A.
Kebudayaan Prasejarah dan
Sejarah Agama Hindu
Zaman pra-sejarah adalah zaman
dimana belum dikenalnya tulisan. Zaman prasejarah berlangsung sejak adanya
manusia, sekitar ± (dua) juta tahun yang lalu, hingga manusia mengenal tulisan.
Untuk mengetahui kehidupan prasejarah, para ahli mempelajari fosil, tentang
bagian tubuh binatang, tumbuhan, dan atau manusia yang membatu. Kondisi
lingkungan alam pada jaman pra-sejarah sangatlah berbeda dengan lingkungan yang
ada sekarang. Hal ini disebabkan karena ketika itu banyak terjadi peristiwa
alam, seperti pengangkatan daratan, naik-turunnya air laut, dan kegiatan gunung
berapi. Binatang dan tumbuh-tumbuhan yang berukuran besar sangat banyak
ragamnya. Binatang dan tumbuhan itu kini sudah banyak yang punah.
Manusia purba yang hidup pada
zaman pra-sejarah dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:
1. Meganthropus palaeojavanicus: manusia yang
paling purba;
2. Homo erectus atau Pithecanthropus: manusia
yang sudah berjalan tegak;
3. Homo sapiens: manusia purba yang sudah
mirip manusia sekarang.
Ketiga kelompok manusia
purba ini memiliki masa
perkembangan dan migrasi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Berdasarkan temuan-temuan fosil manusia
purba di berbagai penjuru
dunia, kini para ahli palaeoantropologi dapat menyusun
sejarah makhluk manusia.
Sejarah yang disusun itu menyangkut proses perkembangan jasmani manusia
maupun proses migrasi manusia untuk menghuni seluruh permukaan bumi yang ada
ini. Proses penyusunan dan perkembangan tentang jasmani manusia yang dilakukan
oleh para ahli palaeoantropologi mengikuti teori evolusi, seperti yang
dikemukakan oleh Charles Darwin pada tahun 1859. Menurut temuan fosil pra
manusia yang telah ditemukan saat ini, makhluk yang dapat dikatakan sebagai
cikal bakal manusia adalah makhluk Australopithecus (kera dari selatan). Jika
diamati dari bentuk fosil yang ada, tampak ada 4 (empat) perubahan jasmani
dalam makhluk pra-manusia yang sangat menentukan proses evolusi menuju manusia
sejati. Melalui proses evolusi inilah manusia kemudian mampu mengembangkan
kehidupannya dengan lebih baik dari sebelumnya. Makhluk ini berkembang dengan
pola migrasi. Dinyatakan ada 4 (empat) jenis makhluk Australopithecus yang
ditemukan di Afrika, seperti; Australopithecus afarensis, Australopithecus
africanus, Australopithecus robustus, dan Australopithecus boisei (Soekmono,
1958: 10).
Menurut pandangan Hindu, manu
adalah manusia yang pertama diciptakan oleh Brahman /Ida Sang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa pada masa srsti atau penciptaan. Ciptaan Brahman setelah alam
semesta adalah tumbuh- tumbuhan, kemudian binatang, dan setelah itu manusia.
Manu yang disebut manusia adalah makhluk yang tersempurna dengan bayu, sabda,
dan idep yang dimilikinya. Bayu adalah tenaga yang mengantarkan manusia
memiliki kekuatan atau tenaga. Sabda adalah unsur suara yang menyebabkan
manusia dapat berbicara atau bertutur kata yang baik dan sopan. Sedangkan idep
adalah pikiran, hati, dan rasa yang menyebabkan manusia dapat berlogika. Ketiga
unsur utama inilah yang menyebabkan manusia dapat membedakan antara yang baik
dengan yang buruk, benar dan salah, boleh dan tidak boleh. Menurut pandangan Hindu, manusia diciptakan
oleh Brahman/Sang Hyang Widhi wasa/Tuhan Yang Maha Esa pada masa srsti.
Selanjutnya hidup dan berkembang sesuai dengan budaya dan lingkungan alam
sekitarnya.
Pada zaman migrasi disebutkan
ada dua tingkatan masa, yaitu masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat
sederhana dan tingkat lanjut. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat
sederhana sering disebut zaman Paleolitik. Masa ini berlangsung sejak (2 juta
tahun yang lalu hingga 10.000 tahun sebelum Masehi), yaitu ketika manusia masih
hidup berpindah-pindah (nomaden). Pada zaman ini alat yang digunakan adalah
kapak batu dan alat serpih.
Oleh manusia purba, masa migrasi
dilanjutkan dengan masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut. Zaman
ini juga disebut sebagai zaman maesolitik yang berlangsung sejak (10.000 - 4000
tahun sebelum masehi). Di zaman maesolitik manusia sudah hidup di gua-gua atau
di tepi pantai agak menetap. Pada zaman ini manusia purba sudah menggunakan
peralatan kapak pendek, kapak Sumatralit, mata panah, dan alat-alat tulang.
Setelah masa maesolitik
kehidupan manusia purba menuju ke masa bercocok tanam. Zaman ini disebut juga
zaman Neolitik dan berlangsung sejak (4000-2000 tahun sebelum masehi). Di zaman
Neolitik, manusia sudah dapat menanam berbagai jenis tumbuhan dan menernakan hewan.
Mereka sudah hidup menetap dan menggunakan alat-alat batu yang sudah diasah
halus, seperti kapak persegi dan kapak lonjong. Pada masa inilah manusia tidak
lagi menjadi pengumpul makanan (food-gatherer), tetapi juga penghasil makanan
(food-producer). Perubahan ini disebut Revolusi neolitik. Mereka percaya pada
roh nenek moyang dan mulai mendirikan bangunan megalitik. Di Indonesia, cara
bercocok tanam di bawa oleh orang-orang Nusantara yang berbahasa Austronesia
dari Taiwan dan Filipina Utara.
Zaman Perundagian
disebut juga zaman
Logam Awal atau
kehidupan masa perundagian yang berlangsung sejak (2000 tahun sebelum
masehi sampai dengan abad IV masehi). Sejak zaman Logam Awal manusia mulai mengenal pembuatan alat-alat
dari logam seperti nekara, kapak perunggu, bejana gepeng, dan perhiasan. Budaya
ini disebut budaya Dongson. Mereka hidup di perkampungan tetap. Ada kelompok
pengrajin benda tertentu dan perdagangan mulai maju. Di masa ini mulai
terbentuk golongan masyarakat sebagai; pemimpin, pendeta, orang awam, dan
budak. Hasil kebudayaan yang ditemukan pada masa ini adalah;
1. Kapak Genggam:
berfungsi untuk menggali
umbi, memotong dan menguliti binatang.
2. Kapak
Perimbas: berfungsi untuk merimbas kayu, memecahkan tulang, dan sebagai senjata
yang banyak ditemukan di Pacitan. Maka Ralph Von Koeningswald menyebutkan
kebudayaan Pacitan. Dan pendukung kebudayaan Pacitan adalah jenis
Phitecantropus.
3. Alat-alat
dari tulang dan tanduk binatang: berfungsi sebagai alat penusuk, pengorek dan
tombak. Benda-benda ini banyak ditemukan di Ngandong, dan sebagai pendukung
kebudayaan ini adalah Homo Wajakensis, dan Homo Soloensis. Alat-alat yang
dimanfaatkan untuk hidup adalah;
1) Serpih
(flakes) – terbuat dari batu bentuknya kecil, ada juga yang terbuat dari
batu induk (kalsedon)
: berfungsi untuk
mengiris daging atau memotong umbi-umbian dan buah-buahan. Pendukung
kebudayaan ini adalah Homo soloensis dan Homo wajakensis.
2) Kapak Sumatera
(Pebble): Sejenis kapak
genggam yang sudah digosok, tetapi belum sampai halus.
Terbuat dari batu kali yang dipecah atau dibelah.
3)
Kjokenmoddinger: Dari bahasa Denmark yang artinya sampah dapur.
4) Abris
Sous Roche: Adalah tempat tinggal yang berwujud goa-goa dan ceruk-ceruk di
dalam batu karang untuk berlindung.
5) Batu
Pipisan: Terdiri dari batu penggiling dan landasannya. Berfungsi untuk
menggiling makanan, menghaluskan bahan makanan.
6) Kapak
Persegi: Adalah kapak yang penampang lintangnya berbentuk persegi panjang atau
trapesium. Ditemukan di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi,
dan Kalimantan. Sebutan kapak persegi diberikan oleh Von Heine Geldern.
7) Kapak Lonjong:
Adalah kapak yang
penampangnya berbentuk lonjong
memanjang. Ditemukan di Irian, seram, Gorong, Tanimbar, Leti, Minahasa, dan
Serawak.
8) Kapak
Bahu: Adalah kapak persegi namun pada tangkai diberi leher sehingga menyerupai
botol persegi. Kapak bahu hanya ditemukan di Minahasa, Sulawesi Utara.
9) Menhir: tugu
batu yang didirikan
sebagai pemujaan roh
nenek moyang memperingati arwah nenek moyang dan lain-lain.
Pembagian zaman pada masa
pra-sejarah diberi sebutan menurut benda-benda atau peralatan yang menjadi ciri
utama dari masing-masing periode waktu itu. Adapun pembagian kebudayaan zaman
pra-sejarah sebagai berikut:
1.
Zaman Batu Tua (Paleolitikum);
Berdasarkan
tempat penemuannya, maka kebudayaan tertua ini lebih dikenal dengan sebutan
kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong. Pada tahun 1935 di daerah Pacitan
ditemukan sejumlah alat-alat dari batu, yang kemudian dinamakan kapak genggam,
karena bentuknya seperti kapak yang tidak bertangkai. Dalam ilmu pra-sejarah
alat-alat atau kapak Pacitan ini disebut chopper (alat penetak).
Soekmono;
mengemukakan bahwa asal kebudayaan Pacitan adalah dari lapisan Trinil, yaitu
berasal dari lapisan pleistosen tengah, yang merupakan lapisan ditemukannya
fosil Pithecantropus Erectus. Sehingga kebudayaan Palaelitikum itu pendukungnya
adalah Pithecanthropus Erectus, yaitu manusia pertama dan manusia tertua yang
menjadi penghuni Indonesia (Kebudayaan Pacitan). Di sekitar daerah Ngandong dan
Sidorejo dekat Ngawi, Madiun, ditemukan alat-alat dari tulang bersama kapak
genggam. Alat-alat yang ditemukan dekat Sangiran juga termasuk jenis kebudayaan
Ngandong. Alat-alat tersebut berupa alat-alat kecil yang disebut flakes.
Selain
di Sangiran flakes juga ditemukan di Sulawesi Selatan. Berdasarkan penelitian, alat- alat tersebut berasal
dari lapisan pleistosen atas, yang menunjukkan bahwa alat-alat tersebut
merupakan hasil kebudayaan Homo Soloensis dan Homo Wajakensis (Soekmono, 1958:
30).
Dengan
demikian kehidupan manusia Palaelitikum masih dalam tingkatan food gathering,
yang diperkirakan telah mengenal sistem penguburan untuk anggota kelompoknya
yang meninggal.
2.
Zaman Batu Madya (Mesolitikum);
Peninggalan atau
bekas kebudayaan Indonesia
zaman Mesolitikum, banyak
ditemukan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Kehidupannya
masih dari berburu dan menangkap ikan. Tetapi sebagian besar mereka sudah menetap,
sehingga diperkirakan sudah mengenal bercocok tanam, walaupun masih sangat
sederhana. Bekas-bekas tempat tinggal manusia zaman Mesolitikum ditemukan di
gua-gua dan di pinggir pantai yang biasa disebut Kyokkenmoddinger (di tepi
pantai) dan Abris Sous Roche (di gua-gua). Secara garis besar kebudayaan zaman
Mesolitikum terdiri dari: alat- alat peble yang ditemukan di Kyokkenmoddinger,
alat-alat tulang, dan alat- alat flakes, yang ditemukan di Abris Sous Roche.
Kebudayaan
zaman Mesolitikum di Indonesia diperkirakan berasal dari daerah Tonkin di
Hindia Belakang, yaitu di pegunungan Bacson dan Hoabinh yang merupakan pusat
kebudayaan prasejarah Asia Tenggara. Adapun pendukung dari kebudayaan
Mesolitikum adalah Papua Melanesia.
3.
Zaman Batu Baru (Neolitikum);
Zaman
Neolitikum merupakan zaman yang menunjukkan bahwa manusia pada umumnya sudah
mulai maju dan telah mengalami revolusi kebudayaan. Dengan kehidupan yang telah
menetap, memungkinkan masyarakatnya mengembangkan aspek-aspek kehidupan
lainnya. Sehingga dalam zaman Neolitikum ini terdapat dasar-dasar kehidupan.
Berdasarkan alat-alat yang ditemukan dari peninggalan zaman Neolitikum yang
bercorak khusus, dapat dibagi kedalam dua golongan, yaitu;
·
Kapak
persegi, didasarkan kepada penampang dari alat-alat yang ditemukannya berbentuk
persegi panjang atau trapesium (von Heine Geldern). Semua bentuk alatnya sama,
yaitu agak melengkung dan diberi tangkai pada tempat yang melengkung tersebut.
Jenis alat yang termasuk kapak persegi adalah kapak bahu yang pada bagian tangkainya
diberi leher, sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi.
·
Kapak
lonjong, karena bentuk penampangnya berbentuk lonjong, dan bentuk kapaknya
sendiri bulat telur. Ujungnya yang agak lancip digunakan untuk tangkai dan
ujung lainnya yang bulat diasah, sehingga tajam. Kebudayaan kapak lonjong
disebut Neolitikum Papua, karena banyak ditemukan di Irian.
Kapak
pacul, beliung, tembikar atau periuk belanga, alat pemukul kulit kayu, dan
berbagai benda perhiasan dan yang lainnya adalah termasuk benda-benda pada
zaman Neolitikum. Adapun yang menjadi pendukungnya adalah bangsa Austronesia
untuk kapak persegi, bangsa Austo-Asia untuk kapak bahu, dan bangsa Papua
Melanesia untuk kapak lonjong.
4.
Zaman Logam;
Zaman
logam dalam prasejarah terdiri dari zaman tembaga, perunggu, dan besi. Di Asia
Tenggara termasuk Indonesia
tidak dikenal adanya
zaman tembaga, sehingga setelah zaman Neolitikum, langsung ke zaman
perunggu. Adapun kebudayaan Indonesia pada zaman Logam terdiri dari; kapak
Corong yang disebut juga kapak sepatu, karena bagian atasnya berbentuk corong
dengan sembirnya belah, dan ke dalam corong itulah dimasukkan tangkai kayunya. Nekara, yaitu barang
semacam berumbung yang bagian tengah badannya berpinggang dan di bagian sisi
atasnya tertutup, yang terbuat dari perunggu. Selain itu, benda lainnya adalah
benda perhiasan seperti kalung, anting, gelang, cincin, dan binggel, juga
manik-manik yang terbuat dari kaca serta seni menuang patung.
Dongson
adalah sebuah tempat di daerah Tonkin Tiongkok yang dianggap sebagai pusat
kebudayaan perunggu Asia Tenggara, oleh sebab itu disebut juga kebudayaan
Dongson. Sebagaimana zaman tembaga, di Indonesia juga tidak terdapat zaman
besi, sehingga zaman logam di Indonesia adalah zaman perunggu.
5.
Zaman Batu Besar (Megalitikum);
Zaman
Megalitikum berkembang pada zaman logam, namun akarnya terdapat pada zaman
Neolitikum. Disebut zaman Megalitikum karena kebudayaannya menghasilkan
bangunan-bangunan batu atau barang-barang batu yang besar. Bentuk
peninggalannya adalah:
1) Menhir,
yaitu tiang atau tugu yang didirikan sebagai tanda peringatan terhadap arwah
nenek moyang.
2) Dolmen, berbentuk
meja batu yang
dipergunakan sebagai tempat meletakkan sesajen yang dipersembahkan
untuk nenek moyang.
3) Sarcopagus,
berupa kubur batu yang bentuknya seperti keranda atau lesung dan mempunyai
tutup.
4) Kubur
batu, merupakan peti mayat yang terbuat dari batu.
5) Punden berundak-undak, berupa
bangunan pemujaan dari
batu yang tersusun
bertingkat-tingkat, sehingga menyerupai tangga.
6) Arca-arca,
yaitu patung-patung dari batu yang merupakan arca nenek moyang.
Demikian
era pra-sejarah di Indonesia dengan kebudayaan Megalitikumnya, mempunyai latar
belakang kepercayaan dan alam pikiran yang berlandaskan pemujaan terhadap arwah
nenek moyang.
1. Sejarah Agama Hindu
Untuk
pertama kalinya agama Hindu mulai berkembang di lembah Sungai SHindu di India.
Di lembah sungai ini para Rsi menerima wahyu dari “Sang Hyang Widhi” (Tuhan)
dan diabadikan ke dalam bentuk Kitab Suci Veda. Agama Hindu sering disebut
dengan sebutan Sanātana Dharma (Bahasa Sanskerta) berarti
“Kebenaran Abadi”, dan Vaidika-Dharma “Pengetahuan Kebenaran”. Agama Hindu
merupakan sebuah agama yang berasal dari anak benua India. Agama ini merupakan
lanjutan dari agama Veda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan bangsa
Indo-Iran (Arya).
Agama
Hindu diperkirakan muncul antara
tahun 3102 SM
sampai 1300 SM dan merupakan
agama tertua di dunia yang masih
bertahan hingga kini. Agama ini
merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan
jumlah umat sebanyak hampir 1 miliar jiwa. Dalam bahasa Persia, kata Hindu
berakar dari kata Sindhu (Bahasa Sanskerta). Dalam kitab Rg Veda, bangsa Arya
menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di
barat daya anak benua India, yang salah satu sungai tersebut bernama sungai
Indus). Kata sapta sindhu berdekatan dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam
Zend Avesta (Vendidad: Fargard 1.18) - sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran.
Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai
Sindhu. Hindu sendiri sebenarnya baru terbentuk setelah masehi ketika beberapa
kitab dari Veda dilengkapi oleh para brahmana. Zaman munculnya agama Buddha,
nama agama Hindu lebih dikenal dengan sebutan sebagai ajaran Veda.
Agama
Hindu sebagaimana nama yang dikenal sekarang ini, pada awalnya tidak disebut
demikian, bahkan dahulu ia tidak memerlukan nama, karena pada waktu itu ia
merupakan agama satu-satunya yang ada di muka bumi. Sanatana Dharma adalah nama
sebelum nama Hindu diberikan. Kata “Sanatana dharma” bermakna “kebenaran yang
kekal abadi” dan jauh belakangan setelah ada agama-agama lainnya barulah ia
diberi nama untuk membedakan antara satu dengan yang lainnya. Sanatana dharma
pada zaman dahulu dianut oleh masyarakat di sekitar lembah sungai Shindu,
penganut Veda ini disebut oleh orang-orang Persia sebagai orang indu (tanpa
kedengaran bunyi s), selanjutnya lama-kelamaan nama indu ini menjadi Hindu.
Sehingga sampai sekarang penganut sanatana dharma disebut Hindu.
Agama
Hindu adalah suatu kepercayaan yang didasarkan pada kitab suci yang disebut
Veda. Veda diyakini sebagai pengetahuan yang tanpa awal tanpa akhir dan juga
dipercayai keluar dari nafas Tuhan bersamaan dengan terciptanya dunia ini.
Karena sifat ajarannya yang kekal abadi tanpa awal tanpa akhir maka ia disebut
sanatana dharma. Apabila membahas tentang Agama Hindu, kita harus mengetahui
sejarah tempat munculnya agama tersebut. India adalah sebuah negara yang penuh
dengan rahasia dan cerita dongeng, masyarakatnya berbangsa-bangsa dan
berkasta-kasta, dan ada masyarakat dalam masyarakat, serta sungguh banyak
ditemui agama-agama. Bahasa dan warna kulit pun bermacam-macam.
Pembicaraan
mengenai India berarti adalah pembicaraan yang bercabang- cabang. Dipandang
dari sudut ethnologi, India adalah tanah yang beraneka penduduknya, dan
akibatnya orang dapat melihat kebudayaan yang beraneka dan tercermin dalam
agamanya. Oleh karena itu barang siapa mulai mempelajari agama Hindu ia akan
segera merasa terlibat dalam sejumlah ajaran-ajaran, sehingga hampir tidak
dapat menemukan jalan untuk mengadakan penyelidikan. Sepanjang orang
dapat menyelidikinya, maka
sejarah kebudayaan India mulai pada zaman perkembangan kebudayaan-kebudayaan
yang besar di Mesopotamia dan Mesir. Antara 3000 dan 2000 tahun sebelum Masehi,
rupa- rupanya di lembah sungai Sindhu (Indus) tinggallah bangsa-bangsa yang
peradabannya menyerupai kebudayaan
bangsa Sumeria di
daerah sungai Efrat dan Tigris.
Berbagai cap di gading dan tembikar yang memperlihatkan tanda-tanda tulisan dan
lukisan-lukisan binatang, menceritakan kepada kita bahwa pada zaman itu di
sepanjang pantai dari Laut Tengah sampai ke Teluk Benggala terdapat sejenis
peradaban yang sama dan sudah meningkat pada perkembangan yang tinggi.
Sisa-sisa kebudayaan tersebut terutama terdapat di dekat kota Harappa di Punjab
dan di sebelah utara Karachi. Bahkan disitu diketemukan sisa-sisa sebuah kota
Mohenjodaro namanya, di mana manusia telah mempunyai rumah-rumah yang
berdinding tebal dan bertangga.
Penduduk India
pada zaman itu
terkenal dengan nama
bangsa Dravida. Mula-mula mereka
tinggal tersebar di seluruh negeri, tetapi lama-kelamaan hanya tinggal di
sebelah selatan dan memerintah negerinya sendiri, karena mereka di sebelah
utara hidup sebagai orang taklukkan dan bekerja pada bangsa-bangsa yang merebut
negeri itu. Mereka adalah bangsa yang berkulit hitam dan berhidung pipih,
berperawakan kecil dan berambut keriting. Nama India diambil dari sungai Indus.
Perkataan Indus dan Hindu keduanya berarti bumi yang terletak di
belakang Sungai Indus, dan penduduknya dinamakan orang- orang
India atau orang-orang Hindu. Mengenai penamaan Negara India, Gustav Le Bon
menyatakan: “Orang- orang Barat berpendapat bahwa nama Sungai Indus telah
dipinjamkan kepada negara yang mengandung berbagai rahasia yang terletak di
sebelah belakangnya. Alasan ini tidak diterimanya bulat-bulat sebab nama India
itu harus diambil dari nama Tuhan Indra.” Peradaban India telah berlangsung
lama. Negara India telah menghasilkan beberapa Filosof agung sebelum Socrates
dilahirkan. Di Negara India sudah tersebar tanda-tanda ilmu pengetahuan dan
bangunan-bangunan yang megah pada masa dahulu ketika Kepulauan Inggris masih
dalam keadaan terbelakang. India adalah negara yang penuh dengan keajaiban.
India adalah salah satu pusat peradaban kuno di dunia. Dalam hal ini, India
menandingi Mesir, Cina, Assyria, dan Babilonia. Peradaban India sebelum zaman
Arya dapat diketahui dari pengungkapan-pengungkapan pada tingkat kemajuan yang
pernah dicapai oleh India dalam bidang arsitektur, pertanian, dan
kemasyarakatan sejak masa 300 tahun SM, yaitu 1500 tahun sebelum kedatangan
Bangsa Arya.
Antara
2000 dan 1000 tahun SM masuklah kaum Arya ke India dari sebelah utara. Bangsa
Arya memisahkan diri dari bangsanya di Iran dan yang memasuki India melalui
jurang-jurang di pegunungan Hindu-Kush. Bangsa Arya itu serumpun dengan bangsa
Jerman, Yunani dan Romawi dan bangsa- bangsa lainnya di Eropa dan Asia. Mereka
tergolong dalam apa yang kita sebut rumpun-bangsa Indo-German. Hinduisme dapat
disamakan dengan rimba-raya yang penuh dengan pohon-pohonan, tanam-tanaman,
tumbuh- tumbuhan dan kembang-kembangan. Hinduisme memperlihatkan berbagai macam
pembentukan agama. Gambaran yang diberikan Hinduisme dalam keseluruhannya
memang beraneka warna. Pesan pertama yang kita dapat ialah bahwa dalam
Hinduisme terhimpun seluruh sejarah agama dengan segala ragam dan bentuknya.
Hinduisme ialah agama dari jutaan penduduk India.
Tidaklah
mudah untuk menjelaskan dengan kata-kata singkat, tentang Hinduisme. Lebih
tepat rasanya jika Hinduisme di namakan sebagai suatu sistim sosial yang
diperkuat oleh cita-cita keagamaan yang kemudian mempunyai tendensi keagamaan.
Tak ada seorang pun yang dapat menjadi seorang Hindu dengan jalan menganut
suatu agama tertentu. Menjadi seorang Hindu adalah berkat kelahirannya, yang
meletakkan kewajiban untuk megikuti peraturan- peraturan upacara-upacara
tertentu. Pada umumnya peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pembagian
varna dan khsusunya pemberian korban dan upacara-upacara keagamaan yang timbul
dari pada pembagian varna tadi. Ikatan-ikatan batin pada upacara yang turun
temurun ini sangat kuat. Contoh nyata dapat dilihat pada Gandi yang jelas
bersimpati terhadap agama lain, tetapi tetap tinggal di Hindu karena pertanian,
bangsa dan hubungan batinnya dengan kebudayaan agama sukunya. Bangsa Arya turun
ke lembah Indus kira- kira 1500 tahun SM dan memberi corak pada kebudayaan
India.
Menurut
pendapat para peneliti bahwa bangsa Arya berasal dari Asia, dahulunya mereka
hidup di Asia Tengah dari negeri Turkistan yang berdekatan dengan Sungai
Jihun, kemudian berpindah
dalam kelompok-kelompok yang
besar menuju ke India melalui Parsi, dan mereka juga menuju Eropa. Nyatalah
bahwa kedatangan bangsa Arya ke India terjadi pada abad ke-15 SM. Bangsa Arya
ini telah memerangi
kerajaan-kerajaan yang didirikan oleh bangsa berkulit kuning di
India dan berhasil mengalahkan sebagaian besar dari mereka serta menjadikan
kawasan-kawasan yang dikalahkannya itu sebagai wilayah yang tunduk di bawah
pengaruh mereka. Bangsa Arya tidak bercampur dengan penduduk India dengan jalan
perkawinan. Mereka menjaga dengan sungguh-sungguh keturunan mereka yang
berkulit putih itu. Bangsa Arya menggiring penduduk asli Negara India ke
hutan-hutan atau ke gunung-gunung dan menjadikan mereka sebagai orang-orang
tawanan yang dalam sastra lama Bangsa Arya dinamakan sebagai Bangsa Hamba
Sahaya. Bangsa Arya ini telah meminta pertolongan dari Tuhan mereka “Indra”
untuk mengalahkan penduduk India. Di antara bacaan do’a mereka adalah “wahai
Indra Tuhan kami! Suku-suku kaum Dasa (budak) telah mengepung kami dari segenap
penjuru dan mereka tidak memberikan korban apa-apa, mereka bukan manusia dan
tidak berkepercayaan. Wahai Penghancur musuh! Binasakanlah mereka dari
keturunannya.”
Tentang sejauh
mana pengaruh bangsa-bangsa
berkulit kuning (Bangsa Turan) dan berkulit putih (Bangsa
Arya) di India telah diterangkan oleh Gustav Le Bon: “Bangsa Turan adalah
bangsa penyerang yang kuat. Bangsa Arya meninggalkan kesan yang mendalam
terhadap bangsa India dari segi budaya. Dari bangsa Turan, penduduk India
mengambil ciri ukuran tubuh dan raut muka. Dari bangsa Arya mereka mengambil
ciri bahasa, agama, undang- undang, dan adat-istiadat.” Pertemuan bangsa Arya
dan bangsa Turan dengan penduduk asli telah menimbulkan kelas-kelas masyarakat
di India, dan merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam sejarah negara
ini. Dari bangsa Arya terbentuk golongan ahli-ahli agama (Brahmana) dan
golongan prajurit (Ksatria).
Dari
bangsa Turan terbentuk pula golongan saudagar dan ahli-ahli tukang (Waisya).
Pada mulanya orang-orang Hindu yang bergaul dengan bangsa Turan tidak termasuk
dalam pembagian ini. Tetapi dalam beberapa zaman kemudian peradaban Arya
melebur ke dalam sebagian diri mereka. Selanjutnya bangsa Arya pun terbentuk
dari kalangan orang-orang Hindu golongan keempat, yaitu golongan pesuruh dan
hamba sahaya (Sudra). Penduduk-penduduk asli yang tidak tersentuh dengan
peradaban Arya adalah disebabkan karena mereka memisahkan diri dari
bangsa-bangsa pendatang itu. Maka, tinggallah mereka jauh dari pembagian ini
dan terus menjadi orang-orang yang tersingkir atau terhalau dari masyarakat
(out-casts). Peradaban Bangsa Arya ketika masuk ke India masih kurang daripada
bangsa Drawida yang ditaklukkannya. Tetapi mereka lebih unggul dalam ilmu
peperangan. Pada saat bangsa Arya masuk ke India, mereka itu masih merupakan
bangsa setengah nomaden (pengembara), yang peternakan lebih berartinya daripada
pertanian. Bagi bangsa Arya, kuda dan lembu adalah binatang-binatang yang
sangat dihargai, sehingga binatang- binatang itu dianggap suci jika
dibandingkan dengan bangsa Drawida yang menetap di daerah kota-kota, mengusahakan
pertanian serta menyelenggarakan perniagaan di sepanjang pantai, maka bangsa
Arya itu dapat dikatakan masih primitif.
Dahulu
orang belum tahu dengan tepat dan selalu memandang kebudayaan yang ada di India
dibawa oleh bangsa Arya. Sesudah adanya penggalian- penggalian di India,
pandangan orang berubah dan makin banyak diketahui bahwa bermacam-macam unsur
di dalam kebudayaan India berasal dari kebudayaan Drawida yang tua. Contohnya
Bangsa Arya belum mempunyai patung-patung Deva, sedangkan bangsa Drawida sudah.
Sebuah gejala yang khas di dalam Agama Hindu ialah pengakuan adanya Deva-Devi
induk, yang merupakan gejala pra-Arya. Banyak gejala-gejala Agama Hindu yang
rupa- rupanya tidak berasal dari agama Bangsa Arya, melainkan berasal dari
bangsa Drawida. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa Agama Hindu sebagai
agama yang tumbuh dari dua sumber yang berlainan, dan tumbuh dari perasaan dan
pikiran keagamaan dua bangsa yang berlainan, pada mulanya banyak hal sangat
berlainan, tetapi kemudian dapat lebur menjadi satu. Di dalam tulisan- tulisan
Hindu tua, unsur-unsur Arya lah yang sangat besar pengaruhnya. Hal itu tidak
mengherankan karena tulisan-tulisan itu berasal dari zaman Bangsa Arya memasuki
India dengan kemenangan-kemenanganya. Pengaruh bangsa Drawida tentunya belum
begitu besar. Agama bangsa Arya dapat kita ketahui dari kitab-kitab Veda (Veda
artinya tahu). Oleh karena itu masa yang tertua dari agama Hindu disebut masa
Veda. Maulana Mohamed Abdul Salam al- Ramburi juga berkata: “Umat India mudah
menerima apa saja pemikiran dan kepercayaan yang ditemuinya.
Agama
Hindu adalah yang tertua di antara agama-agama yang ada. Penyebarannya meliputi
kebanyakan orang India. Buku Hinduism telah menerangkan sebab-sebab
terjadinya hal itu
dengan menuliskan; amat sulit untuk dikatakan, bahwa Hinduisme
itu adalah suatu agama dalam pengertiannya yang sangat luas. Ini merupakan
kehidupan India dengan caranya
tersendiri yang dianggap
sebagai satu dari
semua masalah suci dan masalah hina karena di dalam pemikiran
Hindu tidak ada batas yang memisahkan keduanya. Agama Hindu adalah suatu agama
yang berevolusi dan merupakan kumpulan adat-istiadat yang tumbuh dan berkembang
pada daerah yang dilaluinya. Kedudukan bangsa Arya sebagai penakluk negeri,
yang lebih tinggi
daripada penduduk asli
telah melahirkan adat-istiadat Hindu. Kiranya dapat dikatakan
bahwa asas agama Hindu adalah kepercayaan bangsa Arya yang telah mengalami
perubahan sebagai hasil dari percampuran mereka
dengan bangsa-bangsa lain,
terutama sekali adalah
bangsa Parsi, yaitu sewaktu dalam
masa perjalanan mereka menuju India. Agama Hindu lebih merupakan suatu cara
hidup daripada sebagai kumpulan kepercayaan. Sejarahnya menerangkan mengenai
isi kandungannya yang meliputi berbagai kepercayaan, hal-hal yang harus
dilakukan, dan yang boleh dilakukan. Agama Hindu tidak mempunyai kepercayaan
yang membawanya turun hingga kepada penyembahan batu dan pohon-pohon, dan
membawanya naik pula kepada masalah-masalah falsafah yang abstrak dan halus.
Seandainya Agama Hindu tidak mempunyai pendiri yang pasti maka begitu pula
halnya dengan Veda. Kitab suci ini yang mengandung kepercayaan-kepercayaan,
adat-istiadat, dan hukum-hukum juga tidak mempunyai pencipta yang pasti. Para
penganut agama Hindu mempercayai bahwa Veda adalah suatu kitab yang ada sejak
dahulu yang tidak mempunyai tanggal permulaan. Kitab Veda diwahyukan sejak awal
kehidupan, setara dengan awal yang diwahyukannnya.
Penduduk
asli Lembah sungai Indus adalah bangsa Dravida yang berkulit hitam. Di sekitar
sungai itu terdapat dua pusat kebudayaan yaitu Mohenjodaro dan Harappa. Mereka
sudah menetap di sana dengan mata pencaharian bercocok tanam dengan
memanfaatkan aliran sungai dan kesuburan tanah di sekitarnya. Menurut teori
kehidupan bangsa Dravida mulai berubah sejak tahun 2000-an SM karena adanya
pendatang baru, bangsa Arya. Mereka termasuk rumpun berbahasa Indo-Eropa dan
berkulit putih. Bangsa Arya ini mendesak bangsa Dravida ke bagian selatan India
dan membentuk Kebudayaan Dravida namun, sebagian lagi ada yang bercampur antara
bangsa Arya dan Dravida yang kemudian disebut bangsa Hindu. Oleh karena itu,
kebudayaannya disebut kebudayaan Hindu.
Letak
Geografis Sungai Indus, di sebelah utara berbatasan dengan China yang dibatasi
Gunung Himalaya, selatan berbatasan dengan Srilanka yang dibatasi oleh Samudera
Indonesia, barat berbatasan dengan Pakistan, timur berbatasan dengan Myanmar
dan Bangladesh. Peradaban sungai Indus berkembang disekitar (2500 SM).
Kebudayaan kuno India ditemukan di kota Mohenjodaro dan Harappa yang
penduduknya adalah bangsa Dravida. Terdapat hubungan dagang antara Mohenjodaro
dan Harappa dengan Sumeria. Mohenjodaro dan Harappa ditata dengan perencanaan
yang sudah maju, rumah-rumah terbuat dari batu-bata, saluran air bagus, jalan raya
lurus dan lebar. Mohenjodaro dan Harappa sebagai kota tua yang dibangun
berdasarkan penataan dan peradaban yang maju. Peradaban Lembah Sungai Indus
diketahui melalui penemuan- penemuan arkeologi. Kota Mohenjodaro diperkirakan
sebagai ibu kota daerah Lembah Sungai Indus bagian selatan dan Kota Harappa
sebagai ibu kota Lembah Sungai Indus bagian utara. Mohenjodaro dan Harappa
merupakan pusat peradaban bangsa India pada masa lampau. Di Kota Mohenjodaro
dan terdapat gedung-gedung dan rumah tinggal serta pertokoan yang dibangun
secara teratur dan berdiri kukuh. Gedung-gedung dan rumah tinggal serta
pertokoan itu sudah terbuat dari batu bata lumpur. Wilayah kota dibagi atas
beberapa bagian atau blok yang dilengkapi dengan jalan yang ada aliran airnya.
Daerah
Lembah Sungai Indus merupakan daerah yang subur. Pertanian menjadi mata
pencaharian utama masyarakat India. Pada perkembangan selanjutnya,
masyarakat telah berhasil
menyalurkan air yang
mengalir dari Lembah Sungai Indus sampai jauh ke daerah
pedalaman. Pembuatan saluran irigasi dan pembangunan daerah-daerah pertanian
menunjukkan bahwa masyarakat Lembah Sungai Indus telah memiliki peradaban yang
tinggi. Hasil-hasil pertanian yang utama adalah padi, gandum, gula/tebu, kapas,
teh, dan lain- lain. Masyarakat Mohenjodaro dan Harappa telah memperhatikan
sanitasi (kesehatan) lingkungannya. Teknik-teknik
atau cara-cara pembangunan rumah yang telah memperhatikan
faktor-faktor kesehatan dan kebersihan lingkungan yaitu rumah mereka sudah
dilengkapi denga jendela. Masyarakat Lembah Sungai Indus sudah memiliki ilmu
pengetahuan dan teknologi. Kemampuan mereka dapat diketahui melalui
peninggalan-peninggalan budaya yang ditemukan, seperti bangunan, berbagai macam
patung, perhiasan emas, perak, dan berbagai macam meterai dengan lukisannya
yang bermutu tinggi dan alat-alat peperangan seperti tombak, pedang, dan anak
panah. Demikian sekilas tentang kebudayaan pra sejarah di India sebagai tempat
tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang sampai saat ini kita yakini kebenarannya
sebagai pedoman dan penuntun dalam hidup dan kehidupan ini.
Seiring
dengan perkembangan jaman, sebagaimana negeri lainnya yang diperintah oleh
masing-masing rajanya dalam sebuah kerajaan, negeri India juga demikian adanya.
Raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Maurya antara lain : Candragupta
Maurya. Setelah berhasil menguasai Persia, pasukan Iskandar Zulkarnaen
melanjutkan ekspansi dan menduduki India pada tahun 327 SM melalui Celah Kaibar
di Pegunungan Himalaya. Pendudukan yang dilakukan oleh pasukan Iskandar
Zulkarnaen hanya sampai di daerah Punjab. Pada tahun 324 SM muncul gerakan di
bawah Candragupta. Setelah Iskandar Zulkarnaen meninggal tahun 322 SM,
pasukannya berhasil diusir dari daerah Punjab dan selanjutnya berdirilah
Kerajaan Maurya dengan ibu kota di Pattaliputra. Candragupta Maurya Menjadi
raja pertama Kerajaan Maurya. Pada masa pemerintahannya, daerah kekuasaan
Kerajaan Maurya diperluas ke arah timur, sehingga sebagian besar daerah India
bagian utara menjadi bagian dari kekuasaannya. Dalam waktu singkat, wilayah
Kerajaan Maurya sudah mencapai daerah yang sangat luas, yaitu daerah Kashmir di
sebelah barat dan Lembah Sungai Gangga di sebelah timur.
Ashoka
memerintah Kerajaan Maurya dari tahun 268-282 SM. Ashoka merupakan cucu dari Candragupta
Maurya. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Maurya mengalami masa yang
gemilang. Kalingga dan Dekkan berhasil dikuasainya. Namun, setelah ia
menyaksikan korban bencana perang yang maha dahsyat di Kalingga, timbul
penyesalan dan tidak lagi melakukan peperangan. Mula-mula Ashoka beragama
Hindu, tetapi kemudian menjadi pengikut agama Buddha. Sejak saat itu Ashoka
menjadikan agama Buddha sebagai agama resmi negara. Setelah Ashoka meninggal,
kerajaan terpecah- belah menjadi kerajaan kecil. Peperangan sering terjadi dan
baru pada abad ke-4 M muncul seorang raja yang berhasil mempersatukan kerajaan
yang terpecah belah itu. Maka berdirilah Kerajaan Gupta dengan Candragupta I
sebagai rajanya.
Sistem
kepercayaan masyarakat Lembah Sungai Indus bersifat politeisme atau memuja
banyak Deva. Deva-Deva tersebut misalnya Deva kesuburan dan kemakmuran (Devi
Ibu). Masyarakat Lembah Sungai Indus
juga menghormati binatang-binatang seperti buaya dan gajah, pohon seperti pohon
pipal (beringin). Pemujaan tersebut dimaksudkan sebagai tanda terima kasih
terhadap kehidupan yang dinikmatinya, berupa kesejahteraan dan perdamaian.
Interaksi bangsa Dravida
dan bangsa Arya menghasilkan Agama Hindu. Bangsa Arya dan bangsa Dravida
merupakan bangsa yang memiliki ideologi keagamaan yang berbeda satu sama lain,
akan tetapi dari kedua ideologi agama tersebut, melahirkan suatu agama
persatuan yakni agama Hindu.
2. Agama Hindu di Indonesia
Di
Indonesia, banyak ditemukan berbagai bentuk peninggalan sejarah bercorak Hindu. Agama
Hindu disebut-sebut sebagai
agama yang tertua dalam sejarah peradaban manusia. Agama
Hindu pertama kali tumbuh dan berkembang dengan subur di negara India. Di sana
agama Hindu berkembang pesat. Setelah di India, barulah agama Hindu merambah ke
negara-negara lainnya. Peninggalan sejarah agama Hindu pun sangat banyak dan
beragam serta tersebar di berbagai negara. Perkembangan ajaran agama Hindu
berawal sekitar tahun 1500 sebelum Masehi (SM).
Ditandai
dengan datangnya bangsa Yunani. Mereka memasuki wilayah Nusantara dengan perahu
layar. Kelompok ini datang dari Kampuchea (Kamboja). Mereka mendirikan rumah
dan hidup secara berkelompok dalam masyarakat
desa dan menetap di Nusantara. Kebudayaan mereka sudah cukup maju.
Mereka sudah mengenal bercocok tanam. Mereka juga berdagang dan membuat
peralatan dari tanah liat serta
logam. Kepercayaan yang mereka
anut adalah animisme dan dinamisme. Animisme adalah kepercayaan yang memuja
roh nenek moyang
atau roh halus. Dinamisme adalah pemujaan terhadap benda-benda yang
dianggap memiliki kekuatan gaib. Misalnya keris, tombak, batu akik, dan patung.
Ajaran
Hindu masuk ke Indonesia sejak permulaan masehi melalui hubungan dagang dengan
India. Kitab suci agama Hindu yaitu Veda. Ajaran Hindu memuja banyak Deva.
Deva-Deva yang dianggap menempati posisi paling tinggi yaitu Deva Brahma, Deva
Wisnu, dan Deva Siwa. Ketiga Deva itu disebut Trimurti (tiga Deva yang
bersatu). Trimurti diwujudkan dalam bentuk patung. Tata kemasyarakatan dalam
ajaran agama Hindu mengenal adanya varna. Varna adalah susunan kelompok
masyarakat Hindu sesuai dengan tingkat keahlian atau profesi yang dimiliki oleh
individu bersangkutan, yang terdiri dari varna; brahmana, ksatriya, wesya, dan
sudra.
Dalam beberapa
prasasti yang terdapat
di pulau Jawa
dan lontar-lontar yang terdapat
di pulau Bali menjelaskan bahwa “Maha Rsi Agastya” yang menyebarkan agama Hindu
dari India ke Indonesia. Menurut data peninggalan sejarah yang ada dinyatakan
bahwa Maha Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia melalui
Sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Karena begitu besar
jasa-jasa beliau dalam penyebaran ajaran Agama Hindu, maka namanya disucikan di
dalam prasasti ‘Dinaya’. Prasasti ‘Dinaya’ diketemukan di Jawa Timur yang
ditulis dengan berangka tahun Saka 682 (760 M), menjelaskan bahwa seorang raja
yang bernama Gaja Yana membuatkan pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud
untuk memohon kekuatan suci dari Rsi Agastya (Shastri, N.D. Pandit, 1963:21).
Prasasti Porong yang ditemukan di Jawa Tengah berangka tahun Saka 785 (863 M)
juga menyebutkan keagungan serta kemuliaan jasa-jasa Maha Rsi Agastya.
Mengingat kemuliaan Maha Rsi Agastya, maka beliau diberi julukan‘Agastya Yatra’
artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam
pengabdiannya untuk Dharma. Oleh karena itu beliau juga diberi julukan ‘Pita
Segara’, artinya “Bapak dari Lautan” karena beliau yang mengarungi lautan luas
demi untuk Dharma.
Diperkirakan
pada abad ke-4 Masehi (di Kutai-Kalimantan Timur), agama Hindu di Indonesia
sudah berkembang dengan subur. Disinyalir agama Hindu dibawa dari India ke
Indonesia dengan perantara para pedagang. Sebelum masuknya agama Hindu,
Indonesia masih dalam masa pra-sejarah atau masa di mana masih belum mengenal
tulisan. Dengan masuknya agama Hindu perubahan besar pun terjadi di Indonesia.
Jaman prasejarah berganti dengan zaman sejarah di mana tulisan mulai
diperkenalkan melalui ukiran-ukiran yang terdapat pada yupa. Kehidupan politik
kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha membawa perubahan baru dalam kehidupan sosial
dan ekonomi masyarakat Indonesia. Struktur sosial dari masa Kutai hingga
Majapahit mengalami perkembangan yang ber-evolusi namun progresif. Dunia
perekonomian pun mengalami perkembangan: dari yang semula sistem barter hingga
sistem nilai tukar uang. Agama Hindu masuk ke Indonesia dinyatakan terjadi pada
awal tahun Masehi, hal ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis dari
benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi yakni diketemukannya tujuh buah
Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu
didapatkan keterangan tentang kehidupan keagamaan pada waktu itu yang
menyatakan bahwa: “Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan
yadnya oleh Raja Mulawarman”. Pada keterangan yang lain menyatakan bahwa Raja
Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja Deva Siwa.
Tempat itu disebut dengan “Vaprakeswara”.
Dari
berbagai peninggalan yang ditemukan, diketahui bahwa kehidupan masyarakat Kutai
sudah cukup teratur. Walau tidak secara jelas diungkapkan, diperkirakan
masyarakat Kutai sudah terbagi dalam beberapa penggolongan meskipun tidak
secara tegas dinyatakan. Dari penggunaan bahasa Sansekerta dan pemberian
hadiah sapi, dapat
disimpulkan bahwa dalam
masyarakat Kutai terdapat golongan
brahmana, golongan yang
sebagaimana juga di India memegang monopoli penyebaran dan
upacara keagamaan. Di samping golongan brahmana, terdapat pula kaum ksatria.
Golongan ini terdiri dari kerabat dekat raja. Di luar kedua golongan ini,
sebagian besar masyarakat Kutai masih menjalankan adat-istiadat dan kepercayaan
asli mereka. Walaupun Hindu telah menjadi agama resmi kerajaan, namun masih
terdapat kebebasan bagi masyarakat untuk menjalankan kepercayaan aslinya.
Diperkirakan
bahwa lahan pertanian, baik di sawah maupun di ladang adalah merupakan mata
pencarian utama masyarakat Kutai. Melihat letaknya di sekitar Sungai Mahakam
sebagai jalur transportasi laut, mengantarkan perdagangan masyarakat Kutai
berjalan cukup ramai. Bagi pedagang luar yang ingin berjualan di Kutai, mereka
harus memberikan ‘hadiah’ kepada raja
agar diizinkan berdagang.
Pemberian ‘hadiah’ ini
biasanya berupa barang dagangan
yang cukup mahal harganya; dan pemberian ini dianggap sebagai upeti atau pajak
kepada pihak Kerajaan. Melalui hubungan dagang tersebut, baik melalui jalur
transportasi sungai-laut maupan transportasi darat, berkembanglah hubungan
agama dan kebudayaan dengan wilayah-wilayah sekitarnya. Banyak pendeta yang
diundang datang ke Kutai. Banyak pula orang Kutai yang berkunjung ke daerah
asal para pendeta tersebut.
Selanjutnya,
agama Hindu berkembang pesat di Indonesia melalui kerajaan- kerajaan yang
berdiri pada waktu itu, baik di Jawa maupun luar Jawa. Kehadiran agama
Hindu di Indonesia,
menimbulkan pembaharuan yang besar, seperti berakhirnya jaman
pra-sejarah Indonesia. Perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama
dengan memuja Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan kitab Suci Veda dan juga
munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah.
Di
samping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat
mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti
Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu,
Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti
tersebut berbahasa Sanskerta dan memakai huruf
Pallawa. Bersumberkan prasasti-prasasti itu
didapatkan keterangan yang
menyebutkan bahwa “Raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara menganut agama
Hindu. Beliau adalah raja yang gagah berani yang dilukiskan dengan tapak
kakinya yang disamakan dengan tapak kaki Deva Wisnu”. Bukti lain yang ditemukan
di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Deva
Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa kerajaan Tarumanegara. Berdasarkan data
tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan
memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa.
Kehidupan
masyarakat Tarumanagera tak jauh beda dengan Kutai. Menurut sebuah prasastinya,
kehidupan sosial masyarakatnya telah berkembang baik, terlihat dari penggalian
kanal (sungai yang digali) Gomati dan Candrabhaga secara gotong-royong. Tenaga
kerja yang diperintah menggali kanal tersebut biasanya dari golongan budak dan
kaum sudra. Pembangunan kanal Gomati dan Candrabaga begitu bermakna bagi
perekonomian Tarumanegara. Selain sebagai sarana pencegah banjir, juga dapat
dipergunakan sebagai sarana transportasi (lalu lintas) air dan perdagangan
antara pedagang Tarumanegara dengan pedagang daerah lain. Hasil bumi merupakan
komoditas utama. Melalui perdagangan, masyarakat Tarumanegara dapat memperoleh
barang yang tidak dihasilkan di kerajaannya. Kehidupan ekonomi Tarumanegara
bertumpu pada hasil ladang dan kebun. Barang yang ditawarkan adalah beras dan
kayu jati. Mayoritas rakyat Tarumanegara adalah peladang yang selalu
berpindah-pindah tempat. Ini berbeda dengan masyarakat petani yang selalu
menetap di satu tempat, misalnya seperti di Jawa Tengah dan Timur.
Kehidupan
sosial-ekonomi Kendan-Galuh tidak jauh beda dengan Tarumanegara. Masyarakatnya
berprofesi sebagai peladang. Agama yang dianut bangsawan adalah Hindu-Wisnu,
sedangkan rakyatnya mayoritas menganut animisme dan dinamisme. Sementara itu,
sistem transportasi pada masa Kendan dan Galuh diperkirakan dilakukan melalui
Sungai Cimanuk dan pelabuhan tua di pesisir pantai utara, contohnya di sekitar
Indramayu dan Cirebon. Sementara itu mengenai masalah tenaga kerja, baik
pegawai istana maupun tentara, biasanya berasal dari golongan bangsawan kerabat
raja. Mengenai sistem perpajakan biasanya pedagang mengirim hadiah berupa
benda-benda langka dan mahal. Sedangkan bagi wilayah yang berada di bawah
kerajaan mereka harus mengirim upeti berupa emas atau benda-benda berharga
lain, sebagai tanda kesetiaannya terhadap atasan.
Kehidupan
sosial masyarakat Sunda dan Pakwan Pajajaran secara garis besar dapat
digolongkan ke dalam golongan seniman, peladang (pecocok tanam), pedagang. Dari
bukti-bukti sejarah diketahui, umumnya masyarakat Pajajaran hidup dari hasil
perladangan. Seperti masyarakat Tarumanegara dan Galuh, mereka umumnya selalu
berpindah pindah. Hal ini berpengaruh pada bentuk rumah tempat
tinggal mereka yang
sederhana. Dalam hal
tenaga kerja, yang menjadi
anggota militer diambil dari rakyat jelata dan sebagian anak bangsawan. Mereka
dibiayai oleh negara. Dalam bidang ekonomi, Kerajaan Sunda dan Pajajaran telah
lebih maju dari masa Tarumanegara. Kerajaan Sunda- Pajajaran memiliki
setidaknya enam pelabuhan penting: Banten, Pontang, Cigede, Tarumanegara, Sunda
Kelapa, dan Cimanuk. Setiap pelabuhan ini dikepalai oleh seorang syahbandar
yang bertanggung jawab kepada raja. Para syahbandar ini bertindak sebagai wakil
raja di pelabuhan-pelabuhan yang dikuasainya, sekaligus menarik pajak dari para
pedagang yang ingin berjualan di daerah ini, pajak tersebut berupa kiriman
upeti berwujud barang dagangan yang mahal atau uang. Dalam hal transportasi
air, selain melalui laut, dilakukan pula melalui sungai-sungai besar seperi
Citarum dan Cimanuk, sebagai jalur perairan dalam negeri. Melalui pelabuhan
ini, Pajajaran melakukan aktivitas perdagangan dengan negara lain. Dalam
berbagai peninggalan sejarah diketahui, masyarakat Pajajaran telah berlayar
hingga ke Malaka bahkan ke Kepulauan Mala deva yang kecil di sebelah selatan
India. Barang barang dagangan mereka umumnya bahan makanan dan lada. Di samping
itu, ada jenis bahan pakaian yang didatangkan dari Kamboja (India). Sementara
mata uang yang dipakai sebagai alat tukar adalah mata uang Tiongkok.
Selanjutnya,
agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti
Tukmas yang ditemukan di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa
sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti
Purnawarman. Dalam prasasti inilah dituliskan atribut Deva Tri Murti, yaitu
Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari
tahun 650 Masehi. Keyakinan memuja Tri Murti juga disebutkan dalam prasasti
Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal
dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra
Sengkala berbunyi: “Sruti indriya rasa”, Isinya memuat tentang pemujaan
terhadap Deva Siwa, Deva Wisnu dan Deva Brahma sebagai Tri Murti. Adanya
kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo
dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti
yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti bahwa adanya perkembangan
Agama Hindu yang sangat pesat terjadi di Jawa Tengah.
Sumber-sumber
berita Tiongkok mengungkapkan keadaan masyarakat Mataram dari abad ke-7 sampai
ke-10. Kegiatan perdagangan baik di dalam maupun luar negeri berlangsung ramai.
Hal ini terbukti dari ditemukannya barang-barang keramik dari Vietnam dan
Tiongkok. Kenyataan ini dikuatkan lagi dengan berita dari Dinasi Tang yang
menceritakan kebesaran sebuah kerajaan dari Jawa, dalam hal ini Mataram. Dari
Prasasti Warudu Kidul diperoleh informasi adanya sekumpulan orang asing yang
berdiam di Mataram. Mereka mempunyai status yang berbeda dengan penduduk
pribumi. Mereka membayar pajak yang berbeda yang tentunya lebih mahal daripada
rakyat pribumi Mataram. Kemungkinan besar mereka itu adalah para saudagar dari
luar negeri. Namun, sumber sumber lokal tidak memperinci lebih lanjut tentang
orang-orang asing ini. Kemungkinan besar mereka adalah kaum migran dari
Tiongkok.
Dari
berita Cina diketahui bahwa di ibu kota kerajaan terdapat istana raja yang
dikelilingi dinding dari batu bata dan batang kayu. Di dalam istana, berdiam
raja beserta keluarganya dan para abdi. Di luar istana (masih di dalam
lingkungan dinding kota) terdapat kediaman para pejabat tinggi kerajaan
termasuk putra mahkota beserta keluarganya. Mereka tinggal dalam perkampungan
khusus di mana para hamba dan budak yang dipekerjakan di istana juga tinggal
sekitarnya. Sisa-sisa peninggalan pemukiman khusus ini sampai sekarang masih
bisa kita temukan di Yogyakarta dan Surakarta. Di luar tembok kota berdiam
rakyat yang merupakan kelompok terbesar. Kehidupan masyarakat Mataram umumnya
bersifat agraris karena pusat Mataram terletak di pedalaman, bukan di pesisir
pantai. Pertanian merupakan sumber kehidupan kebanyakan rakyat Mataram. Di
samping itu, penduduk di desa (disebut wanua) memelihara ternak seperti
kambing, kerbau, sapi, ayam, babi, dan itik. Sebagai tenaga kerja, mereka juga
berdagang dan menjadi pengrajin. Dari Prasasti Purworejo (900 M) diperoleh
informasi tentang kegiatan perdagangan. Kegiatan di pasar ini tidak diadakan
setiap hari melainkan bergilir, berdasarkan pada hari pasaran menurut kalender
Jawa Kuno. Pada hari Kliwon, pasar diadakan di pusat kota. Pada hari Manis atau
Legi, pasar diadakan di desa bagian timur. Pada hari Paking (Pahing), pasar
diadakan di desa sebelah selatan. Pada hari Pon, pasar diadakan di desa sebelah
barat. Pada hari Wage, pasar diadakan di desa sebelah utara.
Pada
hari pasaran ini, desa-desa yang menjadi pusat perdagangan, ramai didatangi
pembeli dan penjual dari desa-desa lain. Mereka datang dengan berbagai cara,
melalui transportasi darat maupun sungai sambil membawa barang dagangannya
seperti beras, buah-buahan, dan ternak untuk dibarter dengan kebutuhan yang
lain. Selain pertanian, industri rumah tangga juga sudah berkembang. Beberapa
hasil industri ini antara lain anyaman seperti keranjang, perkakas dari besi,
emas, tembaga, perunggu, pakaian, gula kelapa, arang, dan kapur sirih. Hasil
produksi industri ini dapat diperoleh di pasar- pasar yang ada. Sementara itu,
bila seseorang berjasa (biasanya pejabat militer atau kerabat istana) kepada
kerajaan, maka orang bersangkutan akan diberi hak memiliki tanah untuk
dikelola. Biasanya tempat itu adalah hutan yang kemudian dibuka menjadi
pemukiman baru. Orang yang diberi tanah baru itu diangkat menjadi penguasa
tempat yang baru dihadiahkan kepadanya. Ia bisa saja menjadi akuwu (kepala
desa), senopati, atau adipati atau menteri. Bisa pula sebuah wilayah
dihadiahkan kepada kaum brahmana untuk dijadikan asrama sebagai tempat tinggal
mereka, dan di sekitar asrama tersebut biasanya didirikan candi atau wihara.
Setelah
di Jawa Tengah, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, hal ini dapat
dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang.
Prasasti ‘Dinaya’ berbahasa sansekerta dan ditulis memakai huruf Jawa Kuno.
Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Deva
Simha pada tahun 760 Masehi yang dilaksanakan oleh para ahli Veda, para
Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Deva Simha adalah salah satu
raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di
daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Kemudian
pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar
Sri IsanottunggaDeva, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai
pemuja Deva Siwa. Sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa.
Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang
tahun 1019-1042) yang
juga adalah penganut
Hindu yang setia. Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah
kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengembang agama Hindu. Pada masa
kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana,
Bharatayudha, Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana.
Kemudian
muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini
didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai
peninggalan ke-Hinduan. Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan
muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara.
Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan
Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu
bangunan suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku
Negarakertagama.
Di
Jawa Timur berkembang aliran Tantrayana seperti yang dilakukan Kertanegara dari
Singasari yang dipandang merupakan penjelmaaan Siwa. Kepercayaan terhadap roh
leluhur masih terwujud dalam upacara kematian dengan mengadakan kenduri 3 hari,
7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun dan 1000 hari, serta masih banyak
hal-hal yang dilakukan oleh masyarakat Jawa.
Menurut
berita Cina, Kediri terkenal dengan kehidupan masyarakatnya yang damai.
masyarakat Kediri hidup berkecukupan. Penduduk wanitanya memakai kain sarung
sampai bawah lutut dan rambutnya terurai. Rumah mereka bersih dan rapi,
lantainya dari ubin berwarna hijau dan kuning. Dalam upacara perkawinan mereka
memakai mas kawin dari emas dan perak. Masyarakatnya sering mengadakan pesta
air (sungai atau laut) maupun pesta gunung sebagai ungkapan terima kasih kepada
para Deva dan leluhur mereka. Kehidupan perekonomian Kediri berpusat pada
bidang pertanian dan perdagangan. Hasil pertanian masyarakat
Kediri umumnya beras.
Sementara barang-barang yang
diperdagangkan antara lain emas, kayu cendana, dan pinang. Walaupun terletak di
pedalaman, jalur perdagangan dan pelayaran maju pesat melalui Sungai Brantas
yang dapat dilayari sampai ke pedalaman wilayah Kediri dan bermuara di Laut
Selatan (Samudera Indonesia). Masyarakat Kediri juga sudah mempunyai kesadaran
tinggi dalam membayar pajak. Mereka membayar pajak dalam bentuk natura yang
diambil dari sebagian hasil bumi mereka.
Sementara
itu, kehidupan sosial Singasari dapat diketahui dari Nagarakertagama dan
Pararaton serta kronik Cina. Disebutkan, masyarakat Singasari terbagi dalam
kelas atas, yaitu keluarga raja dan kaum bangsawan, dan kelas bawah yang
terdiri dari rakyat umum. Selain itu, ada kelompok agama, pendeta Hindu maupun
Buddha. Namun pembagian atas golongan ini tidak seketat pengkastaan seperti di
India. Ini membuktikan, sekali lagi, kearifan lokal yang dimiliki masyarakat
pribumi. Dari Negarakertagama dan Pararaton diperoleh gambaran tentang
kehidupan perekonomian di jawa pada masa Singasari. Di desa pada umumnya
penduduk hidup dari bertani, berdagang, dan kerajinan tangan. Tidak sedikit
pula yang bekerja sebagai buruh atau pelayanan. Kegiatan berdagang dilakukan
dalam lima hari pasaran pada tempat yang berbeda (Legi, Pahing, Pon, Wage,
Kliwon). Oleh karena itu, sarana transportasi darat memegang peranan penting.
Beberapa prasasti melukiskan bagaimana para pedagang, pengrajin, dan petani
membawa barang dagangannya. Mereka digambarkan melakukan perjalanan sambil
memikul barang dagangannya atau mengendarai pedati-kuda. Ada pula yang
melakukan perjalanan melalui sungai dengan menggunakan perahu.
Dengan
disebutnya alat angkut pedati dan perahu, dapatlah disimpulkan bahwa
perdagangan antar desa cukup ramai. Apalagi di wilayah Singasari terdapat dua
sungai besar, Bengawan Solo dan Kali Brantas yang dimanfaatkan untuk mengairi
lahan pertanian dan lalu lintas perdagangan air. Perdagangan mulai mendapatkan
perhatian cukup besar semasa Kertanegara memerintah. Kertanegara mengirimkan
ekspedisi militer ke Melayu (Pamalayu) untuk merebut kendali perdagangan di
sekitar Selat Malaka. Pada masa ini memang Selat Malaka merupakan jalur sutera
yang dilalui oleh para pedagang asing.
Dalam
hal kepemilikan tanah, transportasi, perpajakan, dan tenaga kerja; kehidupan
rakyat Medang Kamulan menyerupai Mataram, karena Medang Kamulan tak lain adalah
kelanjutan Mataram. Yang berbeda adalah hanya nama dinastinya dan perpindahan
wilayah kekuasaan dari barat ke timur. Masa pemerintahan Mpu Sindok yang
bergelar Sri Isana Tunggawijaya, merupakan masa yang damai. Namun, sejak
pemerintahan Dharmawangsa Teguh, politik Kerajaan cenderung mengarah ke luar
negeri. Tujuannya adalah untuk merebut dominasi perdagangan di perairan Jawa,
Sumatera, dan Kalimantan, yang ketika itu dikuasai Sriwijaya. Untuk keperluan
itu, Dharmawangsa Teguh membangun armada militer yang tangguh. Dengan kekuatan
militernya, Medang Kamulan menaklukkan
Bali, lalu mendirikan
semacam koloni di Kalimantan
Barat. Medang Kamulan kemudian menyerang Sriwijaya, walaupun tidak menang.
Dharmawangsa pun mengembangkan pelabuhan Hujung Galuh di selatan Surabaya dan
Kembang Putih (Tuban) sebagai tempat para pedagang bertemu. Ketika Airlangga
berkuasa, kerajaan menjaga hubungan damai dengan kerajaan-kerajaan tetangga
demi kesejahteraan rakyat. Ini diperlihatkan dengan mengadakan perjanjian damai
dengan Sriwijaya. Kerajaan pun memperlakukan umat Hindu dan Buddha sederajat.
Dari
peninggalan sejarah diketahui bahwa masyarakat Majapahit relatif hidup rukun,
aman, dan tenteram. Majapahit menjalin hubungan baik dan bersahabat dengan
negara tetangga, di antaranya dengan Syangka (Muangthai), Dharma Negara,
Kalingga (Raja Putera), Singhanagari (Singapura), Campa dan Annam (Vietnam),
serta Kamboja. Negara-negara sahabat ini disebut dengan Mitreka Satata.
Disebutkan bahwa pada masa Hayam Wuruk, penganut agama Hindu Siwa dan Buddha
dapat bekerjasama. Hal ini diungkapkan oleh Mpu Tantular dalam Sutasoma atau
Purusadashanta yang berbunyi “bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrawa”
yang artinya: “di antara pusparagam agama adalah kesatuan pada agama yang
mendua.” Rakyat Majapahit terbagi dalam kelompok masyarakat berdasarkan
pekerjaan. Pada umumnya, rakyat Majapahit adalah petani, sisanya pedagang dan
pengrajin. Selain pertanian, Majapahit juga mengembangkan perdagangan dan
pelayaran. Hal ini dapat simpulkan dari wilayah kekuasaan Majapahit yang
meliputi Nusantara bahkan Asia Tenggara. Barang utama yang diperdagangkan
antara lain rempah-rempah, beras, gading, timah, besi, intan, dan kayu cendana.
Sejumlah pelabuhan terpenting pada masa itu adalah Hujung Galuh, Tuban, dan
Gresik. Majapahit memegang dua peranan penting dalam dunia perdagangan.
Pertama, Majapahit adalah sebagai kerajaan produsen yang menghasilkan
barang-barang yang laku di pasaran. Hal ini bisa dilihat dari wilayah Majapahit
yang demikian luas dan meliputi daerah-daerah yang subur. Kedua, peranan
Majapahit adalah sebagai perantara dalam membawa hasil bumi dari daerah satu ke
daerah yang lain. Perkembangan perdagangan Majapahit didukung pula oleh
hubungan baik yang dibangun penguasa Majapahit dengan kerajaan-kerajaan
tetangga. Barang-barang dari luar negeri dapat dipasarkan di
pelabuhan-pelabuhan Majapahit. Dan sebaliknya, barang-barang Majapahit dapat
diperdagangkan di negara-negara tetangga. Hubungan sedemikian tentu sangat
menguntungkan perekonomian Majapahit. Dalam hal kepemilikan tanah, di Majapahit
sama saja dengan yang berlaku di kerajaan-kerajaan sebelumnya. Begitu pula
mengenai perpajakan dan tenaga kerja. Para petani selalu bergotong royong dalam
hal bercocok tanam dan mengairi sawahnya.
Selanjutnya
agama Hindu berkembang di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan
pada abad ke-8. Hal ini dibuktikan dengan adanya prasasti- prasasti, Arca Siwa
yang bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad
ke-8. Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu
agama Hindu di Bali. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya
sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan
melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan
sebagaimana termuat dalam Usana Deva. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya
pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa
beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan
agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19
masih terjadi pembaharuan dalam teknis
pengamalan ajaran agama.
Dan pada masa
Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan
datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau
sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang
bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu
(Klungkung).
Perkembangan
selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan
keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun
1921 usaha pembinaan
muncul dengan adanya
Suita Gama Tirtha di
Singaraja. Sara Poestaka
tahun 1923 di
Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di Singaraja,
Perhimpunan Tjatur Wangsa Durgha Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman
Para Pinandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di
Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23
Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23
November tahun 1961 umat Hindu berhasil
menyelenggarakan Dharma
Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan
piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu.
Pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan
menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali yang selanjutnya
menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia. Perkembangan dan kemajuan selanjutnya
tentu akan terjadi seirama dengan perkembangan atau kemajuan Negera Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dan dunia pada umumnya.
B. Teori-teori masuknya agama Hindu ke Indonesia
Dari
lembah Sungai Sindhu,
ajaran Agama Hindu menyebar
ke seluruh pelosok dunia,
seperti; ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai
ke Indonesia. Di Indonesia banyak ditemukan berbagai bentuk peninggalan
sejarah bercorak ke-‘Hindu’-an.
Kehadiran budaya Hindu di Indonesia menyebabkan terjadinya akulturasi dan
perubahan tatanan sosial, dan sistem religius dari Bangsa Indonesia. Akulturasi
merupakan perpaduan beberapa budaya, dimana unsur-unsur kebudayaan itu menyatu
dan hidup berdampingan saling mengisi serta tidak menghilangkan unsur-unsur
asli dari kebudayaan aslinya. Kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia diterima
dengan tidak begitu saja melainkan dengan melalui proses pengolahan dan
penyesuaian kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tanpa menghilangkan
unsur-unsur asli. Hal ini disebabkan karena;
1.
Masyarakat
Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi sehingga
masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah perbendaharaan kebudayaan
aslinya.
2.
Kecakapan
istimewa yang dimiliki Bangsa Indonesia atau lokal genius merupakan kecakapan
suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah
unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadian bangsanya.
3.
Pengaruh
kebudayaan Hindu hanya bersifat melengkapi kebudayaan yang telah ada di
Indonesia. Perpaduan budaya Hindu melahirkan akulturasi yang masih terpelihara
sampai sekarang. Akulturasi tersebut merupakan hasil dari proses pengolahan
kebudayaan asing “India” sesuai dengan kebudayaan Indonesia.
Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia,
terjadi perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia. Hal ini tampak
dengan dikenalnya pembagian masyarakat atas Varna “profesi” atau yang lebih
dikenal dengan nama wangsa.
Perubahan yang terjadi tidak begitu
berpengaruh besar terhadap ekonomi masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan
karena masyarakat Indonesia telah mengenal sistim pelayaran dan perdagangan
tersendiri jauh sebelum masuknya pengaruh tersebut. Sebelum masuknya pengaruh
Hindu di Indonesia, sistem pemerintahan dipimpin oleh kepala suku yang dipilih
karena ia dipandang memiliki kelebihan tertentu jika dibandingkan anggota
masyarakat/kelompok lainnya. Setelah pengaruh Hindu masuk maka berdirilah
kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang berkuasa secara turun-temurun.
Raja dianggap sebagai keturuanan dari Deva yang memiliki kekuatan, dihormati,
dan dipuja, sehingga memperkuat kedudukannya untuk memerintah wilayah kerajaan
secara turun temurun serta meninggalkan sistem pemerintahan kepala suku.
Agama Hindu dinyatakan masuk ke Indonesia
pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis dari
benda-benda purbakala pada zaman abad ke 4 Masehi dengan diketemukannya tujuh
buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa
itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang
menyatakan bahwa: Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yajña
oleh Raja Mulawarman”. Sang Mulawarman adalah raja yang berperadaban tinggi,
kuat, dan berkuasa merupakan putra dari Sang Aúwawarman, dan sebagai cucu dari
Sang Maharaja Kundungga. Keterangan yang lain menyebutkan bahwa Raja Mulawarman
melakukan yajña (Kenduri) pada suatu tempat suci untuk memuja Deva Siwa. Tempat
itu disebut dengan “Vaprakeswara”.
Kehadiran Agama Hindu di Indonesia,
menimbulkan pembaharuan yang besar, seperti berakhirnya jaman prasejarah
Indonesia. Perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama dengan memuja
Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan
yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Mengenai masuknya agama Hindu ke
Indonesia, ada beberapa teori yang menjelaskan hal tersebut. Teori-teori yang
dimaksud antara lain:
1.
Teori Brahmana;
Dikemukakan oleh
J.C. Van Leur, berisi bahwa kebudayaan Hindu dibawa
oleh para brahmana yang diundang oleh para kepala suku agar mereka dapat
mensahkan/melegitimasi (investitur) kekuasaan mereka sebagai kepala suku di
Indonesia sehingga setaraf dengan raja-raja di India. Teori ini pun dapat
disanggah karena raja di Indonesia akan sangat sulit mempelajari kitab Veda dan
ada pula aturan bahwa kaum Brahmana tidak
diperbolehkan menyebrangi lautan,
apalagi meninggalkan tanah kelahirannya
2. Teori Ksatriya;
Dikemukakan oleh
F.D.K Bosch dan C.C. Berg, berisi bahwa agama Hindu dibawa oleh kaum kasta
Ksatria (raja, pangeran) yang melarikan diri ke Indonesia karena kalah perang/
kekacauan politik di India. Di Indonesia sendiri, mereka mendirikan kerajaan
sendiri dengan bantuan masyarakat sekitar dan karena kedudukannya sebagai raja,
maka penduduk pun akan pula menganut agama Hindu.
Teori ini pun
juga memiliki kelemahan yaitu;
• Kalangan ksatria
tidak mengerti agama
dan hanya mengurusi pemerintahan.
• Adanya ketidakmungkinan seorang
pelarian mendapat kepercayaan dan kedudukan mulia sebagai raja.
• Bukti
arkeologis menunjukkan bahwa raja di Indonesia adalah raja asli Indonesia,
bukan orang India.
3.
Teori Wesya;
Dikemukakan oleh
N. J. Kroom, berisi bahwa agama Hindu dibawa oleh para pedagang India yang
singgah dan menetap di Indonesia ataupun bahkan menikah dengan wanita
Indonesia. Merekalah yang mengajarkan kepada masyarakat dimana mereka singgah.
Teori ini pun dapat dibantah dimana hanyalah varna Brahmana yang mampu
dan bebas mengetahui
isi dari kitab suci agama Hindu, veda. Ini disebabkan bahasa yang
dipakai adalah bahasa kitab, Sansekerta, bukan bahasa sehari-hari, Pali
4.
Teori Sudra;
Dikemukakan oleh
Van Faber berisi bahwa agama Hindu dibawa oleh para orang buangan berkasta
Sudra (tawanan perang) yang dibuang dari India ke Nusantara. Teori ini lemah
karena pada dasarnya kebudayaan Hindu bukanlah milik dan cakupan varna mereka
sebab kebudayaan Hindu dianggap terlalu tinggi untuk mereka
5.
Teori Arus Balik
Teori ini berisi
dua cara bagaimana Agama Hindu masuk ke Indonesia, antara lain:
• Para
Brahmana diundang kepala suku di Indonesia untuk memberikan ajaran Hindu dan
juga melakukan upacara Vratyastoma, yaitu upacara khusus
untuk meng- Hindukan seseorang.
• Para raja
di Indonesia pergi
ke India untuk mempelajari agama
Hindu. Setelah menguasai agama Hindu, mereka kembali ke Indonesia, memiliki
kasta Brahmana, lalu mengajarkan agama Hindu kepada masyarakatnya.
Dari seluruh teori yang telah disebutkan
di atas, teori Brahmana adalah teori yang paling dapat diterima karena yaitu.
• Agama
Hindu dalam kehidupan di masyarakat segala upacara keagamaan
cenderungdimonopoli oleh kaum Brahmana sehingga hanyalah Brahmana yang mungkin
menyebarkan agama Hindu.
• Prasasti yang
ditemukan di Indonesia
berbahasa Sansekerta yang merupakan bahasa kitab suci dan upacara
keagamaan, bukan bahasa sehari-hari sehingga hanya dimengerti oleh Kaum
Brahmana.
Diantara pendapat dan teori yang
dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut di atas yang paling mendukung terkait
dengan masuk dan diterimanya pengaruh Hindu oleh bangsa Indonesia adalah teori
brahmana. Hal ini dilandasi dengan asumsi dan pemikiran bahwa, yang paling
banyak tahu tentang urusan agama adalah golongan “varna” brahmana. Varna
brahmana dalam tata kehidupan masyarakat Hindu disebut-sebut sebagai kelompok
masyarakat yang ahli agama.
Sedangkan teori-teori yang lainnya
masing-masing memiliki kelemahan tertentu dan kurang sesuai dengan situasi dan
kondisi daerah yang dituju serta sifat-sifat Hindu itu sendiri. Demikianlah
beberapa teori yang dikemukan oleh para ahli tentang bagaimana pengaruh Hindu
masuk ke Indonesia pada jamannya.
C. Bukti-bukti monumental peninggalan Prasejarah
dan sejarah perkembangan Agama
Hindu di Indonesia
Zaman
Prasejarah tidak meninggalkan bukti-bukti berupa tulisan. Zaman
prasejarah hanya meninggalkan benda-benda atau alat-alat hasil kebudayaan
manusia. Peninggalan seperti itu disebut dengan artefak. Artefak dari zaman
prasejarah terbuat dari batu (jaman batu atau teknologi jaman batu) tanah liat
dan perunggu. Berikut ini peninggalan zaman prasejarah di Indonesia:
1. Kapak Genggam
Kapak genggam
juga disebut dengan nama kapak perimbas. Alat ini berupa
batu yang dibentuk menjadi semacam kapak. Teknik pembuatannya masih kasar,
bagian tajam hanya pada satu sisi. Alat tersebut belum bertangkai, dan
digunakan dengan cara digenggam. Daerah atau tempat ditemukannya benda
prasejarah ini adalah di wilayah Indonesia, antara lain di; Lahat Sumatera Selatan,
Kalianda Lampung, Awangbangkal
Kalimantan Selatan, Cabbenge Sulawesi Selatan dan Trunyan
2. Alat Serpih.
Alat serpih
adalah merupakan batu pecahan sisa dari pembuatan kapak genggam yang dibentuk
menjadi tajam. Alat tersebut berfungsi sebagai serut, gurdi, penusuk dan pisau.
Daerah atau tempat ditemukannya benda-benda pra-sejarah ini adalah; di daerah
Punung, Sangiran, dan Ngandong (lembah Sungai Bengawan Solo); Gombong Jawa
Tengah; lahat; Cabbenge; dan Mengeruda Flores Nusa Tenggara Timur.
3. Sumateralith.
Sumateralith nama
lainnya adalah Kapak genggam Sumatera. Teknik atau cara pembuatannya adalah
lebih halus dari kapak perimbas. Bagian tajam sudah ada pada di kedua sisi.
Cara menggunakannya masih digenggam. Daerah tempat ditemukannya benda
prasejarah ini adalah bertempat di daerah Lhokseumawe Aceh dan Binjai Sumut.
4. Beliung persegi
Beliung persegi
adalah merupakan alat alat- alat penemuan jaman prasejarah dengan permukaan memanjang
dan berbentuk persegi empat. Seluruh
permukaan alat tersebut telah digosok halus. Sisi pangkal diikat pada
tangkai, sisi depan diasah sampai tajam. Beliung persegi berukuran besar
berfungsi sebagai cangkul. Sedangkan yang berukuran kecil berfungsi sebagai
alat pengukir rumah atau pahat. Daerah tempat ditemukan benda prasejarah ini
adalah di beberapa daerah Indonesia,
5. Kapak Lonjong
Kapak Lonjong
adalah merupakan alat penemuan jaman prasejarah yang berbentuk lonjong. Seluruh
permukaan alat tersebut telah digosok halus. Sisi pangkal agak runcing dan
diikat pada tangkai. Sisi depan lebih melebar dan diasah sampai tajam. Alat ini
dapat digunakan untuk memotong kayu dan berburu. Daerah ditemukan benda ini
adalah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti di;
Sulawesi, Flores, Tanimbar, Maluku
dan Papua.
6. Mata panah
Mata panah adalah
merupakan benda prasejarah berupa alat berburu yang sangat penting. Selain
untuk berburu, mata panah digunakan untuk menangkap ikan, mata panah dibuat
bergerigi. Selain terbuat dari batu, mata panah juga terbuat dari tulang.
Daerah ditemukan benda prasejarah adalah di; Gua Lawa, Gua Gede, Gua petpuruh
(Jatim), Gua Cakondo, Gua Tomatoa kacicang,
Gua Saripa (sulsel).
Gambar:
7. Alat dari tanah liat
Alat dari tanah
liat adalah peralatan jaman pra sejarah yang dibuat dari tanah liat.
Benda-benda tersebut antara lain; Gerabah, alat ini dibuat secara sederhana,
tapi pada masa perundagian alat tersebut dibuat dengan teknik
yang lebih maju.
8. Bangunan megalithic
Bangunan
megalithic adalah bangunan- bangunan yang terbuat dari batu besar didirikan
untuk keperluan kepercayaan. Bentuk bangunan ini biasanya tidak terlalu halus,
hanya diratakan secara sederhana untuk dapat dipergunakan seperlunya. Adapun
hasil-hasil terpenting dari kebudayaan megalithic antara lain: Menhir, Dolmen,
Sacophagus (kranda), Batu kubur, dan Punden berundak-undak.
9. Nekara dari perunggu
Nekara adalah
semacam berumbung dari perunggu yang berpinggang di bagian tengahnya dan sisi
atasnya tertutup. Diantara
nekara-nekara yang ditemukan di negeri kita, sangat sedikit yang
masih utuh, kebanyakan di antaranya sudah rusak dan yang tertinggal hanya
berupa pecahan- pecahan sangat kecil. Adapun tempat ditemukannya Nekara
perunggu di negara kita antara lain seperti di; Sumatera, Jawa, Bali, Pulau
Sangean dekat Sumbawa, Roti, Leti, Selayar dan Kepulauan Kei. Di Alor juga
terdapat Nekara, namun bentuknya lebih kecil dan ramping, dibandingkan dengan nekara
yang terdapat di
daerah lainnya.
A. Peninggalan
Sejarah Hindu di Indonesia
Sejarah menyatakan bahwa “Maha Rsi
Agastya” yang menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini
ditemukan sebagai bukti yang terdapat
pada beberapa prasasti
di pulau Jawa dan lontar-lontar di pulau Bali. Menurut
data peninggalan sejarah tersebut dinyatakan bahwa Rsi Agastya menyebarkan
agama Hindu dari India ke Indonesia melalui
Sungai Gangga, Yamuna, India
Selatan dan India Belakang. Karena begitu besar jasa-jasa Rsi Agastya dalam
penyebaran ajaran Agama Hindu, maka namanya disucikan di dalam
prasasti, antara lain;
Prasasti Dinaya yang berada di
Jawa Timur dan bertahun Saka 682, dimana seorang patih raja yang bernama Gaja
Yana membuatkan pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud untuk memohon
kekuatan suci dari beliau (Rsi Agastya). Dan Prasasti Porong di Jawa Tengah
bertahun Saka 785, juga menyebutkan keagungan serta kemuliaan jasa-jasa Rsi
Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka terdapat istilah atau julukan
yang diberikan untuk beliau, diantaranya Agastya Yatra yang artinya perjalanan
suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma.
Dan julukan Pita Segara, yang artinya “Bapak dari Lautan” karena beliau yang
mengarungi lautan luas demi untuk Dharma.
Sebelum pengaruh Hindu masuk dan diterima
oleh Bangsa Indonesia, berdasarkan hasil penelitian yang diadakan oleh J.
Brandes menyatakan bahwa Bangsa Indonesia telah mengenal sepuluh (10) macam
unsur kebudayaan asli. Kesepuluh jenis kebudayaan asli itu meliputi; sistem
berlayar, sistem perbintangan, sistem mata uang, sistim gerabah, seni membatik,
seni wayang, sistem berburu, pola menetap, sistem bertani, dan sistem religi.
Dari berbagai sistem yang dikenal itu mereka meninggalkan berbagai kebudayaan
seperti; yang berasal dari zaman megalith dan perunggu berupa; menhir, dolmen,
sarkopagus, kuburan batu “pandhusa”, punden berundak-undak, arca perwujudan
nenek moyang, dan berbagai jenis nekara. Bangsa Indonesia telah mengenal dan menganut
sistem kepercayaan terhadap roh nenek moyang- nya. Pemujaan kepada roh nenek
moyang mempergunakan arca perwujudan. Arca perwujudan itu diletakkan pada
tempat “tanah” yang lebih tinggi dalam bentuk funden berundag-undag. Tekhnis
pemujaan kepada arwah leluhurnya.
Bersamaan dengan berkembangnya pengaruh
Hindu keseluruh dunia termasuk Indonesia,
maka terjadilah akulturasi
antara kebudayaan asli
Indonesia dengan kebudayaan India yang dijiwai oleh agama Hindu.
Selanjutnya secara berangsur-angsur peradaban Hindu mempengaruhi dan menjiwai
peradaban asli Indonesia sesuai dengan sifat-sifatnya. Untuk semuanya itu
terkait tentang bukti-bukti peninggalan sejarah ke ‘Hindu’ an, dapat diuraikan
sebagai berikut;
1) Kutai
Kutai
terletak di Pulau Kalimantan bagian Timur. Pada abad ke empat (4) Masehi
berkembanglah disana sebuah kerajaan yang bernama Kutai, dipimpin oleh
Aswawarman yang disebut- sebut sebagai putra
dari Kundungga. Di Kutai diketemukan 7 buah Prasasti yang
berbentuk Yupa. Yupa adalah tiang batu/tugu peringatan untuk melaksanakan
upacara kurban. Yupa sebagai prasasti bertuliskan huruf Pallawa, berbahasa
sanskerta dan tersusun dalam bentuk syair. Salah satu diantara batu bertulis
tersebut ada yang menuliskan “Sang Maha Raja Kundungga yang amat mulia,
mempunyai putra yang masyur, Sang Açwawarman namanya, seperti Ançuman (Deva
Matahari), menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Açwawarman mempunyai
tiga putra, seperti api yang suci ketiganya. Yang terkemuka dari ketiganya
itu ialah Sang
Mulawarman raja yang bijaksana,
kuat, dan berkuasa.
Sang Mulawarman telah
mengadakan yajna dengan
mempersembahkan emas yang
banyak”. Pada bagian lain disebutkan pula bahwa “Sang Mulawarman raja mulia dan
terkemuka, telah mempersembahkan yajna berupa dua puluh ribu (20.000) ekor sapi
kepada para brahmana bertempat di lapangan suci waprakeswara. Waprakeswara
adalah lapangan suci sebagai tempat untuk memuja Çiwa.
R.
Soekmono menyatakan bahwa, Kundungga adalah bukan kata sanskerta. Kundungga
adalah seorang kepala suku penduduk asli Indonesia yang belum banyak mendapat
pengaruh kebudayaan India. Purbatjaraka mengatakan, bahwa Kundungga bukan sosok
yang terkenal di India. Mungkin beliau adalah orang Indonesia asli yang sudah
menerima pengaruh kebudayaan India.
Sehingga nama-nama keturunannya
disesuaikan dengan budaya India selatan. Sebagaimana kita
ketahui melalui penuturan sejarah bahwa budaya orang-orang India selatan sering
mempergunakan akhiran “warman” (pelindung)
dalam memberikan nama-nama
keturunannya. Sedangkan, Krom
menyatakan bahwa, Kundungga adalah tipe India Selatan, karena disana
diketemukan istilah tempat yang disebut Kundukura. Dari berbagai pendapat yang
dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut di atas tentang asal sebutan Kundungga,
yang utama patut kita ketahui dan diingat adalah apa saja peninggalan agama
Hindu yang terdapat di Kutai pada masa lalu sampai sekarang. Berdasarkan
penemuan peninggalan sejarah berupa batu bertulis (Yupa) dapat diketahui bahwa Agama
Hindu telah berkembang dengan subur di Kutai. Hindu sebagai agama telah
diterima oleh masyarakat Kutai dan pada abad ke empat (4) Masehi. Adapun
pengaruh agama Hindu yang diterima oleh masyarakat Kutai adalah Hindu ajaran
çiwa.
2) Jawa Barat
Jawa
Barat merupakan bagian dari pulau jawa. Pada zaman raja-raja di nusantara ini,
Jawa Barat merupakan salah satu daerah pusat berkembangnya Agama Hindu.
Disekitar tahun 400-500 Masehi Jawa Barat diperintah oleh seorang raja yang
bernama “Purnawarman” dengan kerajaannya bernama Taruma Negara. Kerajaan Taruma
Negara meninggalkan banyak prasasti, diantaranya adalah prasasti; Ciaruteun,
Kebon Kopi, Tugu, dan prasasti Canggal. Prasasti-prasasti itu kebanyakan
ditulis dengan mempergunakan hurup Pallawa dan berbahasa sanskerta yang digubah
dalam bentuk syair (Soekmono, “Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia II”
Kanisius, 1973).
Penemuan
sebuah prasasti yang mengungkapkan tentang kehidupan manusia memiliki nilai
tersendiri dalam membicarakan perkembangan agama Hindu di nusantara ini. Dalam
prasasti Ciaruteun terdapat lukisan dua telapak kaki Sang Purnawarman yang
disamakan dengan tapak kaki Deva Wisnu. Ini memberikan petunjuk kepada kita
bahwa raja Purnawarman penganut ajaran Hindu. Deva Wisnu dalam konsep Ketuhanan
ajaran Hindu merupakan manifestasi dari Sang Hyang Widhi sebagai Deva
kemakmuran. Gambar telapak kaki gajah dari Sang Raja kita dapat temukan didalam
prasasti Kebon Kopi, ini dapat dihubungkan dengan telapak kaki gajah Airawata
(gajah Indra). Prasasti Tugu yang terdapat di Jakarta menuliskan bahwa, raja
Purnawarman dalam tahun pemerintahannya yang ke 22 telah berhasil menggali
sebuah sungai yang disebut sungai gomati. Sungai ini memiliki panjang 6122
busur ± 12 Km dalam waktu 21 hari. Setelah selesai diakan upacara korban serta
sedekah berupa 1000 ekor lembu kepada para brahmana. Dalam prasasti Canggal
yang mempergunakan angka tahun candra sengkala “Sruti Indra rasa” berarti tahun
654 çaka (tahun 732 masehi) menyebutkan bahwa, Raja Sanjaya mendirikan sebuah Lingga
sebagai simbol memuja Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Çiwa. Dalam
prasasti ini juga memuat kata-kata pujian kepada Deva Brahma, Wisnu, dan Çiwa.
Hal ini dapat dihubungkan dengan konsepsi Tri Murti.
Seluruh
penemuan tersebut dapat dipergunakan sebagai referensi bahwa pada masa
pemerintahan raja Purnawarman di Jawa Barat Agama Hindu dapat berkembang dengan
sangat berat dan beliau adalah penganut Hindu idialis. Berikut ini adalah
catatan peninggalan sejarah berupa Prasasti di Indonesia, antara lain:
No. Nama Prasasti Lokasi Penemuan Pembuatan Peninggalan
1 Kutai Kutai, Kaltim Abad ke-4
M Kutai
2 Ciaruteun Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara
3 Tugu Cilincing, Jakut Abad ke-5 M Tarumanegara
4 Jambu Bogor, Jabar Abad
ke-5 M Tarumanegara
5 Kebon Kopi Bogor, Jabar Abad
ke-5 M Tarumanegara
6 Cidanghiang Pandeglang Abad
ke-5 M Tarumanegara
7 Pasir Awi Leuwiliang, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara
8 Muara Cianten Bogor, Jabar Abad
ke-5 M Tarumanegara
9 Canggal Magelang, Jateng Abad
ke-7 M Mataram Lama
10 Kalasan Yogyakarta Tahun
732 M Mataram Lama
11 Dinoyo Malang, Jatim Tahun
760 M Mataram Lama
12 Kedu Temanggung,
Jateng Tahun 778
M Mataram Lama
13 Sanur Bali Abad
ke-9 M Bali
Prasasti
adalah benda peninggalan sejarah yang berisi tulisan dari masa lampau. Tulisan
itu dicatat di atas batu, logam, tanah liat, dan tanduk binatang. Prasasti
peninggalan Hindu ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta.
Prasasti tertua adalah Prasasti Yupa, dibuat sekitar tahun 350-400 M. Prasasti
Yupa berasal dari Kerajaan Kutai. Yupa adalah tiang batu yang digunakan pada
saat upacara korban. Hewan kurban ditambatkan pada tiang ini. Prasasti Yupa
terdiri dari tujuh batu bertulis. Isi Prasasti Yupa adalah syair yang
mengisahkan Raja Mulawarman. Berikut ini
daftar prasasti-prasasti peninggalan kebudayaan Hindu.
3) Jawa Tengah
Suburnya
peradaban agama Hindu di Jawa Tengah dapat kita ketahui dari diketemukannya
prasasti Tukmas. Prasasti ini ditulis dengan huruf Pallawa, berbahasa sanskerta
dengan tipe tulisan berasal dari tahun 650 Masehi. Prasasti Tukmas memuat
gambar-gambar atribut; Deva Tri Murti, seperti; Triçula lambang Deva Çiwa,
Kendi lambang Deva Brahma, dan Cakra lambang Deva Wisnu. Prasasti ini juga
menjelaskan tentang adanya sumber mata air yang jernih dan bersih yang dapat
disamakan dengan sungai Gangga.
Sumber berita
Tionghoa berasal dari
masa pemerintahan raja-raja
Tang tahun 618-696 Masehi. Di Jawa Tengah dinyatakan berdiri Kerajaan Kaling
yang pada tahun 674 Masehi diperintah oleh raja perempuan bernama “Raja
Sima” yang memiliki
sistem pemerintahan sangat
jujur. Dikatakan Raja Sima secara sengaja menaruh kantong
berisi emas di tengah jalan, dan tidak seorangpun berani menyentuhnya. Dalam
kurun waktu kurang lebih 3 tahun secara kebetulan kantong tersebut disentuh
oleh kaki putranya. Hukuman mati dijatuhkan kepada putranya itu, namun setelah
abdinya mengajukan permohonan hukuman potong kaki mengingat yang salah adalah
kaki putranya, hukuman potong kaki untuk putranya pun dilaksanakan. Selanjutnya
menurut prasasti Canggal yang
berangka tahun 732
Masehi menyebutkan bahwa Raja Sanjaya mendirikan Lingga sebagai
tempat pemujaan Çiwa bertempat disebuah bukit Kunjarakunja. Di Gunung wukir
terdapat candi induk dengan 3 buah candi perwara, di dalam candi induk terdapat
Yoni sebagai alas Lingga. Raja Sanjaya adalah putra raja Sanaha sebagai saudara
perempuan dari Raja Sima. Sanjaya adalah penerus dari kerajaan Mataram di Jawa
Tengah.
Berdasarkan
penuturan sejarah Jawa Tengah tersebut dapat ditarik suatu pernyataan bahwa
pada masa pemerintaha raja-raja disana telah tumbuh peradaban Agama Hindu
dengan sangat baik. Para raja dan masyarakatnya telah mendapat tuntunan ajaran
agama dengan sangat baik sehingga kehidupan pada umumnya mejadi damai dan
masyarakatnya-pun dapat mencapai kemakmuran dan keadilan. Semunya itu terjadi
karena ajaran Hindu dipahami, dipelajari, dan dipraktikan dengan
sungguh-sungguh, yang dapat dibuktikan dengan adanya beberapa peninggalan candi
sebagai sarana pemujaan Tuhan oleh umat sedharma. Berikut ini adalah daftar
peninggal candi Hindu di Indonesia;
No. Nama Candi Lokasi Penemuan Pembuatan Peninggalan
1 Prambanan Yogyakarta Abad
ke-7 M Mataram Lama
2 Dieng Dieng,
Jawa Tengah Abad ke-7 M Mataram
Lama
3 Badut Malang, Jawa Timur Tahun 760 M Kanjuruhan
4 Canggal Jawa
Tengah Abad
ke-8 M Mataram Lama
5 Gedong Sanga Jawa Tengah Abad
ke-8 M Mataram Lama
6 Penataran Blitar, Jawa Timur Abad ke-11M Kediri
7 Sawentar Blitar Jawa Timur Abad ke-12 M Singasari
8 Candi Kidal Jawa Timur Abad
ke-12 M Singasari
9 Singasari Jawa Timur Abad ke-12 M Singasari
10 Sukuh Karang
Anyar, Jateng Abad
ke-13 M Majapahit
Candi
Prambanan dibangun pada sekitar tahun 850 Masehi oleh salah seorang dari kedua
orang ini, yakni: Rakai Pikatan, raja kedua wangsa Mataram I atau Balitung Maha
Sambu, semasa wangsa Sanjaya. Tidak lama setelah dibangun, candi ini
ditinggalkan dan mulai rusak. Candi Prambanan adalah candi Hindu terbesar di
Asia Tenggara, tinggi bangunan utamanya
adalah setinggi 47 m. Kompleks candi ini terdiri dari 8 kuil
atau candi utama yang kokoh dan lebih daripada 250 candi kecil. Tiga candi
utama disebut Trisakti dan dipersembahkan kepada sang hyang Trimurti: Batara
Siwa sang Penghancur, Batara Wisnu sang Pemelihara dan Batara Brahma sang
Pencipta.
Candi
Arjuna adalah sebuah kompleks candi Hindu peninggalan dari abad ke-7-8 yang
terletak di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah,
Indonesia. Dibangun pada tahun 809, Candi Arjuna merupakan salah satu dari
delapan kompleks candi yang ada di Dieng. Ketujuh candi lainnya adalah Semar,
Gatotkaca, PuntaDeva, Srikandi, Sembadra, Bima dan Dwarawati. Di kompleks candi
ini terdapat 19 candi namun hanya 8 yang masih berdiri. Bangunan-bangunan candi
ini saat ini dalam kondisi yang memprihatinkan. Batu-batu candi ada yang telah
rontok, sementara di beberapa bagian bangunan ini terlihat retakan yang
memanjang selebar 5 cm. Candi Srikandi terletak di utara Candi Arjuna. Batur
candi setinggi sekitar 50 cm dengan denah dasar berbentuk kubus. Di sisi timur
terdapat tangga dengan bilik penampil.
Candi
Badut terletak di kawasan Tidar, kota Malang.
Candi ini diperkirakan
berusia lebih dari 1400 tahun dan
diyakini adalah peninggalan Prabu Gajayana, penguasa kerajaan Kanjuruhan
sebagaimana yang termaktub dalam prasasti Dinoyo pada tahun 760 Masehi silam.
4) Jawa Timur
Kata
Badut di sini berasal dari bahasa sansekerta “Bha-dyut” yang berarti sorot
Bintang Canopus atau Sorot Agastya. Candi ini ditemukan pada tahun 1921 dimana
bentuknya pada saat itu hanya berupa gundukan bukit batu, reruntuhan dan tanah.
Orang pertama yang memberitakan keberadaan Candi Badut adalah Maureen Brecher,
seorang kontrolir bangsa Belanda yang bekerja di Malang. Candi Badut dibangun
kembali pada tahun 1925-1927 di bawah pengawasan B. De Haan dari Jawatan
Purbakala Hindia Belanda. Dari hasil penggalian yang dilakukan pada saat itu
diketahui bahwa bangunan candi telah runtuh sama sekali, kecuali bagian kaki
yang masih dapat dilihat susunannya.
Keberadaan
kerajaan Kanjuruan dapat kita pergunakan sebagai salah satu landasan untuk
mengetahui peradaban agama Hindu di Jawa Timur. Prasasti Dinaya merupakan bukti
peninggalan sejarah kerajaan Kanjuruan. Prasasti ini banyak membicarakan
tentang perkembangan agama Hindu di Jawa Timur. Prasasti Dinoyo ditulis
mempergunakan hurup kawi (Jawa Kuno) dengan bahasa sanskerta menuliskan angka
tahun 760 Masehi. Dikisahkan bahwa dalam abad ke 8 kerajaan yang berpusat di
Kanjuruan bernama Deva Simha. Beliau memiliki putra yang bernama Limwa, setelah
menggantikan ayahnya sebagai raja bernama Gajayana. Raja Gajayana mendirikan
sebuah tempat pemujaan untuk memuliakan Maha Rsi Agastya. Arca Maha Rsi Agastya
pada mulanya terbuat dari kayu cendana, kemudian diganti dengan arca batu
hitam.
Peresmian
arca Maha Rsi Agastya dilaksanakan dalam tahun 760 Masehi. Pelaksanaan
upacaranya dipimpin oleh para pendeta ahli Veda. Pada saat itu pula Raja
Gajayana dikisahkan mengahadiahkan tanah, lembu, dan bangunan untuk para
brahmana dan para tamu. Dinyatakan bahwa salah satu bentuk bangunan itu yang
berasal dari zaman kerajaan Kanjuruan adalah “Candi Badut”. Di dalam candi
inilah diketemukan sebuah lingga sebagai perwujudan dari Deva Çiwa. Di dalam
prasasti Dinaya juga dituliskan tentang perjalanan Maha Rsi Agastya
dari India menuju
Indonesia untuk menyebarkan
dan mengajarkan Agama Hindu.
Selanjutnya
perkembangan Agama Hindu di Jawa Timur dapat kita ketahui dari berdirinya
Dinasti Isyanawangça yang berkuasa tahun 929-947 Masehi. Dinasti ini
diperintah oleh Mpu
Sendok, yang mempergunakan
gelar “Isyana Tunggawijaya”. Isyana Tunggawijaya berarti raja yang
memuliakan pemujaan kehadapan Deva Çiwa. Setelah kekuasaan Isyana Tunggawijaya
berakhir, berkuasalah raja Airlangga yang memerintah sampai tahun 1049 Masehi.
Raja Airlangga dinobatkan sebagai pengganti raja Dharmawangça yang memerintah
sampai tahun 1019 Masehi. Beliau bergelar “Çri Maharaja Rake Halu Çri Lokeçwara
Dharmawangça Airlangga Anantawikramottungga Deva” yang
dinobatkan oleh Pendeta
Çiwa dan Budha.
Raja Airlangga setelah mengundurkan diri dari tahtanya, beliau wafat
tahun 1049 Masehi dan dimakamkan di candi belahan. Airlangga diwujudkan sebagai
Deva Wisnu dengan arca wisnu duduk di atas garuda.
Banyak karya
sastra bernafaskan ajaran
Agama Hindu diterbitkan
pada zaman Dharmawangça, diantaranya kitab Purwadigama yang bersumber
pada kitab Menawa Dharmasastra. Sedangkan kitab Negara Kertagama, Arjuna
Wiwaha, Sutasoma dan yang lainnya muncul pada zaman Majapahit. Pada zaman ini
juga dibangun berbagai macam candi seperti candi Penataran di Blitar.
Berdasarkan petunjuk peninggalan sejarah seperti tersebut di atas dapat
dinyatakan bahwa peradaban Agama Hindu di Jawa Timur sangat pesat.
Wujud
patung Hindu antara lain hewan dan manusia. Patung berupa hewan dibuat karena
hewan tersebut dianggap memiliki kesaktian. Patung berupa manusia dibuat untuk
mengabadikan tokoh tertentu dan untuk menggambarkan Deva Devi. Contoh patung
peninggalan kerajaan Hindu yang terkenal adalah Patung Airlangga sedang
menunggang garuda. Dalam patung itu, Airlangga digambarkan sebagai
penjelmaan Deva Wisnu. Jenis
Patung peninggalan Hindu
Indonesia adalah;
No. Nama Patung Lokasi Penemuan Pembuatan Peninggalan
1 Trimurti - - -
2 Dwarapala Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara
3 Wisnu Cibuaya I Cibuaya, Jabar Abad
ke-5 M Tarumanegara
4 Wisnu Cibuaya II Cibuaya, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara
5 Rajasari Jakarta Abad
ke-5 M Tarumanegara
6 Airlangga Medang Kemulan Abad ke-10 M Medang Kemulan
7 Ken Dedes Kediri, Jatim Abad ke-12 M Kediri
8 Kertanegara Jawa Timur Abad
ke-12 M Singasari
9 Kertarajasa Mojekerto, Jatim Abad ke-13 M Majapahit
5) Bali
Keberadaan
agama Hindu di Bali merupakan kelanjutan dari agama Hindu yang berkembang di
Jawa. Pertama kalinya disebut-sebut dikembangkan oleh Maha Rsi Markandheya
bertempat di Besakih yang sekarang dikenal dengan nama
‘Pura Besakih’. Agama Hindu yang
datang ke Bali disertai oleh Agama Budha. Setelah di Bali kedua agama tersebut
berakulturasi dengan harmonis dan damai.
Kejadian ini sering disebut
dengan sinkritisme Çiwa– Budha. Di sekitar zaman pra sejarah sebelum pengaruh
Hindu berkembang di Bali masyarakatnya telah mengenal sistem kepercayaan dan
pemujaan.
a) Kepercayaan kepada
gunung sebagai tempat
suci. Gunung oleh masyarakat Bali dipandang sebagai tempat
bersemayamnya para roh nenek-moyang yang telah disucikan.
b) Sistem
penguburan yang mempergunakan
sarkopagus (peti mayat). Setiap orang yang meninggal dikubur
dengan kepala menuju arah gunung dan kakinya menuju arah laut. Hal ini
memberikan inspirasi kepada kita bahwa gunung dan laut melambangkan sebagai ulu
dan teben, kepala dan kaki, purusa dan peredana, serta utama mandala dan nista
mandala.
c) Kepercayaan
adanya alam sekala dan niskala. Alam sekala merupakan tempat hidup dan
kehidupan manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Sedangkan alam niskala
diyakini sebagai tempat bersemayamnya Ida Sang Hyang Widhi beserta
manifestasinya dan roh suci manusia setelah meninggalkan jasadnya.
d) Kepercayaan adanya
penjelmaan (Punarbhawa). Masyarakat
Bali “Hindu” percaya bahwa roh seseorang yang meninggalkan jasadnya setelah
kurun waktu tertentu menjelma kembali ke dunia nyata ini.
e) Kepercayaan
bahwa roh nenek-moyang orang bersangkutan dapat setiap saat memberikan
perlindungan, petunjuk, sinar dan tuntunan rohani kepada generasinya.
Demikianlah
sistem kepercayaan masyarakat Bali sebelum pengaruh ajaran Hindu datang ke
Bali. Sistem kepercayaan masyarakat Bali nampak memiliki pola sangat sederhana.
Setelah datangnya Maha Rsi Markhandeya di Bali pola kepercayaan yang sederhana
itu kembali disempurnakan. Keterangan tentang Maha Rsi Markhandeya menyebarkan
pengaruh Hindu di Bali dapat diketahui
melalui kitab Markhandeya Purana.
Kitab tersebut menyatakan bahwa untuk
pertama kalinya pengaruh Hindu di Bali disebarkan oleh Maha Rsi Markhandeya.
Beliau datang ke Bali diperkirakan disekitar abad ke 4-5 Masehi melalui gunung
Semeru (Jawa Timur) menuju daerah gunung Agung (Tolangkir) dengan tujuan hendak
membangun asrama atau penataran. Kedatangan beliau untuk pertama kalinya
diikuti oleh 400 orang pengiring, namun dikisahkan kurang berhasil. Setelah
pulang ke Jawa, beliau kembali datang ke Bali dengan pengiring sebanyak 2000
orang. Kedatangan beliau yang ke dua ini berhasil menanam panca datu di kaki
gunung Agung (Besakih) sekarang.
Selanjutnya
dikisahkan bahwa Maha Rsi Markhandeya berkehendak untuk merabas hutan untuk
dijadikan sawah guna meningkatkan kesejahtraan para pengiringnya. Hutan yang
dirabas itu bernama Desa Sarwada (Desa Taro) sekarang. Di Desa Sarwada inilah
beliau mendirikan tempat suci yang sekarang bernama Pura Desa Taro. Pada tempat
suci ini beliau meninggalkan sebuah prasasti yang isinya mengisahkan kebesaran
jiwa Maha Rsi Markhandeya.
Selama
menetap di Bali Maha Rsi Markhandeya secara berangsur-angsur mulai meningkatkan
kepercayaan masyarakat Bali.
1) Masyarakat
Bali mulai diajarkan melakukan pemujaan kehadapan Sang Hyang Widhi. Sang Hyang
Tuduh, Sang Hyang Prama Kawi, Sang Hyang Prama Wisesa dan yang lainnya adalah
sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa. Dengan mempersembahkan upakara api, air,
bunga dan buah beliau menyembah kehadapan Surya “nyuryasewana” tiga kali sehari
memuja kebesaran Tuhan. Unsur-unsur upakara yang dipersembahkan itu disebut
alat-alat bebali. Selanjutnya beliau mengajarkan bahwa segala sesuatu yang
dikerjakan adalah untuk mewujudkan keselamatan, hendaknya didahului dengan
mempersembahkan bebali kehadapan Sang Hyang Widhi. Ajaran yang demikian disebut
agama bebali.
2) Pada
saat itu pula mulai dikenal tentang daerah Bali. Bali diartikan daerah yang
segala sesuatunya mempergunakan sesajen atau sarana bebali. Masyarakat Bali
yang menjadi pengiringnya dan mendiami daerah pegunungan disebut orang-orang
Bali aga.
3) Pura
Besakih mulai dibangun dan difungsikan sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi
Waça guna memohonkaan keselamatan umatnya. Tempat suci lainnya yang dibangun
oleh beliau adalah Pura Andakasa, Lempuyang, Watukaru, Sukawana dan yang
lainnya.
4) Warna
merah dan putih mulai dipergunakan sebagai ider-ider atau umbul- umbul di
tempat-tempat suci. Kedua warna itu melambangkan kesucian yang bersumber dari
warna surya dan bulan.
5) Upacara
bebali untuk keselamatan binatang dan peternakan ditetapkan pada tumpek kandang
atau hari sabtu-kliwon wuku uye. Sedangkan untuk keselamatan tumbuh-tumbuhan
ditetapkan pada tumpek pengatag atau hari sabtu-kliwon wuku wariga.
Personifikasi Tuhan Yang Mahaesa yang menganugrahkan keselamatan kepada
binatang dan tumbuh-tumbuhan disebut Sang Hyang Rareangon dan Sang Hyang
Tumuwuh.
Upaya
dan usaha pelestarian agama Hindu di Bali setelah Maha Rsi Markhandeya
dilanjutkan oleh Mpu Sang Kulputih. Beliau disebut-sebut sebagai pemongmong
Pura Besakih. Banyak peran yang dilaksanakan dan diambil oleh beliau dalam
meningkatkan peran dan kualitas Agama Hindu.
1) Mengajarkan
tentang bebali dalam bentuk seni yang mengandung makna simbolis dan suci.
2) Mengajarkan orang-orang
Bali aga menjadi
orang-orang suci untuk Pura Kahyangan, seperti; Pemangku, Jro
Gede, Jro Prawayah dan Jro Kebayan. Untuk menjadikan diri orang bersangkutan
suci diajarkan pula tentang tata cara melakukan tapa, brata, yoga dan semadhi.
3) Mpu Sang
Kulputih juga mengajarkan masyarakat untuk melaksanakan hari-hari suci,
seperti; Galungan, Kuningan, Sugian, Pagerwesi, Tumpek, dan yang lainnya.
Disamping itu juga mengajarkan tentang tatacara membuat arca lingga dari kayu,
logam atau uang kepeng sebagai perwujudan dari Ida Sang Hyang Widhi Waça
beserta manifestasinya.
Bertempat
di Pura Puseh (Desa Bedulu Gianyar) ditemukan peninggalan arca Çiwa. Menurut
tipenya arca itu dinyatakan serupa dengan arca Çiwa yang terdapat di Candi
Dieng. A.J Bernet Kemper mengatakan arca tersebut berasal dari abad ke 8
Masehi.
Prasasti
Blanjong yang berangka tahun 913 Masehi menyebutkan bahwa Raja Putri
Mahendradatta yang bergelar Gunapriya Dharmapatni mangkat di Buruan Kutri
Gianyar. Beliau diwujudkan dalam bentuk Dhurga Mahisa Asura Mardhani yaitu
Bhatari Dhurga yang sedang membunuh para setan yang ada di badan seekor kerbau.
Prasasti tersebut kini tersimpan di Pura Blanjong Sanur.
Pada
masa pemerintahan Raja Marakatta Pangkaja Sthanottungga Deva tahun 944-948 çaka
(1022-1026 Masehi) datanglah Mpu Kuturan ke Bali. Beliau berasal dari Jawa
Timur, setibanya di Bali membangun asrama di Padangbai (Pura Silayukti)
sekarang. Oleh beliau masyarakat Bali diajarkan tentang silakrama, filsafat tentang makrokosmos
dan mikrokosmos, Sang
Hyang Widhi, Jiwatman, Karmaphala, Wali dan Wewalen. Beliau juga
mengajarkan tentang Kusuma Deva, Widhi Sastra, Sangkara Yoga dan tatacara
membangun Kahyangan atau bangunan suci lainnya. Bangunan suci yang ada sampai
sekarang dibangun menurut ajaran beliau adalah;
1) Sanggah
Kemulan, Taksu dan Tugu untuk setiap rumah tangga dalam satu pekarangan.
2) Sanggah
Pamrajan yang terdiri dari; Surya, Meru, Gedong, Kemulan, Taksu, Pelinggih
Pengayatan Sad Kahyangan, dan Paibon serta yang lainnya, untuk penyungsungan
lebih dari satu kepala keluarga/pekarangan.
3) Pura
Dadiya, Pemaksan, Panti dan yang lainnya, yang penyungsungnya lebih dari satu
paibon/pemerajan.
4) Kahyangan
Tiga (Pura Puseh, Baleagung, dan Dalem) sebagai tempat memuja Tri Murti
dibangun pada setiap Desa Pekraman/adat.
Selain
pembangunan tempat-tempat suci tersebut di atas, beliau juga mengajarkan
tentang pembangunan Kahyangan Jagat, seperti; Pura Besakih, Pura Batur, Pura
Uluwatu, Pura Lempuyang, Pura Andakasa, Pura Goalawah, Pura Pusering Tasik dan
yang lainnya.
Pada
masa Pemerintahan Raja Marakatta dilaksanakanlah penghormatan kepada Maha Rsi
Agastya, sebagaimana disebutkan dalam prasasti tersebut yang berangka tahun 944
Çaka. Adapun kalimatnya berbunyi “Rasa
nikang sapatha Bhatara Puntahyang Hyang Anggasti Maha Rsi purwa satya
daksina….”. Lontar Dwijendra Tattwa menjelaskan bahwa “kedatangan Maha Rsi
Agastya di Bali mengajarkan agama Úiwa”. Selanjutnya dinyatakan bahwa beliau
mengajarkan tentang ilmu gaib (Tantrisme atau Tantra) kepada para raja dan kaum
bangsawan. Ajaran inilah yang sering disebut Aywawera.
Pada
masa pemerintahan Dalem Waturenggong yang berkedudukan di Gelgel tahun
1470-1550 Masehi datanglah Dang Hyang Dwijendra di Bali. Beliau juga disebut
Dang Hyang Nirartha. Kedatangan beliau di Bali melalui Blambangan- Banyuwangi,
mengarungi segara rupek (selat Bali) dan sampailah di Desa Pulaki. Dari sini
beliau melanjutkan perjalanan menuju Desa Gadingwangi, Desa Mundeh, Mengwi,
Kapal, Tuban, Buangan dan sampailah di Desa Mas. Dalem Waturenggong
memerintahkan Ki Gusti Penyarikan Dauh Baleagung untuk mendak Dhang Hyang
Nirartha datang ke Puri Gelgel menjadi Purohita Kerajaan.
Dang
Hyang Nirartha banyak mengajarkan pengetahuan agama kepada para raja dan
masyarakat Bali.
1) Ilmu
tentang pemerintahan.
2) Ilmu
tentang peperangan (Dharmayuddha).
3) Pengetahuan tentang
smaragama (cumbwana karma)
ajaran tentang pertemuan smara
laki dan perempuan.
4) Ajaran
tentang pelaksanakaan mamukur, maligia, dan mahasraddha.
Sejak
kedatangan beliau (Dhang Hyang Nirartha) dari Jawa ke Bali dan setelah lama
menjadi Purohita di Puri Gelgel, seizin Raja Dalem Waturenggong akhirnya Dang
Hyang Nirartha berasrat untuk melanjutkan mengadakan perjalanan suci mengelilingi
Bali. Dari Puri Gelgel beliau berjalan menuju Pura Rambut Siwi dan selanjutnya
menuju Pura Uluwatu – Bukit Gong – Bukit Payung – Sakenan – Air Jeruk – Tugu –
Genta Samprangan – Tengkulak – Goa Lawah – Pojok Batu – Pengajengan – Masceti –
Peti Tenget dan tempat suci lainnya serta akhirnya beliau dinyatakan moksa di
Pura Luhur Uluwatu (Dwijendra Tattwa, 1993: 35).
Berdasarkan
data tersebut di atas sangatlah besar jasa Dhang Hyang Nirartha di Bali. Beliau
telah mengajarkan tata cara pemerintahan, keagamaan, arsitektur, kesusasteraan,
pembimbing masyarakat, tatacara pembangunan pelinggih Padmasana untuk pemujaan
Sang Hyang Widhi dan yang lainnya dalam rangka mempermulia keimanan umat
manusia.
Prasasti
Bendosari yang berangka tahun 1272 Çaka ada memuat kata-kata “Bhairawa, Sora,
dan Budha”. Prasasti ini diprediksi sudah ada pada masa pemerintahan Raja Hayam
Wuruk di Jawa. Hal ini memberikan indikasi bahwa Raja Hayam Wuruk juga sebagai
pemuja sakti, surya dan budha. Sedangkan R. Goris dalam bukunya sekte-sekte di
Bali, menyebutkan bahwa Agama Hindu berkembang di Bali dengan berbagai sekte.
Disebutkan ada sembilan sekte yang mendominasi, diantaranya; Sekte Siwa
Siddhanta-Pasupata-Bhairawa- Wesnawa-Bodha/Sogata, Brahma-Rsi-Sora dan Ganesa.
Keberadaan berbagai Sekte tersebut sampai sekarang masih hidup dan berkembang
serta luluh menyatu menjadi Siwa-Siddhanta.
Perkembangan
agama Hindu boleh dikatakan tumbuh dan berkembang dengan subur di Indonesia
sejak abad permulaan sampai akhir abad ke 15. Pada abad ke 14 masehi mengalami
puncak keemasan pada masa kejayaan pemerintahan Majapahit di Jawa. Sedangkan
abad ke 15 masehi pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali. Tiga
setengah abad berikutnya yakni pada masa pemerintahan penjajah abad ke 19
Masehi keberadaannya mengalami kekurang beruntungan. Disekitar tahun 1927
Masehi oleh penjajah, pustaka Hukum Catur Agama dirubah menjadi pasuara Residen
Bali-Lombok. Kitab Hukum Dharma Sastra dijadikan hukum Adat, Pengadilan Agama
dijadikan Raad Van Kerta, dan Desa Adat “Pekraman” yang berfungsi sebagai
lembaga agama masyarakat disandingkan dengan Desa Dinas. Tahun 1938 Masehi
pemerintah Belanda mengubah sistem pemerintahan di Indonesia “Bali” menjadi dua
kelompok:
1) Kaula
Swapraja yaitu pemerintahan kerajaan dengan menerapkan sistem keadilan Raad Van
Kerta.
2) Kaula
Guperman yaitu pemerintahan penjajah dengan menerapkan sistem keadilan lembaga
landra sebagai lembaga keadilan masyarakat.
Kedua
sistem ini sangat kurang menguntungkan terhadap tumbuh kembangnya kehidupan
beragama “Hindu” di Indonesia. Sejak awal abad ke 20 (17 Agustus 1945) Negara
Kesatuan Republik Indonesia diproklamasikan, setelah itu kehidupan agama ditata
berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2. Ini berarti bahwa
kehidupan beragama Hindu” di Indonesia telah memiliki kekuatan hukum yang
pasti. Seiring dengan itu maka;
1) Pada
tanggal 3 Januari 1946 terbentuklah Departemen Agama, yang bertugas menata
kembali kehidupan beragama di Indonesia.
2) Tahun
1950 diberlakukanlah Undang-Undang Nomor 44 tahuin 1950 tentang Pemerintahan
Otonom. Pemerintah Bali mulai mengadakan pembinaan kepada umat Hindu, seperti
tentang perayaan Hari Nyepi, pemeliharaan Pura Besakih dan yang lainnya.
3) Tanggal
21-23 Februari 1959 diselenggarakanlah Pesamuhan Agung Bali bertempat di Gedung
Fakultas Sastra Universitas Udayana yang dihadiri oleh pejabat pemerintah yang
terkait, pemuka agama dan lembaga agama yang ada pada waktu itu. Yang akhirnya
memutuskan untuk membentuk lembaga tertinggi umat Hindu yang disebut Parisada
Hindu Dharma Bali.
4) Tanggal 4
Juli Yayasan Dwijendra
Denpasar mendirikan Sekolah Pendidikan Guru Agama Hindu Bali.
Pada tahun 1968 sekolah ini dijadikan Sekolah Pendidikan Guru Agama Hindu
Negeri. Sejak itu berdirilah sekolah yang sejenis sampai ke Mataram (Lombok)
dan Blitar (Jawa).
5) Tanggal 6
Juli 1960 Pemerintah
Bali menetapkan hari
raya; Nyepi, Galungan, Kuningan,
Saraswati dan Pagerwesi sebagai hari libur daerah Bali.
6) Tanggal
17-23 Nopember 1961 dilaksanakanlah Pesamuhan di Campuhan Ubud, mengasilkan
Keputusan yang dikenal dengan sebutan Piagam Campuhan Ubud.
7) Tanggal
3 Oktober 1963 berdirilah Lembaga Tinggi Pendidikan Agama Hindu yang disebut
Maha Widya Bhuwana Institut Hindu Dharma, sekarang UNHI.
8) Tanggal
7-10 Oktober 1964 dilaksanakanlah Mahasabha I dengan hasil; memutuskan PHDI
bersidang setiap 4 tahun sekali. PHD Bali menjadi PHD Indonesia.
9) Tanggal
3-5 September 1992 di Denpasar telah dilaksanakan pertemuan PHD sedunia yang
disebut “World Hindu Fodaration Meeting for Peace Humanity.
Karya
sastra peninggalan kerajaan Hindu berbentuk kakawin atau kitab. Kitab- kitab
peninggalan itu berisi catatan sejarah. Umumnya karya sastra peninggalan
sejarah Hindu ditulis dengan huruf Pallawa dalam bahasa Sansekerta pada daun
lontar. Karya sastra yang terkenal antara lain Kitab Baratayuda dan Kitab
Arjunawiwaha. Kitab Baratayuda dikarang Empu Sedah dan Empu Panuluh. Kitab
Baratayuda berisi cerita keberhasilan Raja Jayabaya dalam mempersatukan
Kerajaan Kediri dan Kerajaan Jenggala. Kitab Arjunawiwaha berisi pengalaman
hidup dan keberhasilan Raja Airlangga. Berikut ini daftar kitab-kitab
peninggalan sejarah Hindu di Indonesia.
No. Nama Kitab Lokasi Penemuan Pembuatan Peninggalan
1 Carita Parahayangan Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara
2 Kresnayana Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara
3 Arjunawiwaha Kahuripan, Jatim Abad ke-10
M Medang Kemulan
4 Lubdaka Kediri, Jatim Abad ke-11 M Kediri
5 Baratayuda Kediri, Jatim Abad ke-12 M Kediri
Tradisi:
Tradisi
adalah kebiasaan nenek moyang yang masih dijalankan oleh masyarakat saat ini.
Tradisi agama Hindu banyak ditemukan di daerah Bali karena penduduk Bali
sebagian besar beragama Hindu. Tradisi agama Hindu yang berkembang di Bali,
antara lain:
1) Upacara
nelubulanin ketika bayi berumur 3 bulan.
2) Upacara
potong gigi (mapandes).
3) Upacara
pembakaran mayat yang disebut Ngaben. Dalam tradisi Ngaben, jenazah dibakar
beserta sejumlah benda berharga yang dimiliki orang yang dibakar.
6) Nusa Tenggara Barat
Perkembangan
agama Hindu di NTB (Lombok) dapat kita ketahui dari perjalanan suci
“dharmayatra” Dhang Hyang Nirartha. Beliau dikenal dengan sebutan Pangeran
Sangupati. Banyak peninggalan tempat suci dan sastra Hindu yang dapat
kitapergunakan sebagai reprensi bahwa Hindu pada jaman itu telah berkembang
sampai di Nusa Tenggara Barat. Keberadaan agama Hindu di NTB juga tidak
terlepas dari peran serta kekuasaan raja-raja Karangasem pada masa itu.
7) Nusa Tenggara Timur
Masyarakat
Nusa Tenggara Timur “Sumbawa” sampai saat ini masih mengenal sebutan Tuan
Semeru. Nama Tuan Semeru adalah sebutan dari Dhang Hyang Nirartha. Hal ini
memberikan indikasi bahwa beliau pernah menyebarkan ajaran Hindu ke daerah ini.
Sekarang keberadaan agama Hindu di daerah ini kembangkan kembali oleh para
transmigrasi asal Bali.
8) Sulawesi
Perkembangan
Agama Hindu di Sulawesi diprediksi sudah ada sejak abad ke 3 Masehi. Hal ini
ditandai dengan penemuan patung Budha yang terdapat di daerah Goa yang
diperkirakan pembuatan sejaman dengan patung-patung Budha yang ada di India
(R.Soekmono,1973:82). Tidak banyak yang bisa kita kemukakan dengan penemuan
ini. Selanjutnya dapat dinyatakan bahwa perkembangan Agama Hindu tumbuh subur
di wilayah ini sebagai akibat dari adanya masyarakat transmigrasi yang berasal
dari Bali dan sekitarnya.
9) Papua
Tidak
jauh berbeda dengan daerah Sulawesi, bahwa perkembangan ke-Hindu an yang ada di
Papua disebabkan oleh karena adanya masyarakat transmigrasi. Di samping itu,
juga karena adanya penduduk yang mendapatkan tugas-tugas tertentu di daerah
ini.
Demikian peradaban Hindu di Indonesia, yang menurut penuturan
sejarah Indonesia, di mulai dari Kalimantan, Jawa, Bali, Sumatera, dan daerah
yang lainnya. Runtuhnya Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu, peradaban agama
Hindu dimulai kembali dari Bali yang telah menganut paham Hindu sejak Maha Rsi
Markhandeya datang di Bali sampai sekarang.
D. Pelestarian Peninggalan Budaya Agama Hindu di
Indonesia
Kata ‘pelestarian’ berasal dari
kata ‘lestari’ berarti tetap seperti keadaan semula; tidak berubah; bertahan;
kekal (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim: 2001). Melestarikan
adalah menjadikan (membiarkan) tetap tidak berubah; membiarkan tetap seperti
keadaan semula; mempertahankan kelangsungannya. Pelestari adalah orang yang
menjaga sesuatu (hewan, hutan, lingkungan, warisan, budaya) dan sebagainya agar
tetap lestari. Pelestarian adalah proses, cara, perbuatan melestarikan;
perlindungan dari kemusnahan atau kerusakan; pengawetan; konservasi sumber-sumber alam; pengelolaan
sumber daya alam
yang menjamin pembuatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan
persediannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya.
Pelestarian peninggalan budaya
Agama Hindu berarti proses, cara, perbuatan melestarikan; perlindungan dari
kemusnahan atau kerusakan; pengawetan; konservasi peninggalan budaya Agama
Hindu; pengelolaan peninggalan budaya Agama Hindu yang menjamin pembuatannya
secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Menjadi
kewajiban umat sedharma pada kususnya (Indonesia) dan umat sejagat raya ini
pada umumnya, untuk mewujudkan pelestarian peninggalan budaya Agama Hindu yang
diwariskan oleh putra-putri anak bangsa ini dari masa lampau. Pemikiran,
pernyataan, sifat dan sikap anak-anak bangsa yang demikian adalah wujud dari
putra-putri yang berhati mulia. Kita semua patut bersyukur kehadapan- Nya,
karena berkesempatan dianugrahkan anak-anak bangsa menjadi pelestari dari
budaya Agama Hindu.
Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) kita ini memiliki banyak dan beraneka corak, ragam dan sifat
benda-benda peninggalan sejarah. Benda- benda itu merupakan warisan masa lampau
yang sangat berharga dari leluhur anak bangsa ini. Benda-benda itu menjadi
milik negara, menjadi milik seluruh rakyat Indonesia. Benda-benda peninggalan
sejarah yang patut menjadi kebanggaan Bangsa Indonesia, seperti; Yupa,
Prasasti, Karya sastra dan seni, Candi (Prambanan, Borobudur, Penataran), Pura
(Besakih), dan yang lainnya. Sepertinya tak terbayangkan oleh kita, sejak abad
ke 4 sampai dengan abad ke 9 bangsa kita
sudah mampu membuat bangunan semegah, indah dan suci seperti itu. Tidak ada
kata yang dapat menggantikan kemegahan, keindahan, dan kesuciannya. Sudah
sepatutnya kita bersikap hormat dan menghargai benda-benda peninggalan sejarah
dan budaya agama kita.
Berikut beberapa langkah yang
dapat dilakukan dalam upaya pelestarian peninggalan agama Hindu :
1. Merawat
dan menjaga pelestarian peninggalan Agama Hindu di Indonesia
Banyak
benda peninggalan dan warisan sejarah budaya Agama Hindu di Indonesia yang
sudah berusia ratusan atau bahkan ribuan tahun. Tak heran benda-benda tersebut
banyak pula yang sudah rapuh dan rusak. Bila tidak dirawat dengan baik bisa
rusak hancur dan menghilang. Merawat benda-benda peninggalan dan warisan budaya
Agama Hindu di Indonesia merupakan tugas kita semua. Tapi penanggung-jawab
utamanya adalah negara (pemerintah yang sedang berkuasa). Cara menjaga dan
merawat antara lain sebagai berikut
a. Membangun
museum-museum untuk penyimpanan benda-benda dan warisan sejarah budaya Agama
Hindu di Indonesia.
b. Menjadikannya
cagar budaya sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan, benda-benda budaya
bernafaskan ajaran Agama Hindu.
c. Menjaga dan
merawat wilayah atau
daerah-daerah cagar budaya benda-benda yang bernafaskan agama
Hindu dengan sebaik mungkin. Di daerah cagar budaya biasanya terdapat banyak
benda-benda peninggalan berbudaya Agama Hindu.
d. Turut
menjaga agar benda-benda peninggalan budaya Agama Hindu tidak dirusak atau
dirusak oleh barisan orang yang tidak bertanggung- jawab. Benda-benda
peninggalan sejarah harus diamankan dari tangan- tangan jahil.
2. Mengunjungi tempat-tempat
pelestarian peninggalan warisan
benda- benda sejarah budaya Agama Hindu di Indonesia
Sudah atau belum pernahkah di antara kita
mengunjungi tempat-tempat pelestarian peninggalan warisan benda-benda sejarah
dan budaya agama Hindu di Indonesia? Kalau memang sudah, lanjutkanlah upaya dan
usaha mulia yang sudah dilaksanakan itu untuk diri pribadinya dan juga untuk
generasi selanjutnya. Bila sekiranya belum, cobalah melakukannya. Amatilah
dengan baik, benda-benda apa saja yang terdapat di sana. Sebab mengunjungi
tempat-tempat pelestarian peninggalan warisan benda-benda sejarah dan budaya
Agama Hindu termasuk salah satu cara mewujudkan rasa bhakti, hormat, rasa
memiliki, dan menghargai-nya. Diatara kita bisa mengunjungi tempat pelestarian
peninggalan warisan benda-benda sejarah dan budaya Agama Hindu setempat
lainnya, seperti;
a. Candi;
b. Makam
pahlawan/kuburan nenek-moyang;
c. Monumen, dan
yang lainnya.
3. Bersembahyang di
tempat-tempat suci “Pura”
sebagai tempat suci peninggalan sejarah dan budaya Agama
Hindu dari nenek-moyang bangsa Indonesia
Tempat
suci umat sedharma ‘Hindu’ disebut dengan nama “Pura”. Kata Pura dalam Kamus
besar bahasa Indonesia berarti; kota; istana; negeri (spt.Indrapura); tempat
beribadat (bersembahyang) umat Hindu Dharma. Sudahkah di antara kita umat
sedharma memungsikan ‘Pura’ sebagai tempat bersembahyang setiap saat atau 3
(tiga) kali dalam sehari. Umat Hindu memiliki banyak “ribuan” tempat suci yang
dapat dipergunakan sebagai sarana untuk menghubungkan diri (jasmani dan rohani)
kehadapat Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, kapan dan dimana saja
sedang berada sesuai dengan tata-tertib bersembahyang. Terbiasa atau belum
biasakah diantara kita bersembahyang di tempat-tempat suci (Pura) sebagai
peninggalan warisan sejarah dan budaya Agama Hindu Indonesia untuk mengadakan
kontak dengan-Nya? Bilamana sudah, lanjutkanlah upaya dan usaha mulia nan suci
itu untuk pribadi pribadi, teman sejawat dan juga untuk generasi selanjutnya.
Bila sekiranya belum, mulailah untuk
melakukannya! Tidak ada
peraturan prasasti yang melarang
mu untuk memulai, berusaha dan berupaya berhubungan dengan Sang Pencipta
beserta dengan prabhawanya yang patut kita muliakan dan sucikan dalam
kesempatan hidup ini dimanapun kita sedang berada. Amatilah dengan baik
tempat-tempat suci untuk memuja siapa saja yang terdapat di sekitarnya. Sebab
datang mengadap (tangkil) ke tempat-tempat suci yang ada di lingkungan sekitar
kita, yang tetap terjaga sampai saat ini kelestarian dan kesuciannya, sebagai
peninggalan warisan sarana bersejarah dan berbudaya dalam Agama Hindu adalah
termasuk salah satu cara untuk mewujudkan rasa bhakti, hormat, rasa memiliki,
dan menyucikan-nya. Diataranya, kita wajib bersembahyang di tempat-tempat suci,
seperti;
1) Merajan/sanggah;
2) Pura Kawitan;
3) Pura Paibon;
4) Pura Dadiya/Panti;
5) Pura Kahyangan Tiga;
6) Pura Padarman;
7) Pura Dhang Kahyangan;
8) Pura Kahyangan Jagat; dan yang
lain-lainnya.
4. Melarang atau
tidak memberikan izin
kepada orang-orang/individu/
kelompok yang hanya memiliki kepentingan
sesaat atau tidak bertanggung-jawab untuk mengelola
tempat-tempat pelestarian sejarah dan budaya peninggalan Agama Hindu di
Indonesia. Karena tidak tertutup kemungkinan di antara mereka dapat
menyalah-gunakan pemanfaatannya, seperti menghalalkan segala cara, menafikan
sejarah dan budaya bangsanya. Bila kondisi seperti ini dibiarkan terjadi secara
berkesinambungan maka degradasi moral tentu dapat terjadi, dan akhirnya bangsa
ini tinggal menunggu kehancuran.
E. Kontribusi Kebudayaan Hindu dalam
Pembangunan Nasional dan Parawisata Indonesia Menuju Era Globalisasi
Bahasa (budaya) menunjukkan
bangsa, demikian para budayawan menyatakan. Brandes (Blanda) tahun 1884 M.
menerangkan bahwa bangsa- bangsa di seluruh kepulauan Indonesia mulai dari
pulau Formosa di sebelah utara, dan Madagaskar di sebelah barat, tanah Jawa,
Bali dan seterusnya disebelah selatan, sampai ke tepi Amerika pada jaman dahulu
berbahasa satu. H. Kern (Blanda) tahun 1889 M. mengadakan penyelidikan bahasa
di kepulauan Indonesia, menyatakan penduduk kepulauan Indonesia berbahasa
Tjempa (tanah Annam; sekarang). Sampai tahun 1500 SM bangsa Indonesia masih
berkumpul di Tjempa, karena desakan bangsa lain (orang Asia tengah), lalu mereka
berpindah ke Kamboja, ke Thailand dan ke Malaka. Dari Malaka berpindah ke
Sumatera, Borneo (Kalimantan), Jawa dan sebagainya. Sampai pada permulaan
masehi bangsa-bangsa ‘Hindu’ tersebut sudah ada di Borneo (Kutai) yang dari
padanya baru diketahui ada ke’Hindu’an tahun 400 Masehi (abad ke 4 M) di Borneo
Timur (Kutai) dan Jakarta. Tulisan yang terdapat di Kutai berbunyi sebagai
berikut;
“Sang Maharaja
Kundunga, yang amat mulia, mempunyai putra yang mashur, Sang Acwawarman
namanya, yang seperti sang ancuman (Deva matahari) menumbuhkan keluarga yang
sangat mulia. Sang Acwawarman mempunyai putra tiga, seperti api (yang suci)
tiga. Yang terkemuka dari ke tiga putra itu ialah Sang Mulawarman, raja yang
berperadaban baik, kuat dan kuasa. Sang Mulawarman telah mengadakan kenduri
(selamatan yang dinamakan) emas amat banyak. Buat peringatan kenduri
(selamatan) itulah tugu batu ini didirikan oleh para Brahmana”
(Purbatjaraka, R.M.Ng. 1968).
Sebagai anak bangsa Indonesia
sudah sepantasnya kita bersyukhur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang
Maha Esa, karena telah dilahirkan, dipelihara/dibesarkan menjadi insan-insan
yang beragama dan berbudaya. Berangkat dari pemikiran Dr. H. Kern, dapat
disimak bahwa Bangsa Indonesia di lahirkan oleh nenek moyang-nya yang religius,
berbudaya sesuai dengan zamannya. Hindu yang disebut-sebut sebagai agama tertua
di dunia menurut penuturan sejarah, memiliki benang merah dengan keberadaan
nenek moyang Indonesia. Oleh karena
panjangnya perjalanan yang
dilalui maka sangat wajar memiliki beraneka macam bentuk,
sifat dan ciri khas peninggalan kebudayaan yang dimilikinya termasuk karya
sastra.
Berdasarkan fakta-fakta sejarah
Indonesia dengan peninggalan benda-benda budaya yang bernafaskan ke’Hindu’an
dengan yang ada, dapat dinyatakan Agama Hindu memiliki kontribusi yang besar
terhadap pembangunan pariwisata Indonesia menuju era global. Kontribusi yang
dimaksud antara lain;
1. Pariwisata
alam; Indonesia dikenal oleh dunia memiliki sumber daya alam yang kaya dan
indah bernafaskan ke-Hinduan. Keindahan alam Indonesia mejadi daya tarik
tersendiri bagi wisatawan dunia untuk berkunjung ke Indonesia. Atas kunjungan
itu sudah menjadi kewajiban bangsa dan negara kita menyiapkan fasilitas yang
memadai, seperti; transportasi (jalan dan angkutan) umum dan khusus, gedung
atau rumah- rumah penginapan beserta fasilitasnya, makanan dan minuman sesuai
kebiasaannya, jasa pelayanan (harus mengetahui dan fasih berbahasa asing),
keamanan dan kenyamanan para wisatawan dalam berwisata, administrasi yang
akurat/jelas (tidak berbelit-belit atau membingungkan) dan lainnya. Bangsa
Indonesia lebih dari wajar harus memelihara kelestarian alamnya sebagaimana
mestinya. Realisasi dari wisata alam ini dapat memberikan pendapatan negara
yang juga dapat meningkatkan kesejahteraan bangsa ini. Ajaran Hindu yang
bersifat kreatif mengantarkan bangsa ini bebas dari kemiskinan material dan
rohani.
2. Wisata
budaya; Budaya anak Bangsa Indonesia melahirkan kebudayaan. Dari berbagai macam
suku bangsa yang ada di Indonesia berbuah beraneka- macam kebudayaanya yang
dapat dikonsumsi oleh para wisatawan yang berkunjung ke Indonesia. Hindu
sebagai agama tertua di dunia termasuk di Indonesia, menjiwai kebudayaan anak
bangsa ini sehingga semuanya itu menjadi hidup “metaksu”. Kebudayaan yang
‘metaksu’ menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan (lokal dan asing) untuk
menikmatinya. Semuanya itu lagi-lagi dapat menambah pendapatan negara dan
daerah yang dikunjunginya. Berikut ini beberapa bentuk dari pariwisata budaya
sumbangan Agama Hindu yang dapat disajikan antara lain;
a. Candi
1) Candi Jabung
Candi Hindu ini
terletak di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Struktur bangunan candi yang
terbuat dari bata merah ini mampu bertahan
ratusan tahun. Menurut kitab Nagarakertagama Candi Jabung
di sebutkan dengan
nama Bajrajinaparamitapura.
Kitab
Nagarakertagama juga menyebutkan bahwa Candi Jabung pernah dikunjungi oleh Raja
Hayam Wuruk dalam lawatannya keliling Jawa Timur pada tahun 1359 Masehi. Pada
kitab Pararaton disebut Sajabung yaitu tempat pemakaman Bhre Gundal salah
seorang keluarga raja. Arsitektur bangunan
candi ini hampir serupa dengan Candi Bahal yang ada di
Bahal, Sumatera Utara.
2) Candi Tikus
Candi ini
terletak di kompleks Trowulan, sekitar 13 km di sebelah tenggara kota
Mojokerto. Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam tanah ditemukan kembali
pada tahun 1914. Penggalian situs dilakukan berdasarkan laporan bupati
Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro, tentang ditemukannya miniatur candi di
sebuah pekuburan rakyat.
Pemugaran secara
menyeluruh dilakukan pada tahun 1984 sampai dengan 1985.
Nama ‘Tikus’ hanya merupakan sebutan yang digunakan
masyarakat setempat. Konon, pada saat ditemukan, tempat candi tersebut berada
merupakan sarang tikus.
3) Candi Dieng
Secara
administratif dataran tinggi Dieng (Dieng Plateau) berada di lokasi wilayah
kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Dataran
tinggi Dieng (Dieng Plateau) berada pada ketinggian kurang lebih 2088 m dari
permukaan laut dengan suhu rata-rata 13-17 C, Dataran tinggi Dieng merupakan
dataran yang terbentuk oleh kawah gunung berapi
yang telah mati. Bentuk kawah jelas terlihat dari dataran yang terletak
di tengah dengan dikelilingi oleh bukit-bukit. Sebelum menjadi dataran, area ini
merupakan danau besar yang kini tinggal bekas- bekasnya berupa telaga.
Bekas-bekas kawah pada saat ini, kadang- kadang masih menampakan aktivitas
vulkanik, misalnya pada kawah Sikidang. Disamping itu juga aktivitas vulkanik,
yang berupa gas/uap panas bumi dan dialirkan melalui pipa dengan diameter yang
cukup besar, dan dipasang di permukaan tanah untuk menuju ke lokasi tertentu
yang berada cukup jauh dari lokasi pemukiman penduduk dan dimanfaatkan untuk Pembangkit Tenaga Listrik
Panas Bumi. Dengan kondisi topografi, pemandangan alam yang indah dan
situs-situs peninggalan purbakala yang berupa candi, sehingga Dataran Tinggi
Dieng mempunyai potensi sebagai tempat rekreasi dan sekaligus obyek peninggalan
sejarah Hindu yang indah.
Dataran Tinggi
Dieng pandang sebagai suatu tempat yang
memiliki kekuatan misterius, tempat bersemayamnya arwah para leluhur, sehingga
tempat ini dianggap suci. Dieng berasal dari kata Dihyang yang artinya tempat
arwah para leluhur. Terdapat beberapa komplek candi di daerah ini, komplek
Candi Dieng dibangun pada masa Agama Hindu, dengan peninggalan Arca Deva
Siwa,Wisnu, Agastya, Ganesha dan lain-lainya bercirikan Agama Hindu.
Candi-candi yang berada di dataran tinggi Dieng diberi nama yang berhubungan
dengan cerita atau tokoh-tokoh wayang Purwa dalam lokan Mahabarata, misalnya
candi Arjuna, candi Gatotkaca, candi Dwarawati, candi Bima, candi Semar, candi
Sembadra, candi Srikandi dan candi Punta Deva. Nama candi tersebut tidak ada
kaitannya dengan fungsi bangunan dan diperkirakan nama candi tersebut diberikan
setelah bangunan candi tersebut ditinggalkan atau tidak digunakan lagi. Siapa
yang membangun candi tersebut belum dapat dipastikan, dikarenakan informasi yang terdapat di 12 prasasti batu
tidak ada satupun yang menyebutkan siapa tokoh yang membangun candi religius
ini.
4) Candi Cetho
Candi Cetho
adalah sebuah candi bercorak Agama Hindu, yang merupakan peninggalan masa
akhir pemerintahan Majapahit (abad
ke-15). Laporan ilmiah pertama tentang keberadaan candi Cetho
dibuat oleh Van de
Vlies pada tahun 1842. Masehi A.J. Bernet Kempers juga
melakukan penelitian yang berhubungan dengan keberadaan candi ini.
Ekskavasi atau penggalian untuk kepentingan rekonstruksi
candi ini dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia
Belanda.
Berdasarkan
keadaannya ketika itu, pada reruntuhan Candi Cetho diteliti dan diketahui bahwa
usianya tidak jauh dengan Candi Sukuh. Lokasi candi berada di Dusun Ceto, Desa
Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Candi Cetho berada pada
ketinggian 1400 m di atas permukaan laut. Candi ini patut dikunjungi oleh umat
sedharma untuk mengetahui keberadaannya.
5) Candi Sukuh
Merupakan sebuah
kompleks candi Agama Hindu yang terletak di wilayah Kabupaten Karanganyar, Jawa
Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya objek
pujaan lingga dan yoni. Candi Sukuh ini tergolong kontroversial karena
bentuknya yang kurang lazim dan karena
banyaknya objek-objek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas. Candi
Sukuh telah diusulkan
ke UNESCO untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia
sejak tahun 1995.
6) Candi Surawana
Merupakan candi
Hindu yang terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, sekitar
25 kilometer arah timur laut dari Kota Kediri. Candi Surawana juga dikenal
dengan nama Candi Wishnubhawanapura. Candi ini diperkirakan dibangun pada abad
14 Masehi, untuk memuliakan Bhre Wengker, yang dikenal sebagai seorang raja
dari Kerajaan Wengker yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Raja Wengker ini
mangkat pada tahun 1388 M. Dalam Negarakertagama diceritakan bahwa pada tahun
1361 Raja Hayam Wuruk dari Majapahit pernah berkunjung bahkan menginap di Candi
Surawana. Candi Surawana saat ini keadaannya sudah tidak utuh. Hanya bagian
dasar yang telah direkonstruksi. Untuk menghormati jasa para pendahulu negara
kita, candi ini sebaiknya dilanjutkan rekonstruksinya sehingga menjadi utuh dan
tetap lestari keberadaannya dalam rangka mewujudkan pariwisata berwawasan budaya.
7) Candi Gerbang Lawang
Dalam bahasa
Jawa, Wringin Lawang berarti ‘Pintu Beringin’. Gapura agung ini terbuat dari
bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter.
Diperkirakan dibangun pada abad ke-14 Masehi.
Candi Gerbang ini
lazim disebut bergaya candi bentar atau tipe gerbang terbelah. Gaya
arsitektur seperti ini diduga muncul pada era Majapahit dan kini
banyak ditemukan dalam arsitektur Bali.
b. Karyasastra
Indonesia
memiliki banyak pujangga besar pada masa pemerintahan raja-raja di nusantara
ini. Para pujangga pada masa itu tergolong varna Brahmana yang memiliki
kedudukan sebagai purohita kerajaan. Banyak karya sastra yang ditulis oleh
pujangga kerajaan. Kekawin Ramayana ditulis oleh Mpu Yogiswara. Dalam satu bait
karya beliau menjelaskan sebagai berikut;
“Bràhmana ksatryàn padulur, jàtinya paras
paropasarpana ya, wiku tan panatha ya hilang, tan pawiku ratu wiçîrna.
Terjemahan:
“Sang Brahmana
dan sang Ksatria mestinya rukun, jelasnya mesti senasib sepenanggungan tolong
menolong, pendeta tanpa raja jelas akan kerusakan, raja tanpa raja tentu akan
sirna, (Ramayana Kekawin, I.49).
Dalam
karya ini Mpu Yogiswara ingin mengajarkan bagaimana pentingnya hubungan
harmonis dan timbal-balik antara para raja dengan para
brahmana. Karya sastra
yang lainnya yang
penuh dengan makna tersebar di masyarakat dapat dijadikan penuntun hidup
menghadapi dunia pariwisata di era globalisasi ini, antara lain;
1) Carita
Parahyangan Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara
Carita Parahiyangan
merupakan nama suatu naskah Sunda kuno yang dibuat pada akhir abad ke-16, yang
menceritakan sejarah Tanah Sunda, utamanya mengenai kekuasaan di dua ibukota
Kerajaan Sunda yaitu Keraton Galuh dan Keraton Pakuan. Naskah ini merupakan
bagian dari naskah yang ada pada koleksi Museum Nasional Indonesia Jakarta.
Naskah ini terdiri dari 47 lembar daun lontar ukuran 21 x 3 cm, yang dalam tiap
lembarnya diisi tulisan 4 baris. Aksara yang digunakan dalam penulisan naskah
ini adalah aksara Sunda (Soeroto. 1970:1650).
Naskah Carita
Parahiyangan menceritakan sejarah
Sunda, dari awal kerajaan Galuh pada zaman Wretikandayun sampai
runtuhnya Pakuan Pajajaran (ibukota Kerajaan Sunda akibat serangan Kesultanan
Banten, Cirebon dan Demak.
2) Kresnayana Bogor, Jabar Abad ke-5 M
Tarumanegara
Kakawin
Kresnâyana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuno karya Mpu Triguna, yang
menceritakan pernikahan prabu Kresna dan penculikan calonnya yaitu Rukmini.
Singkat, ceritanya sebagai berikut. Devi Rukmini, putri Prabu Bismaka di negeri
Kundina, sudah dijodohkan dengan Suniti, raja negeri Cedi. Tetapi ibu Rukmini,
Devi Pretukirti lebih suka jika putrinya menikah dengan Kresna. Maka karena
hari besar sudah hampir tiba, lalu Suniti dan Jarasanda, pamannya, sama-sama
datang di Kundina. Pretukirti dan Rukmini diam-diam memberi tahu Kresna supaya
datang secepatnya. Kemudian Rukmini dan Kresna diam-diam melarikan diri. Mereka
dikejar oleh Suniti, Jarasanda dan Rukma, adik Rukmini, beserta para bala
tentara mereka. Kresna berhasil membunuh semuanya dan hampir membunuh
Rukma namun dicegah oleh Rukmini. Kemudian mereka pergi
ke Dwarawati dan melangsungkan pesta pernikahan. Kakawin Kresnâyana ditulis
oleh Mpu Triguna pada saat prabu Warsajaya memerintah di Kediri pada kurang
lebih tahun 1104 Masehi (Yamin, Muhammad. 1975 : 29).
3) Arjunawiwaha
Kahuripan, Jatim Abad
ke-10 M Medang Kamulan
Kakawin Arjunawiwāha
adalah kakawin pertama yang berasal dari Jawa Timur. Karya sastra ini ditulis
oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga, yang memerintah di Jawa
Timur dari tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi. Sedangkan kakawin ini
diperkirakan digubah sekitar tahun 1030.
Kakawin ini
menceritakan sang Arjuna ketika
ia bertapa di gunung Mahameru. Lalu ia diuji oleh para
Deva, dengan dikirim tujuh bidadari. Bidadari ini diperintahkan untuk
menggodanya. Nama bidadari yang terkenal adalah Devi Supraba dan Tilottama.
Para bidadari tidak
berhasil menggoda Arjuna, maka
Batara Indra datang sendiri
menyamar menjadi seorang
brahmana tua. Mereka berdiskusi soal agama dan Indra menyatakan jati
dirinya dan pergi. Lalu setelah itu ada seekor babi yang datang mengamuk dan Arjuna
memanahnya. Tetapi pada
saat yang bersamaan ada seorang
pemburu tua yang datang dan juga memanahnya. Ternyata pemburu ini adalah batara
Siwa. Setelah itu Arjuna diberi tugas untuk membunuh Niwatakawaca, seorang
raksasa yang mengganggu kahyangan. Arjuna berhasil dalam tugasnya dan diberi
anugerah boleh mengawini tujuh bidadari ini (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan
Jawa: 15).
4) Lubdhaka
Kediri, Jatim Abad ke-11 M Kediri
Kakawin ini
ditulis dalam bahasa Jawa Kuno oleh mpu Tanakung pada paruh kedua Abad ke 15.
Dalam kakawin ini diceritakan bagaimana seseorang yang berdosa besar sekalipun
dapat mencapai surga. Dikisahkan bagaimana Lubdhaka seorang pemburu sedang
berburu di tengah hutan. Tetapi sudah lama ia mencari-cari buruan, tidak dapat.
Padahal hari mulai malam. Supaya tidak diterkam dan menjadi mangsa binatang
buas, ia lalu memanjat pohon dan berusaha supaya tidak jatuh tertidur. Untuk
itu ia lalu memetik daun-daun pohon dan dibuangnya ke bawah. Di bawah ada
sebuah kolam. Kebetulan di tengah kolam ada sebuah lingga dan daun-daun
berjatuhan di atas sekitar lingga tersebut. Lalu malam menjadi hari lagi dan
iapun turun dari pohon lagi.
Selang beberapa
lama iapun melupakan peristiwa ini dan kemudian meninggal dunia. Arwahnya lalu
gentayangan di alam baka tidak tahu mau ke mana. Maka Deva Maut; Batara Yama
melihatnya dan ingin
mengambilnya ke neraka.
Tetapi pada saat yang sama Batara
Siwa melihatnya dan ingat bahwa pada suatu malam yang disebut “Malam Siwa”
(Siwaratri) ia pernah dipuja dengan meletakkan dedaunan di atas lingga,
simbolnya di bumi. Lalu pasukan Yama berperang dengan pasukan Siwa yang ingin
mengambilnya ke surga. Siwapun menang dan Lubdhaka dibawanya ke surga
(Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 32).
5) Baratayuda
Kediri, Jatim Abad ke-12 M Kadiri.
Baratayuda,
adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut perang besar di
Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Kurawa (Mahabharata). Perang ini
merupakan klimak dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari
India.
Istilah
Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha (Perang Bharata), yaitu judul sebuah
naskah kakawin berbahasa Jawa Kuno yang ditulis pada tahun 1157 Masehi oleh Mpu
Sedah dan Mpu Panuluh atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan
Kediri. Karya ini
merupakan gubahan dari
Mahabarata. Isi dari kitab ini
menjelaskan peperangan dari darah bharata yaitu Pandawa dan Kurawa, yang
berlangsung 18 hari. Boleh jadi kekawin baratayuda yang ditulis pada masa
Kediri itu sebagai simbolis keadaan perang saudara antara Kerajaan Kediri
dengan Jenggala yang sama-sama keturunan Raja Airlangga. Keadaan perang saudara
itu digambarkan seolah-olah seperti yang tertulis dalam Kitab Mahabarata karya
Vyasa yaitu perang antara Pandawa dan Kurawa yang sebenarnya juga keturunan
Vyasa sang penulis (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 22).
6) Negarakertagama, Majapahit abad ke 14
Masehi.
Merupakan karya
kesusasteraan kuno seiring perkembangan waktu sebagai hasil karya pujangga
jaman Majapahit. Sedangkan dari isinya merupakan uraian sejarah. Isi dari
Kekawin Negarakertagama merupakan uraian sejarah dari Kerajaan Singasari dan
Majapahit dan ternyata sesuai dengan prasasti- prasasti yang ditemukan. Di
dalamnya terdapat pula uraian tentang kota Majapahit, jajahan-jajahan
Majapahit, perjalanan Raja Hayam Wuruk di sebagian Jawa Timur yang dijalin
dengan daftar candi-candi yang ada, upacara craddha yang dilakukan untuk roh
Gayatri dan tentang pemerintahan serta keagamaan dalam zaman Hayam Wuruk.
Negarakertagama merupakan karya Mpu Prapanca tahun 1365 Masehi (Poerbacaraka,
RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 37)
7) Sutasoma
Kekawin Sutasoma
menggunakan bahasa Jawa kuno sehingga dimasukkan dalam kesusasteraan zaman
Majapahit I. Kitab Sutasoma menceritakan tentang seorang anak raja bernama
Sutasoma. Sutasoma, seorang anak raja yang menjadi pendeta Budha. Sutasoma rela meninggalkan
kehidupan duniawi karena taat kepada Agama Buddha. Ia bersedia berkorban untuk
kebahagiaan makhluk hidup. Bahkan diceritakan ia rela dimakan raksasa agar
raksasa tersebut kenyang.
Dalam kitab ini
tergambar adanya kerukunan umat beragama di Majapahit antara umat Hindu dengan
umat Budha. Kalimat Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa tertulis
didalamnya (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 38).
8) Pararaton
Pararaton
termasuk ke- susasteraan jaman Majapahit II. Kitab ini menggunakan bahasa Jawa
tengahan dan berbentuk tembang
atau kidung namun ada pula yang berupa gancaran. Kitab
Pararaton merupakan uraian sejarah, namun kurang dapat dipercaya karena isinya
sebagian besar lebih
bersifat mitos atau dongeng. Selain itu, angka-angka tahun yang ada
tidak cocok dengan sumber sejarah yang lain. Dari kitab ini mula- mula
diuraikan tentang riwayat Ken Arok, yang penuh dengan kegaiban. Raja-raja
Singasari berikutnya juga demikian. Bagian kedua menguraikan Raden Wijaya pada
saat sebagai pengikut Kertanegara sampai menjadi raja Majapahit. Kemudian
diceritakan tentang Jayanegara dan pemberontakan-pemberontakan Rangga Lawe dan
Lembu Sora, serta peristiwa Putri Sunda di Bubat. Pada bagian penutup memuat
daftar raja-raja sesudah Hayam Wuruk (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa:
65).
9) Calon
Arang
Calon Arang
termasuk kesusasteraan kuno yang menggunakan bahasa Jawa tengahan, sehingga
dapat dimasukkan ke dalam jaman Majapahit II. Kitab Calon Arang ini berisi
tentang cerita Calon Arang yang dibunuh oleh Mpu Bharadah atas perintah Raja
Airlangga. Kitab Calon Arang ini juga mengisahkan tentang pemisahan Kerajaan
Kediri oleh Mpu Bharada atas perintah Raja Airlangga (Poerbacaraka, RM. Ng.
Kepustakaan Jawa: 55).
Pada awalnya,
karya sastra ini ditulis di
atas daun lontar yang bila rusak selalu diperbaiki.
Sejalan dengan kemajuan teknologi kemudian diubah menggunakan kertas. Karya
sastra ini bisa berbentuk puisi, kakawin, maupun prosa. Berikut karya sastra
yang bercorak ke-Hindu-an seperti; Kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya, karya
Mpu Panuluh; Kitab Smaradhana, karya Mpu Dharmaja; Kitab Lubdaka dan Kitab Wrtasancaya
karya Mpu Tanakung;
Kitab Sundayana yang mengisahkan
terjadinya peristiwa Bubat, yakni perkawinan yang berubah
menjadi pertempuran; Kitab
Ranggalawe yang menceritakan
pemberontakan Ranggalawe; Kitab Sorandaka yang menceritakan pemberontakan
tentang Lembu Sora; Kitab Usana Jawa yang menceritakan penaklukan Bali oleh
Gajah Mada bersama Arya Damar (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 23).
10). Cerita Panji
Mengisahkan
perkawinan Panji Inu Kertapati, putra raja Kahuripan dengan Galuh Candra
Kirana, putri raja Daha. Perkawinan berlangsung setelah berhasil mengatasi
berbagai kesulitan.
Tradisi
tulisan peninggalan kerajaan-kerajaan Islam yang berupa karya sastra mendapat
pengaruh dari Persia. Namun pengaruh sastra Indonesia dan Hindu juga masih ada.
Pada masa itu munculah hikayat, yakni karya sastra yang kebanyakan berisi
dongeng belaka. Ada pula hikayat berisi cerita sejarah; di pulau Jawa ‘babad’ biasa di Jawa berupa
puisi (tembang) di luar Jawa bisa
berbentuk syair atau prosa. Pertunjukan seni drama biasanya banyak bersumberkan
karya sastra tersebut.
Kesusasteraan
merupakan hasil kebudayaan yang mengandung makna penting menurut sejarah.
Dinyatakan demikian karena dari karya sastra tersebut kita banyak bisa
mengetahui gambaran sejarah dimasa lampau. Menurut waktu perkembangannya
kesusasteraan kuno dapat dibagi menjadi beberapa zaman, diantaranya;
kesusasteraan zaman Mataram (sekitar abad; 9 dan 10 Masehi), zaman Kediri
(sekitar abad; 11 dan 12 Masehi), zaman Majapahit I (sekitar abad; 14 Masehi),
dan zaman Majapahit II (sekitar abad; 15 dan 16 Masehi). Disebutkan terdapat
dua zaman Majapahit karena adanya perbedaan bahasa yang digunakan pada
kesusasteraan tersebut. Zaman Majapahit I menggunakan bahasa Jawa kuno,
sedangkan zaman Majapahit II menggunakan bahasa Jawa tengahan.
Komentar
Posting Komentar