akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan bahasa
sansekerta yang dapat ditemukan sampai sekarang dimana bahasa Sansekerta
tersebut memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa
Sansekerta pada awalnya banyak ditemukan pada prasasti (batu bertulis)
peninggalan kerajaan Hindu – Budha pada abad 5 – 7 M,
Contohnya:
prasasti Yupa dari Kutai, prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Tetapi
untuk perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta di gantikan oleh bahasa Melayu
Kuno seperti yang ditemukan pada prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya 7 – 13
M.
Sedangkan
untuk aksara, dapat dibuktikan dengan adanya penggunaan huruf Pallawa,tetapi
kemudian huruf Pallawa tersebut juga berkembang menjadi huruf Jawa Kuno (kawi)
dan huruf (aksara) Bali dan Bugis. Hal ini dapat dibuktikan melalui Prasasti
Dinoyo (Malang) yang menggunakan huruf Jawa Kuno.
b. Sistem Pengetahuan
Wujud
akulturasi dalam bidang pengetahuan, salah satunya yaitu perhitungan waktu
berdasarkan kalender tahun saka, tahun dalam kepercayaan Hindu.
Menurut
perhitungan satu tahun Saka sama dengan 365 hari dan perbedaan tahun saka
dengan tahun masehi adalah 78 tahun sebagai contoh misalnya tahun saka 654,maka
tahun masehinya 654 + 78 = 732 M
Di samping
adanya pengetahuan tentang kalender Saka, juga ditemukan perhitungan tahun Saka
dengan menggunakan Candrasangkala.
Candrasangkala
adalah susunan kalimat atau gambar yang dapat dibaca sebagai angka.
Candrasangkala banyak ditemukan dalam prasasti yang ditemukan di pulau Jawa,
dan menggunakan kalimat bahasa Jawa salah satu. Contohnya yaitu kalimat Sirna
ilang kertaning bhumi apabila diartikan sirna = 0, ilang = 0, kertaning = 4 dan
bhumi = 1,maka kalimat tersebut diartikan dan belakang sama dengan tahun 1400
saka atau sama dengan 1478 M yang merupakan tahun runtuhnya Majapahit .
c. Peralatan Hidup dan Teknologi
Salah satu wujud
akulturasi dari peralatan hidup dan teknologi terlihat dalam seni bangunan
Candi.
Seni
bangunan Candi tersebut memang mengandung unsur budaya India tetapi keberadaan
candi-candi di Indonesia tidak sama dengan candi-candi yang ada di India,karena
Indonesia hanya mengambil unsur teknologi perbuatannya melalui dasar-dasar
teoritis yang tercantum dalam kitab Silpasastra yaitu sebuah kitab pegangan
yang memuat berbagai petunjuk untuk melaksanakan pembuatan arca dan bangunan.
Untuk itu dilihat dari bentuk dasar maupun fungsi candi tersebut terdapat
perbedaan dimana bentuk dasar bangunan candi di Indonesia adalah punden
berundak-undak,yang merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Megalithikum
yang berfungsi sebagai tempat pemujaan. Sedangkan fungsi bangunan candi itu
sendiri di Indonesia sesuai dengan asal kata candi tersebut. Perkataan candi
berasal dari kata Candika yang merupakan salah satu nama dewi Durga atau dewi
maut, sehingga candi merupakan bangunan untuk memuliakan orang yang telah wafat
khususnya raja-raja dan orang-orang terkemuka. Di samping itu juga dalam bahasa
kawi candi berasal dari kata Cinandi artinya yang dikuburkan. Untuk itu yang
dikuburkan didalam candi bukanlah mayat atau abu jenazah melainkan berbagai
macam benda yang menyangkut lambang jasmaniah raja yangdisebut dengan
Pripih.Dengan demikian fungsi candi Hindu di Indonesia adalah untuk pemujaan
terhadap roh nenek moyang atau dihubungkan dengan raja yang sudah meninggal.
Hal ini terlihat dari adanya lambang jasmaniah raja sedangkan fungsi candi di
India adalah untuk tempat pemujaan terhadap dewa, contohnya seperti candi-candi
yang terdapat di kota Benares merupakan tempat pemujaan terhadap dewa Syiwa.
Gambar candi juga salah satu peninggalan kerajaan Singosari yang merupakan
tempat dimuliakannya raja Wisnuwardhana yang memerintah tahun 1248 –
1268.Dilihat dari gambar candi tersebut, bentuk dasarnya adalah punden
berundak- undak dan pada bagian bawah terdapat kaki candi yang di dalamnya
terdapat sumuran candi,di mana di dalam sumuran candi tersebut tempat menyimpan
pripih (lambang jasmaniah raja Wisnuwardhana).Dari penjelasan tersebut di atas,
apakah Anda sudah memahami? Kalau Anda sudah paham, simaklah urutan materi
berikutnya.Untuk candi yang bercorak Budha fungsinya sama dengan di India yaitu
untuk memuja Dyani Bodhisattwa yang dianggap sebagai perwujudan dewa, maka
untuk memperjelas pemahaman candi Budha berikut ini .
·
Candi Borobudur adalah candi Budha yang terbesar
sehingga merupakan salah satu dari 7 keajaiban dunia dan merupakan salah satu
peninggalan kerajaan Mataram, dilihat dari 3 tingkatan, pada tingkatan yang
paling atas terdapat patung Dyani Budha.Patung-patung Dyani Budha inilah yang
menjadi tempat pemujaan umat Budha.Di samping itu juga pada bagian atas, juga
terdapat atap candi yang berbentuk stupa.Untuk candi Budha di India hanya
berbentuk stupa, sedangkan di Indonesia stupa merupakan ciri khas atap
candi-candi yang bersifat agama Budha. Dengan demikian seni bangunan candi di
Indonesia memiliki kekhasan tersendiri karena Indonesia hanya mengambil intinya
saja dari unsur budaya India sebagai dasar ciptaannya dan hasilnya tetap
sesuatu yang bercorak Indonesia.
d. Kesenian
Wujud
akulturasi dalam bidang kesenian terlihat dari seni rupa, seni sastra dan seni
pertunjukan . Dalam seni rupa contoh wujud akulturasinya dapat dilihat dari
relief dinding candi (gambar timbul), gambar timbul pada candi tersebut banyak
menggambarkan suatu kisah/cerita yang berhubungan dengan ajaran agama Hindu
ataupun Budha. Relief dari candi Borobudur yang menggambarkan Budha sedang
digoda oleh Mara yang menari-nari diiringi gendang, hal ini menunjukkan bahwa
relief tersebut mengambil kisah dalam riwayat hidup Sang Budha seperti yang
terdapat dalam kitab Lalitawistara.Demikian pula di candi-candi Hindu, relief
yang juga mengambil kisah yang terdapat dalam kepercayaan Hindu seperti kisah
Ramayana. Yang digambarkan melalui relief candi Prambanan ataupun candi
Panataran.Dari relief-relief tersebut apabila diamati lebih lanjut, ternyata
Indonesia juga mengambil kisah asli ceritera tersebut, tetapi suasana kehidupan
yang digambarkan oleh relief tersebut adalah suasana kehidupan asli keadaan
alam ataupun masyarakat Indonesia.Dengan demikian terbukti bahwa Indonesia
tidak menerima begitu saja budaya India, tetapi selalu berusaha menyesuaikan
dengan keadaan dan suasana di Indonesia.
e. Religi/Kepercayaan
Sistem
kepercayaan yang berkembang di Indonesia sebelum agama Hindu-Budha masuk ke
Indonesia adalah kepercayaan yang berdasarkan pada Animisme dan Dinamisme.
Dengan masuknya agama Hindu – Budha ke Indonesia, maka masyarakat Indonesia
mulai menganut/mempercayai agama-agama tersebut. Tetapi agama Hindu dan Budha
yang berkembang di Indonesia sudah mengalami perpaduan dengan kepercayaan
Animisme dan Dinamisme, atau dengan kata lainmengalami Sinkritisme.Sinkritisme
adalah bagian dari proses akulturasi, yang berarti perpaduan dua kepercayaan
yang berbeda menjadi satu.
Untuk itu
agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia, berbeda dengan agama Hindu
– Budha yang dianut oleh masyarakat India. Perbedaaan-perbedaan tersebut
misalnya dapat dilihat dalam upacara ritual yang diadakan oleh umat Hindu atau
Budha yang ada di Indonesia. Contohnya, upacara Nyepi yang dilaksanakan oleh
umat Hindu Bali, upacara tersebut tidak dilaksanakan oleh umat Hindu di India.
f.
Organisasi Sosial
Kemasyarakatan
Wujud
akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan dapat dilihat dalam
organisasi politik yaitu sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia
setelah masuknya pengaruh India Dengan adanya pengaruh kebudayaan India
tersebut, maka sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia adalah bentuk
kerajaan yang diperintah oleh seorang raja secara turun temurun.
Raja di
Indonesia ada yang dipuja sebagai dewa atau dianggap keturunan dewa yang
keramat, sehingga rakyat sangat memuja Raja tersebut, hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya raja-raja yang memerintah di Singosari seperti Kertanegara
diwujudkan sebagai Bairawa dan R Wijaya Raja Majapahit diwujudkan sebagai
Harihari (dewa Syiwa dan Wisnu jadi satu).
Permerintahan
Raja di Indonesia ada yang bersifat mutlak dan turun-temurun seperti di India
dan ada juga yang menerapkan prinsip musyawarah. Prinsip musyawarah diterapkan
terutama apabila raja tidak mempunyai putra mahkota yaitu seperti yang terjadi
pada masa berlangsungnya kerajaan Majapahit, dalam hal pengangkatan
Wikramawardana.
Wujud
akulturasi di samping terlihat dalam sistem pemerintahan juga terlihat dalam
sistem kemasyarakatan, yaitu pembagian lapisan masyarakat berdasarkan guna (varna).
Sistem varna menurut kepercayaan Hindu terdiri dari :
·
Varna Brahmana (golongan Pendeta),
·
Varna Ksatria (golongan Prajurit, Bangsawan),
·
Varna Waisya
(golongan pedagang) dan
·
Varna Sudra
(golongan rakyat jelata).
4.
Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu-Buddha
Akulturasi kebudayaan yaitu suatu proses
percampuran antara unsur-unsur kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang
lain, sehingga membentuk kebudayaan baru. Kebudayaan baru yang merupakan hasil
percampuran itu masing-masing tidak kehilangan kepribadian/ciri khasnya. Oleh
karena itu, untuk dapat berakulturasi, masing-masing kebudayaan harus seimbang.
Begitu juga untuk kebudayaan Hindu-Buddha dari India dengan kebudayaan
Indonesia asli.
Contoh hasil akulturasi antara kebudayaan
Hindu-Buddha dengan kebudayaan Indonesia asli sebagai berikut.
a. Seni Bangunan
Bentuk-bentuk bangunan candi di Indonesia pada
umumnya merupakan bentuk akulturasi antara unsur-unsur budaya Hindu- Buddha
dengan unsur budaya Indonesia asli. Bangunan yang megah, patung-patung
perwujudan dewa atau Buddha, serta bagianbagian candi dan stupa adalah
unsur-unsur dari India. Bentuk candicandi di Indonesia pada hakikatnya adalah
punden berundak yang merupakan unsur Indonesia asli. Candi Borobudur merupakan
salah satu contoh dari bentuk akulturasi tersebut.
b. Seni Rupa dan Seni Ukir
Masuknya pengaruh India juga membawa perkembangan
dalam bidang seni rupa, seni pahat, dan seni ukir. Hal ini dapat dilihat pada
relief atau seni ukir yang dipahatkan pada bagian dindingdinding candi. Misalnya,
relief yang dipahatkan pada dindingdinding pagar langkan di Candi Borobudur
yang berupa pahatan riwayat Sang Buddha. Di sekitar Sang Buddha terdapat
lingkungan alam Indonesia seperti rumah panggung dan burung merpati.
Pada relief kala makara pada candi dibuat sangat
indah. Hiasan relief kala makara, dasarnya adalah motif binatang dan
tumbuh-tumbuhan. Hal semacam ini sudah dikenal sejak masa sebelum Hindu.
Binatang-binatang itu dipandang suci, maka sering diabadikan dengan cara di
lukis.
c. Seni Sastra dan Aksara
Pengaruh India membawa perkembangan seni sastra di
Indonesia. Seni sastra waktu itu ada yang berbentuk prosa dan ada yang
berbentuk tembang (puisi). Berdasarkan isinya, kesusasteraan dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu tutur (pitutur kitab keagamaan), kitab hukum,
dan wiracarita (kepahlawanan).
Bentuk wiracarita ternyata sangat terkenal di
Indonesia, terutama kitab Ramayana dan Mahabarata. Kemudian timbul wiracarita
hasil gubahan dari para pujangga Indonesia. Misalnya, Baratayuda yang digubah
oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Juga munculnya cerita-cerita Carangan.
Berkembangnya karya sastra terutama yang bersumber
dari Mahabarata dan Ramayana, melahirkan seni pertunjukan wayang kulit (wayang
purwa). Pertunjukan wayang kulit di Indonesia, khususnya di Jawa sudah begitu
mendarah daging. Isi dan cerita pertunjukan wayang banyak mengandung
nilai-nilai yang bersifat edukatif (pendidikan). Cerita dalam pertunjukan
wayang berasal dari India, tetapi wayangnya asli dari Indonesia. Seni pahat dan
ragam luas yang ada pada wayang disesuaikan dengan seni di Indonesia.
Di samping bentuk dan ragam hias wayang, muncul
pula tokoh-tokoh pewayangan yang khas Indonesia. Misalnya tokohtokoh punakawan
seperti Semar, Gareng, dan Petruk. Tokohtokoh ini tidak ditemukan di India.
Perkembangan seni sastra yang sangat cepat didukung oleh penggunaan huruf
pallawa, misalnya dalam karya-karya sastra Jawa Kuno. Pada prasasti-prasasti
yang ditemukan terdapat unsur India dengan unsur budaya Indonesia. Misalnya,
ada prasasti dengan huruf Nagari (India) dan huruf Bali Kuno (Indonesia).
d. Sistem Kepercayaan
Sejak masa praaksara, orang-orang di Kepulauan
Indonesia sudah mengenal simbol-simbol yang bermakna filosofis. Sebagai contoh,
kalau ada orang meninggal, di dalam kuburnya disertakan benda-benda. Di antara
benda-benda itu ada lukisan seorang naik perahu, ini memberikan makna bahwa
orang yang sudah meninggal rohnya akan melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan
yang membahagiakan yaitu alam baka. Masyarakat waktu itu sudah percaya adanya
kehidupan sesudah mati, yakni sebagai roh halus. Oleh karena itu, roh nenek
moyang dipuja oleh orang yang masih hidup (animisme).
Setelah masuknya pengaruh India kepercayaan
terhadap roh halus tidak punah. Misalnya dapat dilihat pada fungsi candi. Fungsi
candi atau kuil di India adalah sebagai tempat pemujaan. Di Indonesia, di
samping sebagai tempat pemujaan, candi juga sebagai makam raja atau untuk
menyimpan abu jenazah raja yang telah meninggal. Itulah sebabnya peripih tempat
penyimpanan abu jenazah raja didirikan patung raja dalam bentuk mirip dewa yang
dipujanya. Ini jelas merupakan perpaduan antara fungsi candi di India dengan
tradisi pemakaman dan pemujaan roh nenek moyang di Indonesia.
Bentuk bangunan lingga dan yoni juga merupakan
tempat pemujaan terutama bagi orang-orang Hindu penganut Syiwaisme. Lingga
adalah lambang Dewa Syiwa. Secara filosofis lingga dan yoni adalah lambang
kesuburan dan lambang kemakmuran. Lingga lambang laki-laki dan yoni lambang
perempuan.
e. Sistem Pemerintahan
Setelah datangnya pengaruh India di Kepulauan
Indonesia, dikenal adanya sistem pemerintahan secara sederhana. Pemerintahan
yang dimaksud adalah semacam pemerintah di suatu desa atau daerah tertentu.
Rakyat mengangkat seorang pemimpin atau semacam kepala suku. Orang yang dipilih
sebagai pemimpin biasanya orang yang sudah tua (senior), arif, dapat
membimbing, memiliki kelebihan-kelebihan tertentu termasuk dalam bidang
ekonomi, berwibawa, serta memiliki semacam kekuatan gaib (kesaktian). Setelah
pengaruh India masuk, maka pemimpin tadi diubah menjadi raja dan wilayahnya
disebut kerajaan. Hal ini secara jelas terjadi di Kutai.
Salah satu bukti akulturasi dalam bidang
pemerintahan, misalnya seorang raja harus berwibawa dan dipandang memiliki
kekuatan gaib seperti pada pemimpin masa sebelum Hindu-Buddha. Karena raja
memiliki kekuatan gaib, maka oleh rakyat raja dipandang dekat dengan dewa. Raja
kemudian disembah, dan kalau sudah meninggal, rohnya dipuja-puja.
5.
Sejarah Singkat Agama Hindu Di Indonesia
Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal
Tarikh Masehi, dibawa oleh para Musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya yang di Jawa terkenal
dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para Musafir
dari Tiongkok yakni Musafir Budha Pahyien. Ini dapat diketahui
dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi
denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan
Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan
keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: “Yupa itu didirikan untuk
memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman”. Keterangan yang lain
menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk
memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan “Vaprakeswara“.
Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan
pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia,
perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang
Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga
berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah
prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten,
Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf
Pallawa.
Dari prasasti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa “Raja Purnawarman adalah Raja
Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan
tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu”
Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya
perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat
pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja
Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai
manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula
di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung
Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe
lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut
Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar,
diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti
Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal
dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra
Sengkala berbunyi: “Sruti indriya rasa”, Isinya memuat tentang pemujaan
terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.
Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di
dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan
yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi,
merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping
itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan
ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta
dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar
yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh
para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea
Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah
bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua
kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari
dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang
sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu
Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah
kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.
Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah
kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa
kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana,
Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian
muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini
didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai
peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.
Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan
muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara.
Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan
Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu
bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku
Negarakertagama.
Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali.
Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping
dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan
Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca
Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.
Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu
Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada
abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali
cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat
disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad
Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad
inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan
sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang.
Beliau Moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi
Gajahmada ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi
pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong,
kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang
Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang
sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti
Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya
kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami
kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita
Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta
tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun
1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis
Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar
dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian
pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan
Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan
yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun
1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan
Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan menetapkan Majelis
keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu
Dharma Indonesia.
6.
Sejarah Agama Hindu di Akui Resmi di Indonesia
Sebagai agama tertua yang berkembang di Indonesia
perkembangan agama Hindu mengalami pasang surut, terutama dari segi kuantitas.
Masa kejayaan Kerajaan Majapahit sekaligus dipandang sebagai masa jaya agama
Hindu di Indonesia dan Sandyakalaning Majapahit, runtuhnya Kerajaan Majapahit
sekaligus pula merupakan runtuhnya perkembangan agama Hindu di Indonesia sampai
titik terendah. Namun, demikian sisa-sisa kejayaan agama Hindu di Indonesia
dipertahankan dengan taat hingga oleh sebagian masyarakat di Pulau Bali,
Lombok, Jawa, Sumbawa, Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Irian, dan daerah
lainnya. Mula-mula, dipertahankan oleh masyarakat dengan sistem kerajaan dan
kelompok masyarakat hinduistis, kemudian juga masih dipertahankan oleh
masyarakat pasca kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada saat bangsa Indonesia melakukan perjuangan untuk
merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, banyak putra Bali berjuang sampai
titik darah penghabisan untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejak jaman kerajaan terbukti I Gusti Agung Jelantik memimpin perjuangan
masyarakat Bali dan melakukan “Perang Jagaraga” untuk menentang pendudukan Pemerintah
Hindia Belanda di Bali. Ida Cokorda Mantuk Ring Rana memimpin rakyat Kerajaan
Badung, melakukan “Perang Puputan Badung”, Ida Cokorda Istri Kania bersama
rakyat Kerajaan Klungkung melakukan “Perang Puputan Klungkung” dan masih banyak
lagi peristiwa bersejarah perlu mendapat catatan emas tinta sejarah bangsa
Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan. Demikian pula pada masa pergerakan,
I Gusti Ngurah Rai telah melakukan peperangan tiada akhir melawan usaha invasi
Belanda ke Bali.
Setelah pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, dan meskipun
heroisme masyarakat Bali yang beragama Hindu diakui partisipasinya dalam perang
kemerdekaan, namun secara formal, agama Hindu yang dipeluk oleh mayoritas
masyarakat Bali belum diakui oleh pemerintah.
- Pada
tanggal tanggal 26 Desember 1950, Menteri Agama (K.H. Masykur) bersama
Sekjen mendatangi Kantor Daerah Bali yang diterima oleh I Gusti Bagus
Sugriwa sebagai salah satu Anggota Dewan Pemerintahan Daerah Bali (D.P.D.
Bali) bersoal jawab mengenai agama Hindu Bali. Setelah itu, Menteri Agama
dapat menerima alasan mengapa Agama Hindu Bali harus diakui sebagai agama
negara dan menjanjikan akan mengesahkannya setelah selesai keliling di
Sunda Kecil.
- Pada
Tanggal 10 Oktober 1952, Menteri Agama, Sekjen Menteri Agama (R. Moh.
Kafrawi) disertai Kepala Jawatan Pendidikan Agama Islam memberi ceramah di
Balai Masyarakat Denpasar dan menyatakan bahwa “.... tidak dapat mengakui
dengan resmi Agama Hindu Bali karena tidak ada peraturan untuk itu berbeda
dengan Agama Islam dan Agama Kristen memang telah ada peraturannya
......”.
- Pada
Pertengahan Tahun 1953, Pemerintah Daerah Bali membentuk Jawatan Agama
Otonom Daerah Bali dengan tujuan untuk mengatur pelaksanaan agama umat
Hindu Bali, karena belum diatur dari pusat. Pimpinan lembaga tersebut
dipercayakan kepada Ida Padanda Oka Telaga dan I Putu Serangan. Di
tiap-tiap Kapupaten dibentuk Kantor Agama Otonoom yang diketuai oleh
seorang Padanda. Pada tahun ini pula D.P.D. Bali atas persetujuan D.P.R.D.
Bali mencabut hukuman: Asu Pundung, Anglangkahi Karang Hulu, Manak Salah,
Salah Pati Angulah Pati, karena tidak sesuai lagi dalam suasana demokrasi.
- Pada
tanggal 29 Juni 1958 lima orang utusan organisasi agama dan sosial di Bali
menghadap Presiden Soekarno di Tampaksiring. Diantar oleh Ketua DPR Daerah
Peralihan Daerah Bali I Gusti Putu Mertha. Rombongan utusan itu adalah Ida
Pedanda Made Kumenuh, I Gusti Ananda Kusuma, Ida Bagus Wayan Gede, Ida
Bagus Dosther dan I Ketut Kandia. Pokok masalah yang diajukan adalah
supaya dalam kementrian Kementriann Agama Republik Indonesia ada Bahagian
Hindu Bali, sebagaimana yang telah diperoleh oleh Islam, Katholik dan
Kristen.
- Permohonan
tersebut memperoleh response yang positif dari Pemerintah karena pada
tanggal 5 September 1958 terbitlah Surat Keputusan Menteri Agama RI yang
mengakui keberadaan Agama Hindu Bali. Selanjutnya terhitung mulai tanggal
2 Januari 1959 pada Kementerian Agama Republik Indonesia dibentuk Biro
Urusan Agama Hindu Bali pada Kementrian Agama Republik Indonesia. Biro tersebut
pertama kali dipimpin oleh I Gusti Gede Raka dibantu oleh I Gusti Gede
Raka dibantu oleh I Nyoman Kajeng. Setelah I Gusti Gede Raka meninggal
dunia saat masih menjabat, lalu digantikan oleh I Nyoman Kajeng (Agastia,
2008: 9).
- Mengantisipasi
hal tersebut Pada tanggal 7 Oktober 1958, diadakan pertemuan kembali
antara Pemerintah Daerah Bali dengan Pimpinan Organisasi Keagamaan di Bali
di Balai Masyarakat Denpasar. Pada pertemuan tersebut diputuskan membentuk
panitia yang bertugas mempersiapkan Dewan Agama Hindu Bali. Panitia
terdiri atas Paruman Para Padanda, Panitia Agama Hindu Bali, Angkatan Muda
Hindu Bali, Doktor Ida Bagus Mantra dan I Gusti Bagus Sugriwa. Pada
tanggal 6 Desember 1958, panitia tersebut menyelenggarakan rapat di
Pasanggrahan Bedugul dan memutuskan bahwa Hindu Bali Sabha akan diadakan
pada bulan Januari 1959 (Dana (ed), 2005: 13).
- Pesamuhan
Agung Hindu Bali pada tanggal 21-22-23 Februari 1959 di Gedung Fakultas
Sastra Universitas Udayana Denpasar yang dihadiri oleh pejabat dan staf
Pemerintah Daerah Tingkat I Bali, pimpinan berbagai organisasi agama di
Bali, Yayasan Yayasan Hindu bahkan Perhimpunan Buddhis Indonesia dan
Partai Nasional Hindu Bali yang pada akhirnya membentuk Parisada yamng
melahirkan “Piagam Parisada”. Hindu Bali Sabha atau Pasamuhan Agung Hindu
Bali tersebut kemudian dikenal sebagai Sidang Pembentukan Parisada Dharma
Hindu Bali.
Ada sejumlah tantangan yang menyebabkan putra-putra
terbaik Bali membentuk PHDI pada waktu itu, baik dari dalam (internal) maupun
dari luar (eksternal). Menurut Ida Padanda Putra Telaga salah seorang yang ikut
membidani kelahiran PHDI yang dicatat Ida Bagus Gede Agastia (WHD, 2001), bahwa
tantangan dari luar disebabkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia di
mana masing-masing agama digiring untuk mewadahi dirinya dalam suatu lembaga
agar mempermudah komunikasi antarlembaga, termasuk negara sebagai sebuah
lembaga. Ini tentu merupakan tantangan positif, bahwa gagasan mewadahi diri
dalam satu lembaga bagi pemeluk agama Hindu di Indonesia berarti pula melakukan
penataan diri sehingga terbentuk peradaban Hindu berdasarkan dharma.
Sementara itu, di tengah situasi politik yang memanas,
Partai Komunis Indonesia (PKI) sangat tidak menghendaki berdirinya PHDI. Namun,
karena keteguhan sejumlah orang yang bersemangat tinggi mengabdikan diri pada
bidang agama Hindu—bak bintang bersinar di tengah malam paling gelap—demikian
dinyatakan Ida Padanda Putra Telaga, menyebabkan PHDI akhirnya terbentuk juga,
sudah tentu dengan mabela pati (resiko mati). Dari dalam, desakan untuk
membentuk lembaga ini disebabkan karena kesadaran kaum intelektual pada waktu
itu untuk menata kehidupan beragama Hindu agar benar-benar berlandaskah ajaran
dharma.
Pembentukan PHDI memang dilandasi cita-cita mulia
pendirinya untuk menata diri (dharma agama) agar peradaban Hindu benar-benar
berdasarkan ajaran dharma dan menjadi mitra pemerintah menciptakan negara
jagadhita (dharma nagara). Dari aula Fakultas Sastra Unud yang sederhana
akhirnya pada tanggal 23 Pebruari 1959 lahirlah apa yang disebut Piagam
Parisadha yang merupakan cikal bakal terbentuknya PHDI sebagai lembaga nasional
yang diakui dunia. Dengan demikian, dapat dikatakan tonggak kelahiran PHDI
sekaligus merupakan tonggak kebangkitan Hindu Indonesia sehingga 50 tahun PHDI
berarti pula Setengah Abad Kebangkitan Hindu Indonesia yang harus diperingati
secara istimewa oleh masyarakat Hindu di Indonesia.
Tahun 1953, terjadi peristiwa yang mengherankan.
Fakih Usman, Menteri Agama dalam kabinet Wilopo, menyatakan bahwa syarat syarat
yang harus dipenuhi sesuatu agama agar diakui Pemerintah, adalah harus memiliki
kitab suci, mempunyai nabi, harus ada kesatuan ajaran serta pengakuan dari luar
negeri. Menteri Agama berargumantasi bahwa Sila Pertama Pancasila harus
diartikan monoteisme, sehingga kepercayaan kepada Roh-roh, dewa dewa tidak
diperkenankan.
Tak lama kemudian serombongan pegawai Departemen Agama
datang ke Bali dan memberitahu penduduk bahwa agama mereka tidak memenuhi
syarat, maka penduduk Bali mesti mendaftarkan diri sebagai golongan Islam
statistik. Mendadak sontak, Bali menjadi geger sampai ke pelosok, Penduduk Bali
merasa terkejut. Roh, dewa, pura dan kebudayaan Bali akan dipisahkan dari
penduduk. Protes keras dilancarkan seantero Bali.
Anggota parlemen asal bali, Ida Bagus Mauaba di
Jakarta mengatakan, Indonesia Timur akan memisahkan diri jika Bali akan di
Islamkan. Kita akan meminta perlindungan kepada Australia, Pemerintah buru buru
mengatakan itu pendapat pribadi Menteri Agama. Presiden Soekarno sendiri merasa
kecolongan, sehingga memutuskan memulai kampanye di seluruh negeri tentang
negara Pancasila. Hasil gerakan tersebut akhirnya memaksa Jakarta memenuhi
permintaan Bali bahwa Hindu Bali diakui sebagai agama resmi.
Komentar
Posting Komentar