Blog Archive

Categories

Popular Posts

Pages

Langsung ke konten utama

MASA PRASEJARAH DAN SEJARAH AGAMA HINDU

 


A. Kebudayaan   Prasejarah   dan   Sejarah   Agama Hindu

                Zaman pra-sejarah adalah zaman dimana belum dikenalnya tulisan. Zaman prasejarah berlangsung sejak adanya manusia, sekitar ± (dua) juta tahun yang lalu, hingga manusia mengenal tulisan. Untuk mengetahui kehidupan prasejarah, para ahli mempelajari fosil, tentang bagian tubuh binatang, tumbuhan, dan atau manusia yang membatu. Kondisi lingkungan alam pada jaman pra-sejarah sangatlah berbeda dengan lingkungan yang ada sekarang. Hal ini disebabkan karena ketika itu banyak terjadi peristiwa alam, seperti pengangkatan daratan, naik-turunnya air laut, dan kegiatan gunung berapi. Binatang dan tumbuh-tumbuhan yang berukuran besar sangat banyak ragamnya. Binatang dan tumbuhan itu kini sudah banyak yang punah.

                Manusia purba yang hidup pada zaman pra-sejarah dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:

1.     Meganthropus palaeojavanicus: manusia yang paling purba;

2.     Homo erectus atau Pithecanthropus: manusia yang sudah berjalan tegak;

3.     Homo sapiens: manusia purba yang sudah mirip manusia sekarang.

                Ketiga     kelompok     manusia     purba ini    memiliki    masa    perkembangan dan migrasi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Berdasarkan temuan-temuan   fosil   manusia   purba di  berbagai  penjuru  dunia,  kini  para ahli palaeoantropologi dapat menyusun sejarah  makhluk  manusia.  Sejarah yang disusun itu menyangkut proses perkembangan jasmani manusia maupun proses migrasi manusia untuk menghuni seluruh permukaan bumi yang ada ini. Proses penyusunan dan perkembangan tentang jasmani manusia yang dilakukan oleh para ahli palaeoantropologi mengikuti teori evolusi, seperti yang dikemukakan oleh Charles Darwin pada tahun 1859. Menurut temuan fosil pra manusia yang telah ditemukan saat ini, makhluk yang dapat dikatakan sebagai cikal bakal manusia adalah makhluk Australopithecus (kera dari selatan). Jika diamati dari bentuk fosil yang ada, tampak ada 4 (empat) perubahan jasmani dalam makhluk pra-manusia yang sangat menentukan proses evolusi menuju manusia sejati. Melalui proses evolusi inilah manusia kemudian mampu mengembangkan kehidupannya dengan lebih baik dari sebelumnya. Makhluk ini berkembang dengan pola migrasi. Dinyatakan ada 4 (empat) jenis makhluk Australopithecus yang ditemukan di Afrika, seperti; Australopithecus afarensis, Australopithecus africanus, Australopithecus robustus, dan Australopithecus boisei (Soekmono, 1958: 10).

                Menurut pandangan Hindu, manu adalah manusia yang pertama diciptakan oleh Brahman /Ida Sang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa pada masa srsti atau penciptaan. Ciptaan Brahman setelah alam semesta adalah tumbuh- tumbuhan, kemudian binatang, dan setelah itu manusia. Manu yang disebut manusia adalah makhluk yang tersempurna dengan bayu, sabda, dan idep yang dimilikinya. Bayu adalah tenaga yang mengantarkan manusia memiliki kekuatan atau tenaga. Sabda adalah unsur suara yang menyebabkan manusia dapat berbicara atau bertutur kata yang baik dan sopan. Sedangkan idep adalah pikiran, hati, dan rasa yang menyebabkan manusia dapat berlogika. Ketiga unsur utama inilah yang menyebabkan manusia dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk, benar dan salah, boleh dan tidak boleh.  Menurut pandangan Hindu, manusia diciptakan oleh Brahman/Sang Hyang Widhi wasa/Tuhan Yang Maha Esa pada masa srsti. Selanjutnya hidup dan berkembang sesuai dengan budaya dan lingkungan alam sekitarnya.

                Pada zaman migrasi disebutkan ada dua tingkatan masa, yaitu masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana dan tingkat lanjut. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana sering disebut zaman Paleolitik. Masa ini berlangsung sejak (2 juta tahun yang lalu hingga 10.000 tahun sebelum Masehi), yaitu ketika manusia masih hidup berpindah-pindah (nomaden). Pada zaman ini alat yang digunakan adalah kapak batu dan alat serpih.

                Oleh manusia purba, masa migrasi dilanjutkan dengan masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut. Zaman ini juga disebut sebagai zaman maesolitik yang berlangsung sejak (10.000 - 4000 tahun sebelum masehi). Di zaman maesolitik manusia sudah hidup di gua-gua atau di tepi pantai agak menetap. Pada zaman ini manusia purba sudah menggunakan peralatan kapak pendek, kapak Sumatralit, mata panah, dan alat-alat tulang.

                Setelah masa maesolitik kehidupan manusia purba menuju ke masa bercocok tanam. Zaman ini disebut juga zaman Neolitik dan berlangsung sejak (4000-2000 tahun sebelum masehi). Di zaman Neolitik, manusia sudah dapat menanam berbagai jenis tumbuhan dan menernakan hewan. Mereka sudah hidup menetap dan menggunakan alat-alat batu yang sudah diasah halus, seperti kapak persegi dan kapak lonjong. Pada masa inilah manusia tidak lagi menjadi pengumpul makanan (food-gatherer), tetapi juga penghasil makanan (food-producer). Perubahan ini disebut Revolusi neolitik. Mereka percaya pada roh nenek moyang dan mulai mendirikan bangunan megalitik. Di Indonesia, cara bercocok tanam di bawa oleh orang-orang Nusantara yang berbahasa Austronesia dari Taiwan dan Filipina Utara.

                Zaman  Perundagian  disebut  juga  zaman  Logam  Awal  atau  kehidupan masa perundagian yang berlangsung sejak (2000 tahun sebelum masehi sampai dengan abad IV masehi). Sejak zaman Logam Awal  manusia mulai mengenal pembuatan alat-alat dari logam seperti nekara, kapak perunggu, bejana gepeng, dan perhiasan. Budaya ini disebut budaya Dongson. Mereka hidup di perkampungan tetap. Ada kelompok pengrajin benda tertentu dan perdagangan mulai maju. Di masa ini mulai terbentuk golongan masyarakat sebagai; pemimpin, pendeta, orang awam, dan budak. Hasil kebudayaan yang ditemukan pada masa ini adalah;

1.   Kapak  Genggam:  berfungsi  untuk  menggali  umbi,  memotong  dan menguliti binatang.

2.   Kapak Perimbas: berfungsi untuk merimbas kayu, memecahkan tulang, dan sebagai senjata yang banyak ditemukan di Pacitan. Maka Ralph Von Koeningswald menyebutkan kebudayaan Pacitan. Dan pendukung kebudayaan Pacitan adalah jenis Phitecantropus.

3.   Alat-alat dari tulang dan tanduk binatang: berfungsi sebagai alat penusuk, pengorek dan tombak. Benda-benda ini banyak ditemukan di Ngandong, dan sebagai pendukung kebudayaan ini adalah Homo Wajakensis, dan Homo Soloensis. Alat-alat yang dimanfaatkan untuk hidup adalah;

1)     Serpih (flakes) – terbuat dari batu bentuknya kecil, ada juga yang terbuat  dari  batu  induk  (kalsedon)  :  berfungsi  untuk  mengiris daging atau memotong umbi-umbian dan buah-buahan. Pendukung kebudayaan ini adalah Homo soloensis dan Homo wajakensis.

2)     Kapak  Sumatera  (Pebble):  Sejenis  kapak  genggam  yang  sudah digosok, tetapi belum sampai halus. Terbuat dari batu kali yang dipecah atau dibelah.

3)    Kjokenmoddinger: Dari bahasa Denmark yang artinya sampah dapur.

4)     Abris Sous Roche: Adalah tempat tinggal yang berwujud goa-goa dan ceruk-ceruk di dalam batu karang untuk berlindung.

5)     Batu Pipisan: Terdiri dari batu penggiling dan landasannya. Berfungsi untuk menggiling makanan, menghaluskan bahan makanan.

6)     Kapak Persegi: Adalah kapak yang penampang lintangnya berbentuk persegi panjang atau trapesium. Ditemukan di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan. Sebutan kapak persegi diberikan oleh Von Heine Geldern.

7)     Kapak  Lonjong:  Adalah  kapak  yang  penampangnya  berbentuk lonjong memanjang. Ditemukan di Irian, seram, Gorong, Tanimbar, Leti, Minahasa, dan Serawak.

8)     Kapak Bahu: Adalah kapak persegi namun pada tangkai diberi leher sehingga menyerupai botol persegi. Kapak bahu hanya ditemukan di Minahasa, Sulawesi Utara.

9)     Menhir:  tugu  batu  yang  didirikan  sebagai  pemujaan  roh  nenek moyang memperingati arwah nenek moyang dan lain-lain.

 

                Pembagian zaman pada masa pra-sejarah diberi sebutan menurut benda-benda atau peralatan yang menjadi ciri utama dari masing-masing periode waktu itu. Adapun pembagian kebudayaan zaman pra-sejarah sebagai berikut:

1.    Zaman Batu Tua (Paleolitikum);

Berdasarkan tempat penemuannya, maka kebudayaan tertua ini lebih dikenal dengan sebutan kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong. Pada tahun 1935 di daerah Pacitan ditemukan sejumlah alat-alat dari batu, yang kemudian dinamakan kapak genggam, karena bentuknya seperti kapak yang tidak bertangkai. Dalam ilmu pra-sejarah alat-alat atau kapak Pacitan ini disebut chopper (alat penetak).

Soekmono; mengemukakan bahwa asal kebudayaan Pacitan adalah dari lapisan Trinil, yaitu berasal dari lapisan pleistosen tengah, yang merupakan lapisan ditemukannya fosil Pithecantropus Erectus. Sehingga kebudayaan Palaelitikum itu pendukungnya adalah Pithecanthropus Erectus, yaitu manusia pertama dan manusia tertua yang menjadi penghuni Indonesia (Kebudayaan Pacitan). Di sekitar daerah Ngandong dan Sidorejo dekat Ngawi, Madiun, ditemukan alat-alat dari tulang bersama kapak genggam. Alat-alat yang ditemukan dekat Sangiran juga termasuk jenis kebudayaan Ngandong. Alat-alat tersebut berupa alat-alat kecil yang disebut flakes.

Selain di Sangiran flakes juga ditemukan di Sulawesi Selatan. Berdasarkan      penelitian, alat- alat tersebut berasal dari lapisan pleistosen atas, yang menunjukkan bahwa alat-alat tersebut merupakan hasil kebudayaan Homo Soloensis dan Homo Wajakensis (Soekmono, 1958: 30).

Dengan demikian kehidupan manusia Palaelitikum masih dalam tingkatan food gathering, yang diperkirakan telah mengenal sistem penguburan untuk anggota kelompoknya yang meninggal.

2.    Zaman Batu Madya (Mesolitikum);

Peninggalan   atau   bekas   kebudayaan   Indonesia   zaman   Mesolitikum, banyak ditemukan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Kehidupannya masih dari berburu dan menangkap ikan. Tetapi sebagian besar mereka sudah menetap, sehingga diperkirakan sudah mengenal bercocok tanam, walaupun masih sangat sederhana. Bekas-bekas tempat tinggal manusia zaman Mesolitikum ditemukan di gua-gua dan di pinggir pantai yang biasa disebut Kyokkenmoddinger (di tepi pantai) dan Abris Sous Roche (di gua-gua). Secara garis besar kebudayaan zaman Mesolitikum terdiri dari: alat- alat peble yang ditemukan di Kyokkenmoddinger, alat-alat tulang, dan alat- alat flakes, yang ditemukan di Abris Sous Roche.

Kebudayaan zaman Mesolitikum di Indonesia diperkirakan berasal dari daerah Tonkin di Hindia Belakang, yaitu di pegunungan Bacson dan Hoabinh yang merupakan pusat kebudayaan prasejarah Asia Tenggara. Adapun pendukung dari kebudayaan Mesolitikum adalah Papua Melanesia.

3.    Zaman Batu Baru (Neolitikum);

Zaman Neolitikum merupakan zaman yang menunjukkan bahwa manusia pada umumnya sudah mulai maju dan telah mengalami revolusi kebudayaan. Dengan kehidupan yang telah menetap, memungkinkan masyarakatnya mengembangkan aspek-aspek kehidupan lainnya. Sehingga dalam zaman Neolitikum ini terdapat dasar-dasar kehidupan. Berdasarkan alat-alat yang ditemukan dari peninggalan zaman Neolitikum yang bercorak khusus, dapat dibagi kedalam dua golongan, yaitu;

·      Kapak persegi, didasarkan kepada penampang dari alat-alat yang ditemukannya berbentuk persegi panjang atau trapesium (von Heine Geldern). Semua bentuk alatnya sama, yaitu agak melengkung dan diberi tangkai pada tempat yang melengkung tersebut. Jenis alat yang termasuk kapak persegi adalah kapak bahu yang pada bagian tangkainya diberi leher, sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi.

·      Kapak lonjong, karena bentuk penampangnya berbentuk lonjong, dan bentuk kapaknya sendiri bulat telur. Ujungnya yang agak lancip digunakan untuk tangkai dan ujung lainnya yang bulat diasah, sehingga tajam. Kebudayaan kapak lonjong disebut Neolitikum Papua, karena banyak ditemukan di Irian.

Kapak pacul, beliung, tembikar atau periuk belanga, alat pemukul kulit kayu, dan berbagai benda perhiasan dan yang lainnya adalah termasuk benda-benda pada zaman Neolitikum. Adapun yang menjadi pendukungnya adalah bangsa Austronesia untuk kapak persegi, bangsa Austo-Asia untuk kapak bahu, dan bangsa Papua Melanesia untuk kapak lonjong.

4.    Zaman Logam;

Zaman logam dalam prasejarah terdiri dari zaman tembaga, perunggu, dan besi.  Di Asia  Tenggara  termasuk  Indonesia  tidak  dikenal  adanya  zaman tembaga, sehingga setelah zaman Neolitikum, langsung ke zaman perunggu. Adapun kebudayaan Indonesia pada zaman Logam terdiri dari; kapak Corong yang disebut juga kapak sepatu, karena bagian atasnya berbentuk corong dengan sembirnya belah, dan ke dalam corong itulah dimasukkan   tangkai kayunya. Nekara, yaitu barang semacam berumbung yang bagian tengah badannya berpinggang dan di bagian sisi atasnya tertutup, yang terbuat dari perunggu. Selain itu, benda lainnya adalah benda perhiasan seperti kalung, anting, gelang, cincin, dan binggel, juga manik-manik yang terbuat dari kaca serta seni menuang patung.

Dongson adalah sebuah tempat di daerah Tonkin Tiongkok yang dianggap sebagai pusat kebudayaan perunggu Asia Tenggara, oleh sebab itu disebut juga kebudayaan Dongson. Sebagaimana zaman tembaga, di Indonesia juga tidak terdapat zaman besi, sehingga zaman logam di Indonesia adalah zaman perunggu.

5.    Zaman Batu Besar (Megalitikum);

Zaman Megalitikum berkembang pada zaman logam, namun akarnya terdapat pada zaman Neolitikum. Disebut zaman Megalitikum karena kebudayaannya menghasilkan bangunan-bangunan batu atau barang-barang batu yang besar. Bentuk peninggalannya adalah:

1)      Menhir, yaitu tiang atau tugu yang didirikan sebagai tanda peringatan terhadap arwah nenek moyang.

2)      Dolmen,  berbentuk  meja  batu  yang  dipergunakan  sebagai  tempat meletakkan sesajen yang dipersembahkan untuk nenek moyang.

3)      Sarcopagus, berupa kubur batu yang bentuknya seperti keranda atau lesung dan mempunyai tutup.

4)    Kubur batu, merupakan peti mayat yang terbuat dari batu.

5)      Punden  berundak-undak,  berupa  bangunan  pemujaan  dari  batu  yang tersusun bertingkat-tingkat, sehingga menyerupai tangga.

6)      Arca-arca, yaitu patung-patung dari batu yang merupakan arca nenek moyang.

 

Demikian era pra-sejarah di Indonesia dengan kebudayaan Megalitikumnya, mempunyai latar belakang kepercayaan dan alam pikiran yang berlandaskan pemujaan terhadap arwah nenek moyang.

 

1.    Sejarah Agama Hindu

Untuk pertama kalinya agama Hindu mulai berkembang di lembah Sungai SHindu di India. Di lembah sungai ini para Rsi menerima wahyu dari “Sang Hyang Widhi” (Tuhan) dan diabadikan ke dalam bentuk Kitab Suci Veda. Agama Hindu sering disebut dengan sebutan Sanātana Dharma (Bahasa Sanskerta) berarti “Kebenaran Abadi”, dan Vaidika-Dharma “Pengetahuan Kebenaran”. Agama Hindu merupakan sebuah agama yang berasal dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Veda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan bangsa Indo-Iran (Arya).

Agama Hindu diperkirakan muncul antara  tahun  3102  SM  sampai  1300 SM dan merupakan agama tertua di dunia   yang   masih   bertahan   hingga kini. Agama ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah umat sebanyak hampir 1 miliar jiwa. Dalam bahasa Persia, kata Hindu berakar dari kata Sindhu (Bahasa Sanskerta). Dalam kitab Rg Veda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang salah satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Kata sapta sindhu berdekatan dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend Avesta (Vendidad: Fargard 1.18) - sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu. Hindu sendiri sebenarnya baru terbentuk setelah masehi ketika beberapa kitab dari Veda dilengkapi oleh para brahmana. Zaman munculnya agama Buddha, nama agama Hindu lebih dikenal dengan sebutan sebagai ajaran Veda.

Agama Hindu sebagaimana nama yang dikenal sekarang ini, pada awalnya tidak disebut demikian, bahkan dahulu ia tidak memerlukan nama, karena pada waktu itu ia merupakan agama satu-satunya yang ada di muka bumi. Sanatana Dharma adalah nama sebelum nama Hindu diberikan. Kata “Sanatana dharma” bermakna “kebenaran yang kekal abadi” dan jauh belakangan setelah ada agama-agama lainnya barulah ia diberi nama untuk membedakan antara satu dengan yang lainnya. Sanatana dharma pada zaman dahulu dianut oleh masyarakat di sekitar lembah sungai Shindu, penganut Veda ini disebut oleh orang-orang Persia sebagai orang indu (tanpa kedengaran bunyi s), selanjutnya lama-kelamaan nama indu ini menjadi Hindu. Sehingga sampai sekarang penganut sanatana dharma disebut Hindu.

Agama Hindu adalah suatu kepercayaan yang didasarkan pada kitab suci yang disebut Veda. Veda diyakini sebagai pengetahuan yang tanpa awal tanpa akhir dan juga dipercayai keluar dari nafas Tuhan bersamaan dengan terciptanya dunia ini. Karena sifat ajarannya yang kekal abadi tanpa awal tanpa akhir maka ia disebut sanatana dharma. Apabila membahas tentang Agama Hindu, kita harus mengetahui sejarah tempat munculnya agama tersebut. India adalah sebuah negara yang penuh dengan rahasia dan cerita dongeng, masyarakatnya berbangsa-bangsa dan berkasta-kasta, dan ada masyarakat dalam masyarakat, serta sungguh banyak ditemui agama-agama. Bahasa dan warna kulit pun bermacam-macam.

Pembicaraan mengenai India berarti adalah pembicaraan yang bercabang- cabang. Dipandang dari sudut ethnologi, India adalah tanah yang beraneka penduduknya, dan akibatnya orang dapat melihat kebudayaan yang beraneka dan tercermin dalam agamanya. Oleh karena itu barang siapa mulai mempelajari agama Hindu ia akan segera merasa terlibat dalam sejumlah ajaran-ajaran, sehingga hampir tidak dapat menemukan jalan untuk mengadakan penyelidikan. Sepanjang  orang  dapat  menyelidikinya,  maka  sejarah  kebudayaan  India mulai pada zaman perkembangan kebudayaan-kebudayaan yang besar di Mesopotamia dan Mesir. Antara 3000 dan 2000 tahun sebelum Masehi, rupa- rupanya di lembah sungai Sindhu (Indus) tinggallah bangsa-bangsa yang peradabannya  menyerupai  kebudayaan  bangsa  Sumeria  di  daerah  sungai Efrat dan Tigris. Berbagai cap di gading dan tembikar yang memperlihatkan tanda-tanda tulisan dan lukisan-lukisan binatang, menceritakan kepada kita bahwa pada zaman itu di sepanjang pantai dari Laut Tengah sampai ke Teluk Benggala terdapat sejenis peradaban yang sama dan sudah meningkat pada perkembangan yang tinggi. Sisa-sisa kebudayaan tersebut terutama terdapat di dekat kota Harappa di Punjab dan di sebelah utara Karachi. Bahkan disitu diketemukan sisa-sisa sebuah kota Mohenjodaro namanya, di mana manusia telah mempunyai rumah-rumah yang berdinding tebal dan bertangga.

Penduduk  India  pada  zaman  itu  terkenal  dengan  nama  bangsa  Dravida. Mula-mula mereka tinggal tersebar di seluruh negeri, tetapi lama-kelamaan hanya tinggal di sebelah selatan dan memerintah negerinya sendiri, karena mereka di sebelah utara hidup sebagai orang taklukkan dan bekerja pada bangsa-bangsa yang merebut negeri itu. Mereka adalah bangsa yang berkulit hitam dan berhidung pipih, berperawakan kecil dan berambut keriting. Nama India diambil dari sungai Indus. Perkataan Indus dan Hindu keduanya berarti bumi yang terletak  di  belakang  Sungai  Indus, dan penduduknya dinamakan orang- orang India atau orang-orang Hindu. Mengenai penamaan Negara India, Gustav Le Bon menyatakan: “Orang- orang Barat berpendapat bahwa nama Sungai Indus telah dipinjamkan kepada negara yang mengandung berbagai rahasia yang terletak di sebelah belakangnya. Alasan ini tidak diterimanya bulat-bulat sebab nama India itu harus diambil dari nama Tuhan Indra.” Peradaban India telah berlangsung lama. Negara India telah menghasilkan beberapa Filosof agung sebelum Socrates dilahirkan. Di Negara India sudah tersebar tanda-tanda ilmu pengetahuan dan bangunan-bangunan yang megah pada masa dahulu ketika Kepulauan Inggris masih dalam keadaan terbelakang. India adalah negara yang penuh dengan keajaiban. India adalah salah satu pusat peradaban kuno di dunia. Dalam hal ini, India menandingi Mesir, Cina, Assyria, dan Babilonia. Peradaban India sebelum zaman Arya dapat diketahui dari pengungkapan-pengungkapan pada tingkat kemajuan yang pernah dicapai oleh India dalam bidang arsitektur, pertanian, dan kemasyarakatan sejak masa 300 tahun SM, yaitu 1500 tahun sebelum kedatangan Bangsa Arya.

Antara 2000 dan 1000 tahun SM masuklah kaum Arya ke India dari sebelah utara. Bangsa Arya memisahkan diri dari bangsanya di Iran dan yang memasuki India melalui jurang-jurang di pegunungan Hindu-Kush. Bangsa Arya itu serumpun dengan bangsa Jerman, Yunani dan Romawi dan bangsa- bangsa lainnya di Eropa dan Asia. Mereka tergolong dalam apa yang kita sebut rumpun-bangsa Indo-German. Hinduisme dapat disamakan dengan rimba-raya yang penuh dengan pohon-pohonan, tanam-tanaman, tumbuh- tumbuhan dan kembang-kembangan. Hinduisme memperlihatkan berbagai macam pembentukan agama. Gambaran yang diberikan Hinduisme dalam keseluruhannya memang beraneka warna. Pesan pertama yang kita dapat ialah bahwa dalam Hinduisme terhimpun seluruh sejarah agama dengan segala ragam dan bentuknya. Hinduisme ialah agama dari jutaan penduduk India.

Tidaklah mudah untuk menjelaskan dengan kata-kata singkat, tentang Hinduisme. Lebih tepat rasanya jika Hinduisme di namakan sebagai suatu sistim sosial yang diperkuat oleh cita-cita keagamaan yang kemudian mempunyai tendensi keagamaan. Tak ada seorang pun yang dapat menjadi seorang Hindu dengan jalan menganut suatu agama tertentu. Menjadi seorang Hindu adalah berkat kelahirannya, yang meletakkan kewajiban untuk megikuti peraturan- peraturan upacara-upacara tertentu. Pada umumnya peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pembagian varna dan khsusunya pemberian korban dan upacara-upacara keagamaan yang timbul dari pada pembagian varna tadi. Ikatan-ikatan batin pada upacara yang turun temurun ini sangat kuat. Contoh nyata dapat dilihat pada Gandi yang jelas bersimpati terhadap agama lain, tetapi tetap tinggal di Hindu karena pertanian, bangsa dan hubungan batinnya dengan kebudayaan agama sukunya. Bangsa Arya turun ke lembah Indus kira- kira 1500 tahun SM dan memberi corak pada kebudayaan India.

Menurut pendapat para peneliti bahwa bangsa Arya berasal dari Asia, dahulunya mereka hidup di Asia Tengah dari negeri Turkistan yang berdekatan dengan  Sungai  Jihun,  kemudian  berpindah  dalam  kelompok-kelompok yang besar menuju ke India melalui Parsi, dan mereka juga menuju Eropa. Nyatalah bahwa kedatangan bangsa Arya ke India terjadi pada abad ke-15 SM.  Bangsa Arya  ini  telah  memerangi  kerajaan-kerajaan  yang  didirikan oleh bangsa berkulit kuning di India dan berhasil mengalahkan sebagaian besar dari mereka serta menjadikan kawasan-kawasan yang dikalahkannya itu sebagai wilayah yang tunduk di bawah pengaruh mereka. Bangsa Arya tidak bercampur dengan penduduk India dengan jalan perkawinan. Mereka menjaga dengan sungguh-sungguh keturunan mereka yang berkulit putih itu. Bangsa Arya menggiring penduduk asli Negara India ke hutan-hutan atau ke gunung-gunung dan menjadikan mereka sebagai orang-orang tawanan yang dalam sastra lama Bangsa Arya dinamakan sebagai Bangsa Hamba Sahaya. Bangsa Arya ini telah meminta pertolongan dari Tuhan mereka “Indra” untuk mengalahkan penduduk India. Di antara bacaan do’a mereka adalah “wahai Indra Tuhan kami! Suku-suku kaum Dasa (budak) telah mengepung kami dari segenap penjuru dan mereka tidak memberikan korban apa-apa, mereka bukan manusia dan tidak berkepercayaan. Wahai Penghancur musuh! Binasakanlah mereka dari keturunannya.”

Tentang  sejauh  mana  pengaruh  bangsa-bangsa  berkulit  kuning  (Bangsa Turan) dan berkulit putih (Bangsa Arya) di India telah diterangkan oleh Gustav Le Bon: “Bangsa Turan adalah bangsa penyerang yang kuat. Bangsa Arya meninggalkan kesan yang mendalam terhadap bangsa India dari segi budaya. Dari bangsa Turan, penduduk India mengambil ciri ukuran tubuh dan raut muka. Dari bangsa Arya mereka mengambil ciri bahasa, agama, undang- undang, dan adat-istiadat.” Pertemuan bangsa Arya dan bangsa Turan dengan penduduk asli telah menimbulkan kelas-kelas masyarakat di India, dan merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam sejarah negara ini. Dari bangsa Arya terbentuk golongan ahli-ahli agama (Brahmana) dan golongan prajurit (Ksatria).

Dari bangsa Turan terbentuk pula golongan saudagar dan ahli-ahli tukang (Waisya). Pada mulanya orang-orang Hindu yang bergaul dengan bangsa Turan tidak termasuk dalam pembagian ini. Tetapi dalam beberapa zaman kemudian peradaban Arya melebur ke dalam sebagian diri mereka. Selanjutnya bangsa Arya pun terbentuk dari kalangan orang-orang Hindu golongan keempat, yaitu golongan pesuruh dan hamba sahaya (Sudra). Penduduk-penduduk asli yang tidak tersentuh dengan peradaban Arya adalah disebabkan karena mereka memisahkan diri dari bangsa-bangsa pendatang itu. Maka, tinggallah mereka jauh dari pembagian ini dan terus menjadi orang-orang yang tersingkir atau terhalau dari masyarakat (out-casts). Peradaban Bangsa Arya ketika masuk ke India masih kurang daripada bangsa Drawida yang ditaklukkannya. Tetapi mereka lebih unggul dalam ilmu peperangan. Pada saat bangsa Arya masuk ke India, mereka itu masih merupakan bangsa setengah nomaden (pengembara), yang peternakan lebih berartinya daripada pertanian. Bagi bangsa Arya, kuda dan lembu adalah binatang-binatang yang sangat dihargai, sehingga binatang- binatang itu dianggap suci jika dibandingkan dengan bangsa Drawida yang menetap di daerah kota-kota, mengusahakan pertanian serta menyelenggarakan perniagaan di sepanjang pantai, maka bangsa Arya itu dapat dikatakan masih primitif.

Dahulu orang belum tahu dengan tepat dan selalu memandang kebudayaan yang ada di India dibawa oleh bangsa Arya. Sesudah adanya penggalian- penggalian di India, pandangan orang berubah dan makin banyak diketahui bahwa bermacam-macam unsur di dalam kebudayaan India berasal dari kebudayaan Drawida yang tua. Contohnya Bangsa Arya belum mempunyai patung-patung Deva, sedangkan bangsa Drawida sudah. Sebuah gejala yang khas di dalam Agama Hindu ialah pengakuan adanya Deva-Devi induk, yang merupakan gejala pra-Arya. Banyak gejala-gejala Agama Hindu yang rupa- rupanya tidak berasal dari agama Bangsa Arya, melainkan berasal dari bangsa Drawida. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa Agama Hindu sebagai agama yang tumbuh dari dua sumber yang berlainan, dan tumbuh dari perasaan dan pikiran keagamaan dua bangsa yang berlainan, pada mulanya banyak hal sangat berlainan, tetapi kemudian dapat lebur menjadi satu. Di dalam tulisan- tulisan Hindu tua, unsur-unsur Arya lah yang sangat besar pengaruhnya. Hal itu tidak mengherankan karena tulisan-tulisan itu berasal dari zaman Bangsa Arya memasuki India dengan kemenangan-kemenanganya. Pengaruh bangsa Drawida tentunya belum begitu besar. Agama bangsa Arya dapat kita ketahui dari kitab-kitab Veda (Veda artinya tahu). Oleh karena itu masa yang tertua dari agama Hindu disebut masa Veda. Maulana Mohamed Abdul Salam al- Ramburi juga berkata: “Umat India mudah menerima apa saja pemikiran dan kepercayaan yang ditemuinya.

Agama Hindu adalah yang tertua di antara agama-agama yang ada. Penyebarannya meliputi kebanyakan orang India. Buku Hinduism telah menerangkan  sebab-sebab  terjadinya  hal  itu  dengan  menuliskan;  amat sulit untuk dikatakan, bahwa Hinduisme itu adalah suatu agama dalam pengertiannya yang sangat luas. Ini merupakan kehidupan India dengan caranya  tersendiri  yang  dianggap  sebagai  satu  dari  semua  masalah  suci dan masalah hina karena di dalam pemikiran Hindu tidak ada batas yang memisahkan keduanya. Agama Hindu adalah suatu agama yang berevolusi dan merupakan kumpulan adat-istiadat yang tumbuh dan berkembang pada daerah yang dilaluinya. Kedudukan bangsa Arya sebagai penakluk negeri, yang  lebih  tinggi  daripada  penduduk  asli  telah  melahirkan  adat-istiadat Hindu. Kiranya dapat dikatakan bahwa asas agama Hindu adalah kepercayaan bangsa Arya yang telah mengalami perubahan sebagai hasil dari percampuran mereka  dengan  bangsa-bangsa  lain,  terutama  sekali  adalah  bangsa  Parsi, yaitu sewaktu dalam masa perjalanan mereka menuju India. Agama Hindu lebih merupakan suatu cara hidup daripada sebagai kumpulan kepercayaan. Sejarahnya menerangkan mengenai isi kandungannya yang meliputi berbagai kepercayaan, hal-hal yang harus dilakukan, dan yang boleh dilakukan. Agama Hindu tidak mempunyai kepercayaan yang membawanya turun hingga kepada penyembahan batu dan pohon-pohon, dan membawanya naik pula kepada masalah-masalah falsafah yang abstrak dan halus. Seandainya Agama Hindu tidak mempunyai pendiri yang pasti maka begitu pula halnya dengan Veda. Kitab suci ini yang mengandung kepercayaan-kepercayaan, adat-istiadat, dan hukum-hukum juga tidak mempunyai pencipta yang pasti. Para penganut agama Hindu mempercayai bahwa Veda adalah suatu kitab yang ada sejak dahulu yang tidak mempunyai tanggal permulaan. Kitab Veda diwahyukan sejak awal kehidupan, setara dengan awal yang diwahyukannnya.

Penduduk asli Lembah sungai Indus adalah bangsa Dravida yang berkulit hitam. Di sekitar sungai itu terdapat dua pusat kebudayaan yaitu Mohenjodaro dan Harappa. Mereka sudah menetap di sana dengan mata pencaharian bercocok tanam dengan memanfaatkan aliran sungai dan kesuburan tanah di sekitarnya. Menurut teori kehidupan bangsa Dravida mulai berubah sejak tahun 2000-an SM karena adanya pendatang baru, bangsa Arya. Mereka termasuk rumpun berbahasa Indo-Eropa dan berkulit putih. Bangsa Arya ini mendesak bangsa Dravida ke bagian selatan India dan membentuk Kebudayaan Dravida namun, sebagian lagi ada yang bercampur antara bangsa Arya dan Dravida yang kemudian disebut bangsa Hindu. Oleh karena itu, kebudayaannya disebut kebudayaan Hindu.

Letak Geografis Sungai Indus, di sebelah utara berbatasan dengan China yang dibatasi Gunung Himalaya, selatan berbatasan dengan Srilanka yang dibatasi oleh Samudera Indonesia, barat berbatasan dengan Pakistan, timur berbatasan dengan Myanmar dan Bangladesh. Peradaban sungai Indus berkembang disekitar (2500 SM). Kebudayaan kuno India ditemukan di kota Mohenjodaro dan Harappa yang penduduknya adalah bangsa Dravida. Terdapat hubungan dagang antara Mohenjodaro dan Harappa dengan Sumeria. Mohenjodaro dan Harappa ditata dengan perencanaan yang sudah maju, rumah-rumah terbuat dari batu-bata, saluran air bagus, jalan raya lurus dan lebar. Mohenjodaro dan Harappa sebagai kota tua yang dibangun berdasarkan penataan dan peradaban yang maju. Peradaban Lembah Sungai Indus diketahui melalui penemuan- penemuan arkeologi. Kota Mohenjodaro diperkirakan sebagai ibu kota daerah Lembah Sungai Indus bagian selatan dan Kota Harappa sebagai ibu kota Lembah Sungai Indus bagian utara. Mohenjodaro dan Harappa merupakan pusat peradaban bangsa India pada masa lampau. Di Kota Mohenjodaro dan terdapat gedung-gedung dan rumah tinggal serta pertokoan yang dibangun secara teratur dan berdiri kukuh. Gedung-gedung dan rumah tinggal serta pertokoan itu sudah terbuat dari batu bata lumpur. Wilayah kota dibagi atas beberapa bagian atau blok yang dilengkapi dengan jalan yang ada aliran airnya.

Daerah Lembah Sungai Indus merupakan daerah yang subur. Pertanian menjadi mata pencaharian utama masyarakat India. Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat  telah  berhasil  menyalurkan  air  yang  mengalir  dari  Lembah Sungai Indus sampai jauh ke daerah pedalaman. Pembuatan saluran irigasi dan pembangunan daerah-daerah pertanian menunjukkan bahwa masyarakat Lembah Sungai Indus telah memiliki peradaban yang tinggi. Hasil-hasil pertanian yang utama adalah padi, gandum, gula/tebu, kapas, teh, dan lain- lain. Masyarakat Mohenjodaro dan Harappa telah memperhatikan sanitasi (kesehatan)  lingkungannya.  Teknik-teknik  atau  cara-cara  pembangunan rumah yang telah memperhatikan faktor-faktor kesehatan dan kebersihan lingkungan yaitu rumah mereka sudah dilengkapi denga jendela. Masyarakat Lembah Sungai Indus sudah memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemampuan mereka dapat diketahui melalui peninggalan-peninggalan budaya yang ditemukan, seperti bangunan, berbagai macam patung, perhiasan emas, perak, dan berbagai macam meterai dengan lukisannya yang bermutu tinggi dan alat-alat peperangan seperti tombak, pedang, dan anak panah. Demikian sekilas tentang kebudayaan pra sejarah di India sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang sampai saat ini kita yakini kebenarannya sebagai pedoman dan penuntun dalam hidup dan kehidupan ini.

Seiring dengan perkembangan jaman, sebagaimana negeri lainnya yang diperintah oleh masing-masing rajanya dalam sebuah kerajaan, negeri India juga demikian adanya. Raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Maurya antara lain : Candragupta Maurya. Setelah berhasil menguasai Persia, pasukan Iskandar Zulkarnaen melanjutkan ekspansi dan menduduki India pada tahun 327 SM melalui Celah Kaibar di Pegunungan Himalaya. Pendudukan yang dilakukan oleh pasukan Iskandar Zulkarnaen hanya sampai di daerah Punjab. Pada tahun 324 SM muncul gerakan di bawah Candragupta. Setelah Iskandar Zulkarnaen meninggal tahun 322 SM, pasukannya berhasil diusir dari daerah Punjab dan selanjutnya berdirilah Kerajaan Maurya dengan ibu kota di Pattaliputra. Candragupta Maurya Menjadi raja pertama Kerajaan Maurya. Pada masa pemerintahannya, daerah kekuasaan Kerajaan Maurya diperluas ke arah timur, sehingga sebagian besar daerah India bagian utara menjadi bagian dari kekuasaannya. Dalam waktu singkat, wilayah Kerajaan Maurya sudah mencapai daerah yang sangat luas, yaitu daerah Kashmir di sebelah barat dan Lembah Sungai Gangga di sebelah timur.

Ashoka memerintah Kerajaan Maurya dari tahun 268-282 SM. Ashoka merupakan cucu dari Candragupta Maurya. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Maurya mengalami masa yang gemilang. Kalingga dan Dekkan berhasil dikuasainya. Namun, setelah ia menyaksikan korban bencana perang yang maha dahsyat di Kalingga, timbul penyesalan dan tidak lagi melakukan peperangan. Mula-mula Ashoka beragama Hindu, tetapi kemudian menjadi pengikut agama Buddha. Sejak saat itu Ashoka menjadikan agama Buddha sebagai agama resmi negara. Setelah Ashoka meninggal, kerajaan terpecah- belah menjadi kerajaan kecil. Peperangan sering terjadi dan baru pada abad ke-4 M muncul seorang raja yang berhasil mempersatukan kerajaan yang terpecah belah itu. Maka berdirilah Kerajaan Gupta dengan Candragupta I sebagai rajanya.

Sistem kepercayaan masyarakat Lembah Sungai Indus bersifat politeisme atau memuja banyak Deva. Deva-Deva tersebut misalnya Deva kesuburan dan kemakmuran (Devi Ibu).   Masyarakat Lembah Sungai Indus juga menghormati binatang-binatang seperti buaya dan gajah, pohon seperti pohon pipal (beringin). Pemujaan tersebut dimaksudkan sebagai tanda terima kasih terhadap kehidupan yang dinikmatinya, berupa kesejahteraan dan perdamaian. Interaksi  bangsa  Dravida  dan  bangsa Arya  menghasilkan Agama  Hindu. Bangsa Arya dan bangsa Dravida merupakan bangsa yang memiliki ideologi keagamaan yang berbeda satu sama lain, akan tetapi dari kedua ideologi agama tersebut, melahirkan suatu agama persatuan yakni agama Hindu.

 

2.    Agama Hindu di Indonesia

Di Indonesia, banyak ditemukan berbagai bentuk peninggalan sejarah bercorak  Hindu. Agama  Hindu  disebut-sebut  sebagai  agama  yang  tertua dalam sejarah peradaban manusia. Agama Hindu pertama kali tumbuh dan berkembang dengan subur di negara India. Di sana agama Hindu berkembang pesat. Setelah di India, barulah agama Hindu merambah ke negara-negara lainnya. Peninggalan sejarah agama Hindu pun sangat banyak dan beragam serta tersebar di berbagai negara. Perkembangan ajaran agama Hindu berawal sekitar tahun 1500 sebelum Masehi (SM).

Ditandai dengan datangnya bangsa Yunani. Mereka memasuki wilayah Nusantara dengan perahu layar. Kelompok ini datang dari Kampuchea (Kamboja). Mereka mendirikan rumah dan hidup secara berkelompok   dalam   masyarakat   desa dan menetap di Nusantara. Kebudayaan mereka sudah cukup maju. Mereka sudah mengenal bercocok tanam. Mereka juga berdagang dan membuat peralatan dari tanah   liat   serta   logam.   Kepercayaan yang mereka anut adalah animisme dan dinamisme. Animisme adalah kepercayaan yang  memuja  roh  nenek  moyang  atau roh halus. Dinamisme adalah pemujaan terhadap benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Misalnya keris, tombak, batu akik, dan patung.

Ajaran Hindu masuk ke Indonesia sejak permulaan masehi melalui hubungan dagang dengan India. Kitab suci agama Hindu yaitu Veda. Ajaran Hindu memuja banyak Deva. Deva-Deva yang dianggap menempati posisi paling tinggi yaitu Deva Brahma, Deva Wisnu, dan Deva Siwa. Ketiga Deva itu disebut Trimurti (tiga Deva yang bersatu). Trimurti diwujudkan dalam bentuk patung. Tata kemasyarakatan dalam ajaran agama Hindu mengenal adanya varna. Varna adalah susunan kelompok masyarakat Hindu sesuai dengan tingkat keahlian atau profesi yang dimiliki oleh individu bersangkutan, yang terdiri dari varna; brahmana, ksatriya, wesya, dan sudra.

Dalam  beberapa  prasasti  yang  terdapat  di  pulau  Jawa  dan  lontar-lontar yang terdapat di pulau Bali menjelaskan bahwa “Maha Rsi Agastya” yang menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Menurut data peninggalan sejarah yang ada dinyatakan bahwa Maha Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia melalui Sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Karena begitu besar jasa-jasa beliau dalam penyebaran ajaran Agama Hindu, maka namanya disucikan di dalam prasasti ‘Dinaya’. Prasasti ‘Dinaya’ diketemukan di Jawa Timur yang ditulis dengan berangka tahun Saka 682 (760 M), menjelaskan bahwa seorang raja yang bernama Gaja Yana membuatkan pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud untuk memohon kekuatan suci dari Rsi Agastya (Shastri, N.D. Pandit, 1963:21). Prasasti Porong yang ditemukan di Jawa Tengah berangka tahun Saka 785 (863 M) juga menyebutkan keagungan serta kemuliaan jasa-jasa Maha Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Maha Rsi Agastya, maka beliau diberi julukan‘Agastya Yatra’ artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Oleh karena itu beliau juga diberi julukan ‘Pita Segara’, artinya “Bapak dari Lautan” karena beliau yang mengarungi lautan luas demi untuk Dharma.

Diperkirakan pada abad ke-4 Masehi (di Kutai-Kalimantan Timur), agama Hindu di Indonesia sudah berkembang dengan subur. Disinyalir agama Hindu dibawa dari India ke Indonesia dengan perantara para pedagang. Sebelum masuknya agama Hindu, Indonesia masih dalam masa pra-sejarah atau masa di mana masih belum mengenal tulisan. Dengan masuknya agama Hindu perubahan besar pun terjadi di Indonesia. Jaman prasejarah berganti dengan zaman sejarah di mana tulisan mulai diperkenalkan melalui ukiran-ukiran yang terdapat pada yupa. Kehidupan politik kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha membawa perubahan baru dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Struktur sosial dari masa Kutai hingga Majapahit mengalami perkembangan yang ber-evolusi namun progresif. Dunia perekonomian pun mengalami perkembangan: dari yang semula sistem barter hingga sistem nilai tukar uang. Agama Hindu masuk ke Indonesia dinyatakan terjadi pada awal tahun Masehi, hal ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis dari benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi yakni diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan tentang kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: “Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Raja Mulawarman”. Pada keterangan yang lain menyatakan bahwa Raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja Deva Siwa. Tempat itu disebut dengan “Vaprakeswara”.

Dari berbagai peninggalan yang ditemukan, diketahui bahwa kehidupan masyarakat Kutai sudah cukup teratur. Walau tidak secara jelas diungkapkan, diperkirakan masyarakat Kutai sudah terbagi dalam beberapa penggolongan meskipun tidak secara tegas dinyatakan. Dari penggunaan bahasa Sansekerta dan  pemberian  hadiah  sapi,  dapat  disimpulkan  bahwa  dalam  masyarakat Kutai  terdapat  golongan  brahmana,  golongan  yang  sebagaimana  juga  di India memegang monopoli penyebaran dan upacara keagamaan. Di samping golongan brahmana, terdapat pula kaum ksatria. Golongan ini terdiri dari kerabat dekat raja. Di luar kedua golongan ini, sebagian besar masyarakat Kutai masih menjalankan adat-istiadat dan kepercayaan asli mereka. Walaupun Hindu telah menjadi agama resmi kerajaan, namun masih terdapat kebebasan bagi masyarakat untuk menjalankan kepercayaan aslinya.

Diperkirakan bahwa lahan pertanian, baik di sawah maupun di ladang adalah merupakan mata pencarian utama masyarakat Kutai. Melihat letaknya di sekitar Sungai Mahakam sebagai jalur transportasi laut, mengantarkan perdagangan masyarakat Kutai berjalan cukup ramai. Bagi pedagang luar yang ingin berjualan di Kutai, mereka harus memberikan ‘hadiah’ kepada raja  agar  diizinkan  berdagang.  Pemberian  ‘hadiah’  ini  biasanya  berupa barang dagangan yang cukup mahal harganya; dan pemberian ini dianggap sebagai upeti atau pajak kepada pihak Kerajaan. Melalui hubungan dagang tersebut, baik melalui jalur transportasi sungai-laut maupan transportasi darat, berkembanglah hubungan agama dan kebudayaan dengan wilayah-wilayah sekitarnya. Banyak pendeta yang diundang datang ke Kutai. Banyak pula orang Kutai yang berkunjung ke daerah asal para pendeta tersebut.

Selanjutnya, agama Hindu berkembang pesat di Indonesia melalui kerajaan- kerajaan yang berdiri pada waktu itu, baik di Jawa maupun luar Jawa. Kehadiran  agama  Hindu  di  Indonesia,  menimbulkan  pembaharuan  yang besar, seperti berakhirnya jaman pra-sejarah Indonesia. Perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama dengan memuja Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah.

Di samping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni  prasasti  Ciaruteun,  Kebonkopi,  Jambu,  Pasir Awi,  Muara  Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sanskerta dan memakai huruf  Pallawa.  Bersumberkan  prasasti-prasasti  itu  didapatkan  keterangan yang menyebutkan bahwa “Raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara menganut agama Hindu. Beliau adalah raja yang gagah berani yang dilukiskan dengan tapak kakinya yang disamakan dengan tapak kaki Deva Wisnu”. Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Deva Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa kerajaan Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa.

Kehidupan masyarakat Tarumanagera tak jauh beda dengan Kutai. Menurut sebuah prasastinya, kehidupan sosial masyarakatnya telah berkembang baik, terlihat dari penggalian kanal (sungai yang digali) Gomati dan Candrabhaga secara gotong-royong. Tenaga kerja yang diperintah menggali kanal tersebut biasanya dari golongan budak dan kaum sudra. Pembangunan kanal Gomati dan Candrabaga begitu bermakna bagi perekonomian Tarumanegara. Selain sebagai sarana pencegah banjir, juga dapat dipergunakan sebagai sarana transportasi (lalu lintas) air dan perdagangan antara pedagang Tarumanegara dengan pedagang daerah lain. Hasil bumi merupakan komoditas utama. Melalui perdagangan, masyarakat Tarumanegara dapat memperoleh barang yang tidak dihasilkan di kerajaannya. Kehidupan ekonomi Tarumanegara bertumpu pada hasil ladang dan kebun. Barang yang ditawarkan adalah beras dan kayu jati. Mayoritas rakyat Tarumanegara adalah peladang yang selalu berpindah-pindah tempat. Ini berbeda dengan masyarakat petani yang selalu menetap di satu tempat, misalnya seperti di Jawa Tengah dan Timur.

Kehidupan sosial-ekonomi Kendan-Galuh tidak jauh beda dengan Tarumanegara.  Masyarakatnya  berprofesi  sebagai  peladang. Agama  yang dianut bangsawan adalah Hindu-Wisnu, sedangkan rakyatnya mayoritas menganut animisme dan dinamisme. Sementara itu, sistem transportasi pada masa Kendan dan Galuh diperkirakan dilakukan melalui Sungai Cimanuk dan pelabuhan tua di pesisir pantai utara, contohnya di sekitar Indramayu dan Cirebon. Sementara itu mengenai masalah tenaga kerja, baik pegawai istana maupun tentara, biasanya berasal dari golongan bangsawan kerabat raja. Mengenai sistem perpajakan biasanya pedagang mengirim hadiah berupa benda-benda langka dan mahal. Sedangkan bagi wilayah yang berada di bawah kerajaan mereka harus mengirim upeti berupa emas atau benda-benda berharga lain, sebagai tanda kesetiaannya terhadap atasan.

Kehidupan sosial masyarakat Sunda dan Pakwan Pajajaran secara garis besar dapat digolongkan ke dalam golongan seniman, peladang (pecocok tanam), pedagang. Dari bukti-bukti sejarah diketahui, umumnya masyarakat Pajajaran hidup dari hasil perladangan. Seperti masyarakat Tarumanegara dan Galuh, mereka umumnya selalu berpindah pindah. Hal ini berpengaruh pada bentuk rumah  tempat  tinggal  mereka  yang  sederhana.  Dalam  hal  tenaga  kerja, yang menjadi anggota militer diambil dari rakyat jelata dan sebagian anak bangsawan. Mereka dibiayai oleh negara. Dalam bidang ekonomi, Kerajaan Sunda dan Pajajaran telah lebih maju dari masa Tarumanegara. Kerajaan Sunda- Pajajaran memiliki setidaknya enam pelabuhan penting: Banten, Pontang, Cigede, Tarumanegara, Sunda Kelapa, dan Cimanuk. Setiap pelabuhan ini dikepalai oleh seorang syahbandar yang bertanggung jawab kepada raja. Para syahbandar ini bertindak sebagai wakil raja di pelabuhan-pelabuhan yang dikuasainya, sekaligus menarik pajak dari para pedagang yang ingin berjualan di daerah ini, pajak tersebut berupa kiriman upeti berwujud barang dagangan yang mahal atau uang. Dalam hal transportasi air, selain melalui laut, dilakukan pula melalui sungai-sungai besar seperi Citarum dan Cimanuk, sebagai jalur perairan dalam negeri. Melalui pelabuhan ini, Pajajaran melakukan aktivitas perdagangan dengan negara lain. Dalam berbagai peninggalan sejarah diketahui, masyarakat Pajajaran telah berlayar hingga ke Malaka bahkan ke Kepulauan Mala deva yang kecil di sebelah selatan India. Barang barang dagangan mereka umumnya bahan makanan dan lada. Di samping itu, ada jenis bahan pakaian yang didatangkan dari Kamboja (India). Sementara mata uang yang dipakai sebagai alat tukar adalah mata uang Tiongkok.

Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas yang ditemukan di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Dalam prasasti inilah dituliskan atribut Deva Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi. Keyakinan memuja Tri Murti juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: “Sruti indriya rasa”, Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Deva Siwa, Deva Wisnu dan Deva Brahma sebagai Tri Murti. Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti bahwa adanya perkembangan Agama Hindu yang sangat pesat terjadi di Jawa Tengah.

Sumber-sumber berita Tiongkok mengungkapkan keadaan masyarakat Mataram dari abad ke-7 sampai ke-10. Kegiatan perdagangan baik di dalam maupun luar negeri berlangsung ramai. Hal ini terbukti dari ditemukannya barang-barang keramik dari Vietnam dan Tiongkok. Kenyataan ini dikuatkan lagi dengan berita dari Dinasi Tang yang menceritakan kebesaran sebuah kerajaan dari Jawa, dalam hal ini Mataram. Dari Prasasti Warudu Kidul diperoleh informasi adanya sekumpulan orang asing yang berdiam di Mataram. Mereka mempunyai status yang berbeda dengan penduduk pribumi. Mereka membayar pajak yang berbeda yang tentunya lebih mahal daripada rakyat pribumi Mataram. Kemungkinan besar mereka itu adalah para saudagar dari luar negeri. Namun, sumber sumber lokal tidak memperinci lebih lanjut tentang orang-orang asing ini. Kemungkinan besar mereka adalah kaum migran dari Tiongkok.

Dari berita Cina diketahui bahwa di ibu kota kerajaan terdapat istana raja yang dikelilingi dinding dari batu bata dan batang kayu. Di dalam istana, berdiam raja beserta keluarganya dan para abdi. Di luar istana (masih di dalam lingkungan dinding kota) terdapat kediaman para pejabat tinggi kerajaan termasuk putra mahkota beserta keluarganya. Mereka tinggal dalam perkampungan khusus di mana para hamba dan budak yang dipekerjakan di istana juga tinggal sekitarnya. Sisa-sisa peninggalan pemukiman khusus ini sampai sekarang masih bisa kita temukan di Yogyakarta dan Surakarta. Di luar tembok kota berdiam rakyat yang merupakan kelompok terbesar. Kehidupan masyarakat Mataram umumnya bersifat agraris karena pusat Mataram terletak di pedalaman, bukan di pesisir pantai. Pertanian merupakan sumber kehidupan kebanyakan rakyat Mataram. Di samping itu, penduduk di desa (disebut wanua) memelihara ternak seperti kambing, kerbau, sapi, ayam, babi, dan itik. Sebagai tenaga kerja, mereka juga berdagang dan menjadi pengrajin. Dari Prasasti Purworejo (900 M) diperoleh informasi tentang kegiatan perdagangan. Kegiatan di pasar ini tidak diadakan setiap hari melainkan bergilir, berdasarkan pada hari pasaran menurut kalender Jawa Kuno. Pada hari Kliwon, pasar diadakan di pusat kota. Pada hari Manis atau Legi, pasar diadakan di desa bagian timur. Pada hari Paking (Pahing), pasar diadakan di desa sebelah selatan. Pada hari Pon, pasar diadakan di desa sebelah barat. Pada hari Wage, pasar diadakan di desa sebelah utara.

Pada hari pasaran ini, desa-desa yang menjadi pusat perdagangan, ramai didatangi pembeli dan penjual dari desa-desa lain. Mereka datang dengan berbagai cara, melalui transportasi darat maupun sungai sambil membawa barang dagangannya seperti beras, buah-buahan, dan ternak untuk dibarter dengan kebutuhan yang lain. Selain pertanian, industri rumah tangga juga sudah berkembang. Beberapa hasil industri ini antara lain anyaman seperti keranjang, perkakas dari besi, emas, tembaga, perunggu, pakaian, gula kelapa, arang, dan kapur sirih. Hasil produksi industri ini dapat diperoleh di pasar- pasar yang ada. Sementara itu, bila seseorang berjasa (biasanya pejabat militer atau kerabat istana) kepada kerajaan, maka orang bersangkutan akan diberi hak memiliki tanah untuk dikelola. Biasanya tempat itu adalah hutan yang kemudian dibuka menjadi pemukiman baru. Orang yang diberi tanah baru itu diangkat menjadi penguasa tempat yang baru dihadiahkan kepadanya. Ia bisa saja menjadi akuwu (kepala desa), senopati, atau adipati atau menteri. Bisa pula sebuah wilayah dihadiahkan kepada kaum brahmana untuk dijadikan asrama sebagai tempat tinggal mereka, dan di sekitar asrama tersebut biasanya didirikan candi atau wihara.

Setelah di Jawa Tengah, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang. Prasasti ‘Dinaya’ berbahasa sansekerta dan ditulis memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Deva Simha pada tahun 760 Masehi yang dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Deva Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.

Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri IsanottunggaDeva, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Deva Siwa. Sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan  Sumedang  tahun  1019-1042)  yang  juga  adalah  penganut  Hindu yang setia. Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengembang agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Bharatayudha, Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana.

Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan ke-Hinduan. Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.

Di Jawa Timur berkembang aliran Tantrayana seperti yang dilakukan Kertanegara dari Singasari yang dipandang merupakan penjelmaaan Siwa. Kepercayaan terhadap roh leluhur masih terwujud dalam upacara kematian dengan mengadakan kenduri 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun dan 1000 hari, serta masih banyak hal-hal yang dilakukan oleh masyarakat Jawa.

Menurut berita Cina, Kediri terkenal dengan kehidupan masyarakatnya yang damai. masyarakat Kediri hidup berkecukupan. Penduduk wanitanya memakai kain sarung sampai bawah lutut dan rambutnya terurai. Rumah mereka bersih dan rapi, lantainya dari ubin berwarna hijau dan kuning. Dalam upacara perkawinan mereka memakai mas kawin dari emas dan perak. Masyarakatnya sering mengadakan pesta air (sungai atau laut) maupun pesta gunung sebagai ungkapan terima kasih kepada para Deva dan leluhur mereka. Kehidupan perekonomian Kediri berpusat pada bidang pertanian dan perdagangan. Hasil pertanian  masyarakat  Kediri  umumnya  beras.  Sementara  barang-barang yang diperdagangkan antara lain emas, kayu cendana, dan pinang. Walaupun terletak di pedalaman, jalur perdagangan dan pelayaran maju pesat melalui Sungai Brantas yang dapat dilayari sampai ke pedalaman wilayah Kediri dan bermuara di Laut Selatan (Samudera Indonesia). Masyarakat Kediri juga sudah mempunyai kesadaran tinggi dalam membayar pajak. Mereka membayar pajak dalam bentuk natura yang diambil dari sebagian hasil bumi mereka.

Sementara itu, kehidupan sosial Singasari dapat diketahui dari Nagarakertagama dan Pararaton serta kronik Cina. Disebutkan, masyarakat Singasari terbagi dalam kelas atas, yaitu keluarga raja dan kaum bangsawan, dan kelas bawah yang terdiri dari rakyat umum. Selain itu, ada kelompok agama, pendeta Hindu maupun Buddha. Namun pembagian atas golongan ini tidak seketat pengkastaan seperti di India. Ini membuktikan, sekali lagi, kearifan lokal yang dimiliki masyarakat pribumi. Dari Negarakertagama dan Pararaton diperoleh gambaran tentang kehidupan perekonomian di jawa pada masa Singasari. Di desa pada umumnya penduduk hidup dari bertani, berdagang, dan kerajinan tangan. Tidak sedikit pula yang bekerja sebagai buruh atau pelayanan. Kegiatan berdagang dilakukan dalam lima hari pasaran pada tempat yang berbeda (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Oleh karena itu, sarana transportasi darat memegang peranan penting. Beberapa prasasti melukiskan bagaimana para pedagang, pengrajin, dan petani membawa barang dagangannya. Mereka digambarkan melakukan perjalanan sambil memikul barang dagangannya atau mengendarai pedati-kuda. Ada pula yang melakukan perjalanan melalui sungai dengan menggunakan perahu.

Dengan disebutnya alat angkut pedati dan perahu, dapatlah disimpulkan bahwa perdagangan antar desa cukup ramai. Apalagi di wilayah Singasari terdapat dua sungai besar, Bengawan Solo dan Kali Brantas yang dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian dan lalu lintas perdagangan air. Perdagangan mulai mendapatkan perhatian cukup besar semasa Kertanegara memerintah. Kertanegara mengirimkan ekspedisi militer ke Melayu (Pamalayu) untuk merebut kendali perdagangan di sekitar Selat Malaka. Pada masa ini memang Selat Malaka merupakan jalur sutera yang dilalui oleh para pedagang asing.

Dalam hal kepemilikan tanah, transportasi, perpajakan, dan tenaga kerja; kehidupan rakyat Medang Kamulan menyerupai Mataram, karena Medang Kamulan tak lain adalah kelanjutan Mataram. Yang berbeda adalah hanya nama dinastinya dan perpindahan wilayah kekuasaan dari barat ke timur. Masa pemerintahan Mpu Sindok yang bergelar Sri Isana Tunggawijaya, merupakan masa yang damai. Namun, sejak pemerintahan Dharmawangsa Teguh, politik Kerajaan cenderung mengarah ke luar negeri. Tujuannya adalah untuk merebut dominasi perdagangan di perairan Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, yang ketika itu dikuasai Sriwijaya. Untuk keperluan itu, Dharmawangsa Teguh membangun armada militer yang tangguh. Dengan kekuatan militernya, Medang  Kamulan  menaklukkan  Bali,  lalu  mendirikan  semacam  koloni di Kalimantan Barat. Medang Kamulan kemudian menyerang Sriwijaya, walaupun tidak menang. Dharmawangsa pun mengembangkan pelabuhan Hujung Galuh di selatan Surabaya dan Kembang Putih (Tuban) sebagai tempat para pedagang bertemu. Ketika Airlangga berkuasa, kerajaan menjaga hubungan damai dengan kerajaan-kerajaan tetangga demi kesejahteraan rakyat. Ini diperlihatkan dengan mengadakan perjanjian damai dengan Sriwijaya. Kerajaan pun memperlakukan umat Hindu dan Buddha sederajat.

Dari peninggalan sejarah diketahui bahwa masyarakat Majapahit relatif hidup rukun, aman, dan tenteram. Majapahit menjalin hubungan baik dan bersahabat dengan negara tetangga, di antaranya dengan Syangka (Muangthai), Dharma Negara, Kalingga (Raja Putera), Singhanagari (Singapura), Campa dan Annam (Vietnam), serta Kamboja. Negara-negara sahabat ini disebut dengan Mitreka Satata. Disebutkan bahwa pada masa Hayam Wuruk, penganut agama Hindu Siwa dan Buddha dapat bekerjasama. Hal ini diungkapkan oleh Mpu Tantular dalam Sutasoma atau Purusadashanta yang berbunyi “bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrawa” yang artinya: “di antara pusparagam agama adalah kesatuan pada agama yang mendua.” Rakyat Majapahit terbagi dalam kelompok masyarakat berdasarkan pekerjaan. Pada umumnya, rakyat Majapahit adalah petani, sisanya pedagang dan pengrajin. Selain pertanian, Majapahit juga mengembangkan perdagangan dan pelayaran. Hal ini dapat simpulkan dari wilayah kekuasaan Majapahit yang meliputi Nusantara bahkan Asia Tenggara. Barang utama yang diperdagangkan antara lain rempah-rempah, beras, gading, timah, besi, intan, dan kayu cendana. Sejumlah pelabuhan terpenting pada masa itu adalah Hujung Galuh, Tuban, dan Gresik. Majapahit memegang dua peranan penting dalam dunia perdagangan. Pertama, Majapahit adalah sebagai kerajaan produsen yang menghasilkan barang-barang yang laku di pasaran. Hal ini bisa dilihat dari wilayah Majapahit yang demikian luas dan meliputi daerah-daerah yang subur. Kedua, peranan Majapahit adalah sebagai perantara dalam membawa hasil bumi dari daerah satu ke daerah yang lain. Perkembangan perdagangan Majapahit didukung pula oleh hubungan baik yang dibangun penguasa Majapahit dengan kerajaan-kerajaan tetangga. Barang-barang dari luar negeri dapat dipasarkan di pelabuhan-pelabuhan Majapahit. Dan sebaliknya, barang-barang Majapahit dapat diperdagangkan di negara-negara tetangga. Hubungan sedemikian tentu sangat menguntungkan perekonomian Majapahit. Dalam hal kepemilikan tanah, di Majapahit sama saja dengan yang berlaku di kerajaan-kerajaan sebelumnya. Begitu pula mengenai perpajakan dan tenaga kerja. Para petani selalu bergotong royong dalam hal bercocok tanam dan mengairi sawahnya.

Selanjutnya agama Hindu berkembang di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini dibuktikan dengan adanya prasasti- prasasti, Arca Siwa yang bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8. Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usana Deva. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.

Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada   ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis  pengamalan  ajaran  agama.  Dan  pada  masa  Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).

Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai  tahun  1921  usaha  pembinaan  muncul  dengan  adanya  Suita  Gama Tirtha  di  Singaraja.  Sara  Poestaka  tahun  1923  di  Ubud  Gianyar,  Surya kanta tahun1925 di Singaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durgha Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Pinandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 November tahun 1961 umat  Hindu  berhasil  menyelenggarakan  Dharma Asrama  para  Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia. Perkembangan dan kemajuan selanjutnya tentu akan terjadi seirama dengan perkembangan atau kemajuan Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan dunia pada umumnya.

 

 

 

B.  Teori-teori masuknya agama Hindu ke Indonesia

Dari  lembah  Sungai  Sindhu,  ajaran Agama  Hindu  menyebar  ke  seluruh pelosok dunia, seperti; ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Di Indonesia banyak ditemukan berbagai bentuk peninggalan sejarah  bercorak ke-‘Hindu’-an. Kehadiran budaya Hindu di Indonesia menyebabkan terjadinya akulturasi dan perubahan tatanan sosial, dan sistem religius dari Bangsa Indonesia. Akulturasi merupakan perpaduan beberapa budaya, dimana unsur-unsur kebudayaan itu menyatu dan hidup berdampingan saling mengisi serta tidak menghilangkan unsur-unsur asli dari kebudayaan aslinya. Kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia diterima dengan tidak begitu saja melainkan dengan melalui proses pengolahan dan penyesuaian kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tanpa menghilangkan unsur-unsur asli. Hal ini disebabkan karena;

1.         Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi sehingga masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah perbendaharaan kebudayaan aslinya.

2.         Kecakapan istimewa yang dimiliki Bangsa Indonesia atau lokal genius merupakan kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadian bangsanya.

3.         Pengaruh kebudayaan Hindu hanya bersifat melengkapi kebudayaan yang telah ada di Indonesia. Perpaduan budaya Hindu melahirkan akulturasi yang masih terpelihara sampai sekarang. Akulturasi tersebut merupakan hasil dari proses pengolahan kebudayaan asing “India” sesuai dengan kebudayaan Indonesia.

Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia, terjadi perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia. Hal ini tampak dengan dikenalnya pembagian masyarakat atas Varna “profesi” atau yang lebih dikenal dengan nama wangsa.

Perubahan yang terjadi tidak begitu berpengaruh besar terhadap ekonomi masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena masyarakat Indonesia telah mengenal sistim pelayaran dan perdagangan tersendiri jauh sebelum masuknya pengaruh tersebut. Sebelum masuknya pengaruh Hindu di Indonesia, sistem pemerintahan dipimpin oleh kepala suku yang dipilih karena ia dipandang memiliki kelebihan tertentu jika dibandingkan anggota masyarakat/kelompok lainnya. Setelah pengaruh Hindu masuk maka berdirilah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang berkuasa secara turun-temurun. Raja dianggap sebagai keturuanan dari Deva yang memiliki kekuatan, dihormati, dan dipuja, sehingga memperkuat kedudukannya untuk memerintah wilayah kerajaan secara turun temurun serta meninggalkan sistem pemerintahan kepala suku.

Agama Hindu dinyatakan masuk ke Indonesia pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis dari benda-benda purbakala pada zaman abad ke 4 Masehi dengan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yajña oleh Raja Mulawarman”. Sang Mulawarman adalah raja yang berperadaban tinggi, kuat, dan berkuasa merupakan putra dari Sang Aúwawarman, dan sebagai cucu dari Sang Maharaja Kundungga. Keterangan yang lain menyebutkan bahwa Raja Mulawarman melakukan yajña (Kenduri) pada suatu tempat suci untuk memuja Deva Siwa. Tempat itu disebut dengan “Vaprakeswara”.

Kehadiran Agama Hindu di Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, seperti berakhirnya jaman prasejarah Indonesia. Perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama dengan memuja Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Mengenai masuknya agama Hindu ke Indonesia, ada beberapa teori yang menjelaskan hal tersebut. Teori-teori yang dimaksud antara lain:

1.    Teori Brahmana;

Dikemukakan   oleh   J.C.   Van   Leur, berisi bahwa kebudayaan Hindu dibawa oleh para brahmana yang diundang oleh para kepala suku agar mereka dapat mensahkan/melegitimasi (investitur) kekuasaan mereka sebagai kepala suku di Indonesia sehingga setaraf dengan raja-raja di India. Teori ini pun dapat disanggah karena raja di Indonesia akan sangat sulit mempelajari kitab Veda dan ada pula aturan bahwa kaum Brahmana tidak  diperbolehkan  menyebrangi lautan, apalagi meninggalkan tanah kelahirannya

2.    Teori Ksatriya;

Dikemukakan oleh F.D.K Bosch dan C.C. Berg, berisi bahwa agama Hindu dibawa oleh kaum kasta Ksatria (raja, pangeran) yang melarikan diri ke Indonesia karena kalah perang/ kekacauan politik di India. Di Indonesia sendiri, mereka mendirikan kerajaan sendiri dengan bantuan masyarakat sekitar dan karena kedudukannya sebagai raja, maka penduduk pun akan pula menganut agama Hindu.

Teori ini pun juga memiliki kelemahan yaitu;

     Kalangan  ksatria  tidak  mengerti  agama  dan hanya mengurusi pemerintahan.

     Adanya  ketidakmungkinan  seorang  pelarian mendapat kepercayaan dan kedudukan mulia sebagai raja.

    Bukti arkeologis menunjukkan bahwa raja di Indonesia adalah raja asli Indonesia, bukan orang India.

3.    Teori Wesya;

Dikemukakan oleh N. J. Kroom, berisi bahwa agama Hindu dibawa oleh para pedagang India yang singgah dan menetap di Indonesia ataupun bahkan menikah dengan wanita Indonesia. Merekalah yang mengajarkan kepada masyarakat dimana mereka singgah. Teori ini pun dapat dibantah dimana hanyalah varna Brahmana yang  mampu  dan  bebas  mengetahui  isi dari kitab suci agama Hindu, veda. Ini disebabkan bahasa yang dipakai adalah bahasa kitab, Sansekerta, bukan bahasa sehari-hari, Pali

4.    Teori Sudra;

Dikemukakan oleh Van Faber berisi bahwa agama Hindu dibawa oleh para orang buangan berkasta Sudra (tawanan perang) yang dibuang dari India ke Nusantara. Teori ini lemah karena pada dasarnya kebudayaan Hindu bukanlah milik dan cakupan varna mereka sebab kebudayaan Hindu dianggap terlalu tinggi untuk mereka

5.    Teori Arus Balik

Teori ini berisi dua cara bagaimana Agama Hindu masuk ke Indonesia, antara lain:

     Para Brahmana diundang kepala suku di Indonesia untuk memberikan ajaran Hindu dan juga melakukan upacara Vratyastoma, yaitu       upacara   khusus   untuk   meng- Hindukan seseorang.

     Para  raja  di  Indonesia  pergi  ke  India untuk mempelajari agama Hindu. Setelah menguasai agama Hindu, mereka kembali ke Indonesia, memiliki kasta Brahmana, lalu mengajarkan agama Hindu kepada masyarakatnya.

Dari seluruh teori yang telah disebutkan di atas, teori Brahmana adalah teori yang paling dapat diterima karena yaitu.

        Agama Hindu dalam kehidupan di masyarakat segala upacara keagamaan cenderungdimonopoli oleh kaum Brahmana sehingga hanyalah Brahmana yang mungkin menyebarkan agama Hindu.

        Prasasti  yang  ditemukan  di  Indonesia  berbahasa  Sansekerta  yang merupakan bahasa kitab suci dan upacara keagamaan, bukan bahasa sehari-hari sehingga hanya dimengerti oleh Kaum Brahmana.

Diantara pendapat dan teori yang dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut di atas yang paling mendukung terkait dengan masuk dan diterimanya pengaruh Hindu oleh bangsa Indonesia adalah teori brahmana. Hal ini dilandasi dengan asumsi dan pemikiran bahwa, yang paling banyak tahu tentang urusan agama adalah golongan “varna” brahmana. Varna brahmana dalam tata kehidupan masyarakat Hindu disebut-sebut sebagai kelompok masyarakat yang ahli agama.

Sedangkan teori-teori yang lainnya masing-masing memiliki kelemahan tertentu dan kurang sesuai dengan situasi dan kondisi daerah yang dituju serta sifat-sifat Hindu itu sendiri. Demikianlah beberapa teori yang dikemukan oleh para ahli tentang bagaimana pengaruh Hindu masuk ke Indonesia pada jamannya.

 

C.  Bukti-bukti monumental peninggalan Prasejarah dan sejarah  perkembangan  Agama  Hindu  di Indonesia

Zaman  Prasejarah tidak meninggalkan bukti-bukti berupa tulisan. Zaman prasejarah hanya meninggalkan benda-benda atau alat-alat hasil kebudayaan manusia. Peninggalan seperti itu disebut dengan artefak. Artefak dari zaman prasejarah terbuat dari batu (jaman batu atau teknologi jaman batu) tanah liat dan perunggu. Berikut ini peninggalan zaman prasejarah di Indonesia:

1.    Kapak Genggam

Kapak   genggam   juga   disebut   dengan nama kapak perimbas. Alat ini berupa batu yang dibentuk menjadi semacam kapak. Teknik pembuatannya masih kasar, bagian tajam hanya pada satu sisi. Alat tersebut belum bertangkai, dan digunakan dengan cara digenggam. Daerah atau tempat ditemukannya benda prasejarah ini adalah di wilayah Indonesia, antara lain di; Lahat Sumatera   Selatan,   Kalianda   Lampung, Awangbangkal Kalimantan Selatan, Cabbenge Sulawesi Selatan dan Trunyan

2.    Alat Serpih.

Alat serpih adalah merupakan batu pecahan sisa dari pembuatan kapak genggam yang dibentuk menjadi tajam. Alat tersebut berfungsi sebagai serut, gurdi, penusuk dan pisau. Daerah atau tempat ditemukannya benda-benda pra-sejarah ini adalah; di daerah Punung, Sangiran, dan Ngandong (lembah Sungai Bengawan Solo); Gombong Jawa Tengah; lahat; Cabbenge; dan Mengeruda Flores Nusa Tenggara Timur.

3.    Sumateralith.

Sumateralith nama lainnya adalah Kapak genggam Sumatera. Teknik atau cara pembuatannya adalah lebih halus dari kapak perimbas. Bagian tajam sudah ada pada di kedua sisi. Cara menggunakannya masih digenggam. Daerah tempat ditemukannya benda prasejarah ini adalah bertempat di daerah Lhokseumawe Aceh dan Binjai Sumut.

4.    Beliung persegi

Beliung persegi adalah merupakan alat alat- alat penemuan jaman prasejarah dengan permukaan memanjang dan berbentuk persegi     empat.     Seluruh     permukaan alat tersebut telah digosok halus. Sisi pangkal diikat pada tangkai, sisi depan diasah sampai tajam. Beliung persegi berukuran besar berfungsi sebagai cangkul. Sedangkan yang berukuran kecil berfungsi sebagai alat pengukir rumah atau pahat. Daerah tempat ditemukan benda prasejarah ini adalah di beberapa daerah Indonesia,

5.    Kapak Lonjong

Kapak Lonjong adalah merupakan alat penemuan jaman prasejarah yang berbentuk lonjong. Seluruh permukaan alat tersebut telah digosok halus. Sisi pangkal agak runcing dan diikat pada tangkai. Sisi depan lebih melebar dan diasah sampai tajam. Alat ini dapat digunakan untuk memotong kayu dan berburu. Daerah ditemukan benda ini adalah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti di; Sulawesi,  Flores, Tanimbar,  Maluku  dan Papua.

6.    Mata panah

Mata panah adalah merupakan benda prasejarah berupa alat berburu yang sangat penting. Selain untuk berburu, mata panah digunakan untuk menangkap ikan, mata panah dibuat bergerigi. Selain terbuat dari batu, mata panah juga terbuat dari tulang. Daerah ditemukan benda prasejarah adalah di; Gua Lawa, Gua Gede, Gua petpuruh (Jatim), Gua Cakondo, Gua Tomatoa kacicang,  Gua  Saripa  (sulsel).  Gambar:

7.    Alat dari tanah liat

Alat dari tanah liat adalah peralatan jaman pra sejarah yang dibuat dari tanah liat. Benda-benda tersebut antara lain; Gerabah, alat ini dibuat secara sederhana, tapi pada masa perundagian alat tersebut dibuat dengan  teknik  yang  lebih  maju. 

8.    Bangunan megalithic

Bangunan megalithic adalah bangunan- bangunan yang terbuat dari batu besar didirikan untuk keperluan kepercayaan. Bentuk bangunan ini biasanya tidak terlalu halus, hanya diratakan secara sederhana untuk dapat dipergunakan seperlunya. Adapun hasil-hasil terpenting dari kebudayaan megalithic antara lain: Menhir, Dolmen, Sacophagus (kranda), Batu kubur, dan Punden berundak-undak.

9.    Nekara dari perunggu

Nekara adalah semacam berumbung dari perunggu yang berpinggang di bagian tengahnya dan sisi atasnya tertutup. Diantara  nekara-nekara  yang  ditemukan di negeri kita, sangat sedikit yang masih utuh, kebanyakan di antaranya sudah rusak dan yang tertinggal hanya berupa pecahan- pecahan sangat kecil. Adapun tempat ditemukannya Nekara perunggu di negara kita antara lain seperti di; Sumatera, Jawa, Bali, Pulau Sangean dekat Sumbawa, Roti, Leti, Selayar dan Kepulauan Kei. Di Alor juga terdapat Nekara, namun bentuknya lebih kecil dan ramping, dibandingkan dengan  nekara  yang  terdapat  di  daerah lainnya. 

 

 

A. Peninggalan Sejarah Hindu di Indonesia

Sejarah menyatakan bahwa “Maha Rsi Agastya” yang menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan sebagai bukti yang terdapat  pada  beberapa  prasasti  di  pulau  Jawa dan lontar-lontar di pulau Bali. Menurut data peninggalan sejarah tersebut dinyatakan bahwa Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke  Indonesia  melalui  Sungai  Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Karena begitu besar jasa-jasa Rsi Agastya dalam penyebaran ajaran Agama Hindu, maka namanya disucikan di  dalam  prasasti,  antara  lain;  Prasasti  Dinaya yang berada di Jawa Timur dan bertahun Saka 682, dimana seorang patih raja yang bernama Gaja Yana membuatkan pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud untuk memohon kekuatan suci dari beliau (Rsi Agastya). Dan Prasasti Porong di Jawa Tengah bertahun Saka 785, juga menyebutkan keagungan serta kemuliaan jasa-jasa Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka terdapat istilah atau julukan yang diberikan untuk beliau, diantaranya Agastya Yatra yang artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Dan julukan Pita Segara, yang artinya “Bapak dari Lautan” karena beliau yang mengarungi lautan luas demi untuk Dharma.

Sebelum pengaruh Hindu masuk dan diterima oleh Bangsa Indonesia, berdasarkan hasil penelitian yang diadakan oleh J. Brandes menyatakan bahwa Bangsa Indonesia telah mengenal sepuluh (10) macam unsur kebudayaan asli. Kesepuluh jenis kebudayaan asli itu meliputi; sistem berlayar, sistem perbintangan, sistem mata uang, sistim gerabah, seni membatik, seni wayang, sistem berburu, pola menetap, sistem bertani, dan sistem religi. Dari berbagai sistem yang dikenal itu mereka meninggalkan berbagai kebudayaan seperti; yang berasal dari zaman megalith dan perunggu berupa; menhir, dolmen, sarkopagus, kuburan batu “pandhusa”, punden berundak-undak, arca perwujudan nenek moyang, dan berbagai jenis nekara. Bangsa Indonesia telah mengenal dan menganut sistem kepercayaan terhadap roh nenek moyang- nya. Pemujaan kepada roh nenek moyang mempergunakan arca perwujudan. Arca perwujudan itu diletakkan pada tempat “tanah” yang lebih tinggi dalam bentuk funden berundag-undag. Tekhnis pemujaan kepada arwah leluhurnya.

Bersamaan dengan berkembangnya pengaruh Hindu keseluruh dunia termasuk Indonesia,  maka  terjadilah  akulturasi  antara  kebudayaan  asli  Indonesia dengan kebudayaan India yang dijiwai oleh agama Hindu. Selanjutnya secara berangsur-angsur peradaban Hindu mempengaruhi dan menjiwai peradaban asli Indonesia sesuai dengan sifat-sifatnya. Untuk semuanya itu terkait tentang bukti-bukti peninggalan sejarah ke ‘Hindu’ an, dapat diuraikan sebagai berikut;

1)    Kutai

Kutai terletak di Pulau Kalimantan bagian Timur. Pada abad ke empat (4) Masehi berkembanglah disana sebuah kerajaan yang bernama Kutai, dipimpin   oleh   Aswawarman   yang   disebut- sebut  sebagai putra  dari Kundungga.  Di  Kutai diketemukan 7 buah Prasasti yang berbentuk Yupa. Yupa adalah tiang batu/tugu peringatan untuk melaksanakan upacara kurban. Yupa sebagai prasasti bertuliskan huruf Pallawa, berbahasa sanskerta dan tersusun dalam bentuk syair. Salah satu diantara batu bertulis tersebut ada yang menuliskan “Sang Maha Raja Kundungga yang amat mulia, mempunyai putra yang masyur, Sang Açwawarman namanya, seperti Ançuman (Deva Matahari), menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Açwawarman mempunyai tiga putra, seperti api yang suci ketiganya. Yang terkemuka dari   ketiganya   itu   ialah   Sang   Mulawarman raja  yang  bijaksana,  kuat,  dan  berkuasa.  Sang  Mulawarman  telah  mengadakan  yajna  dengan  mempersembahkan  emas yang banyak”. Pada bagian lain disebutkan pula bahwa “Sang Mulawarman raja mulia dan terkemuka, telah mempersembahkan yajna berupa dua puluh ribu (20.000) ekor sapi kepada para brahmana bertempat di lapangan suci waprakeswara. Waprakeswara adalah lapangan suci sebagai tempat untuk memuja Çiwa.

R. Soekmono menyatakan bahwa, Kundungga adalah bukan kata sanskerta. Kundungga adalah seorang kepala suku penduduk asli Indonesia yang belum banyak mendapat pengaruh kebudayaan India. Purbatjaraka mengatakan, bahwa Kundungga bukan sosok yang terkenal di India. Mungkin beliau adalah orang Indonesia asli yang sudah menerima pengaruh kebudayaan India.  Sehingga  nama-nama  keturunannya  disesuaikan  dengan  budaya India selatan. Sebagaimana kita ketahui melalui penuturan sejarah bahwa budaya orang-orang India selatan sering mempergunakan akhiran “warman” (pelindung)   dalam   memberikan   nama-nama   keturunannya.   Sedangkan, Krom menyatakan bahwa, Kundungga adalah tipe India Selatan, karena disana diketemukan istilah tempat yang disebut Kundukura. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut di atas tentang asal sebutan Kundungga, yang utama patut kita ketahui dan diingat adalah apa saja peninggalan agama Hindu yang terdapat di Kutai pada masa lalu sampai sekarang. Berdasarkan penemuan peninggalan sejarah berupa batu bertulis (Yupa) dapat diketahui bahwa Agama Hindu telah berkembang dengan subur di Kutai. Hindu sebagai agama telah diterima oleh masyarakat Kutai dan pada abad ke empat (4) Masehi. Adapun pengaruh agama Hindu yang diterima oleh masyarakat Kutai adalah Hindu ajaran çiwa.

2)    Jawa Barat

Jawa Barat merupakan bagian dari pulau jawa. Pada zaman raja-raja di nusantara ini, Jawa Barat merupakan salah satu daerah pusat berkembangnya Agama Hindu. Disekitar tahun 400-500 Masehi Jawa Barat diperintah oleh seorang raja yang bernama “Purnawarman” dengan kerajaannya bernama Taruma Negara. Kerajaan Taruma Negara meninggalkan banyak prasasti, diantaranya adalah prasasti; Ciaruteun, Kebon Kopi, Tugu, dan prasasti Canggal. Prasasti-prasasti itu kebanyakan ditulis dengan mempergunakan hurup Pallawa dan berbahasa sanskerta yang digubah dalam bentuk syair (Soekmono, “Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia II” Kanisius, 1973).

Penemuan sebuah prasasti yang mengungkapkan tentang kehidupan manusia memiliki nilai tersendiri dalam membicarakan perkembangan agama Hindu di nusantara ini. Dalam prasasti Ciaruteun terdapat lukisan dua telapak kaki Sang Purnawarman yang disamakan dengan tapak kaki Deva Wisnu. Ini memberikan petunjuk kepada kita bahwa raja Purnawarman penganut ajaran Hindu. Deva Wisnu dalam konsep Ketuhanan ajaran Hindu merupakan manifestasi dari Sang Hyang Widhi sebagai Deva kemakmuran. Gambar telapak kaki gajah dari Sang Raja kita dapat temukan didalam prasasti Kebon Kopi, ini dapat dihubungkan dengan telapak kaki gajah Airawata (gajah Indra). Prasasti Tugu yang terdapat di Jakarta menuliskan bahwa, raja Purnawarman dalam tahun pemerintahannya yang ke 22 telah berhasil menggali sebuah sungai yang disebut sungai gomati. Sungai ini memiliki panjang 6122 busur ± 12 Km dalam waktu 21 hari. Setelah selesai diakan upacara korban serta sedekah berupa 1000 ekor lembu kepada para brahmana. Dalam prasasti Canggal yang mempergunakan angka tahun candra sengkala “Sruti Indra rasa” berarti tahun 654 çaka (tahun 732 masehi) menyebutkan bahwa, Raja Sanjaya mendirikan sebuah Lingga sebagai simbol memuja Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Çiwa. Dalam prasasti ini juga memuat kata-kata pujian kepada Deva Brahma, Wisnu, dan Çiwa. Hal ini dapat dihubungkan dengan konsepsi Tri Murti.

Seluruh penemuan tersebut dapat dipergunakan sebagai referensi bahwa pada masa pemerintahan raja Purnawarman di Jawa Barat Agama Hindu dapat berkembang dengan sangat berat dan beliau adalah penganut Hindu idialis. Berikut ini adalah catatan peninggalan sejarah berupa Prasasti di Indonesia, antara lain:

 

No.         Nama Prasasti                      Lokasi Penemuan                               Pembuatan                           Peninggalan

1              Kutai                                      Kutai, Kaltim                                       Abad ke-4 M                        Kutai

2              Ciaruteun                              Bogor, Jabar                                         Abad ke-5 M                        Tarumanegara

3              Tugu                                      Cilincing, Jakut                   Abad ke-5 M                        Tarumanegara

4              Jambu                                    Bogor, Jabar                                         Abad ke-5 M                        Tarumanegara

5              Kebon Kopi                         Bogor, Jabar                                         Abad ke-5 M                        Tarumanegara

6              Cidanghiang                        Pandeglang                                          Abad ke-5 M                        Tarumanegara

7              Pasir Awi                              Leuwiliang, Jabar                               Abad ke-5 M                        Tarumanegara

8              Muara Cianten                     Bogor, Jabar                                         Abad ke-5 M                        Tarumanegara

9              Canggal                 Magelang, Jateng                                Abad ke-7 M                        Mataram Lama

10           Kalasan                 Yogyakarta                                          Tahun 732 M                       Mataram Lama

11           Dinoyo                  Malang, Jatim                                      Tahun 760 M                       Mataram Lama

12           Kedu                                      Temanggung, Jateng                          Tahun 778 M                       Mataram Lama

13           Sanur                                     Bali                                                        Abad ke-9 M                        Bali

 

Prasasti adalah benda peninggalan sejarah yang berisi tulisan dari masa lampau. Tulisan itu dicatat di atas batu, logam, tanah liat, dan tanduk binatang. Prasasti peninggalan Hindu ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Prasasti tertua adalah Prasasti Yupa, dibuat sekitar tahun 350-400 M. Prasasti Yupa berasal dari Kerajaan Kutai. Yupa adalah tiang batu yang digunakan pada saat upacara korban. Hewan kurban ditambatkan pada tiang ini. Prasasti Yupa terdiri dari tujuh batu bertulis. Isi Prasasti Yupa adalah syair yang mengisahkan  Raja Mulawarman. Berikut ini daftar prasasti-prasasti peninggalan kebudayaan Hindu.

3)    Jawa Tengah

Suburnya peradaban agama Hindu di Jawa Tengah dapat kita ketahui dari diketemukannya prasasti Tukmas. Prasasti ini ditulis dengan huruf Pallawa, berbahasa sanskerta dengan tipe tulisan berasal dari tahun 650 Masehi. Prasasti Tukmas memuat gambar-gambar atribut; Deva Tri Murti, seperti; Triçula lambang Deva Çiwa, Kendi lambang Deva Brahma, dan Cakra lambang Deva Wisnu. Prasasti ini juga menjelaskan tentang adanya sumber mata air yang jernih dan bersih yang dapat disamakan dengan sungai Gangga.

Sumber  berita  Tionghoa  berasal  dari  masa  pemerintahan  raja-raja  Tang tahun 618-696 Masehi. Di Jawa Tengah dinyatakan berdiri Kerajaan Kaling yang pada tahun 674 Masehi diperintah oleh raja perempuan bernama “Raja Sima”  yang  memiliki  sistem  pemerintahan  sangat  jujur.  Dikatakan  Raja Sima secara sengaja menaruh kantong berisi emas di tengah jalan, dan tidak seorangpun berani menyentuhnya. Dalam kurun waktu kurang lebih 3 tahun secara kebetulan kantong tersebut disentuh oleh kaki putranya. Hukuman mati dijatuhkan kepada putranya itu, namun setelah abdinya mengajukan permohonan hukuman potong kaki mengingat yang salah adalah kaki putranya, hukuman potong kaki untuk putranya pun dilaksanakan. Selanjutnya menurut prasasti  Canggal  yang  berangka  tahun  732  Masehi  menyebutkan  bahwa Raja Sanjaya mendirikan Lingga sebagai tempat pemujaan Çiwa bertempat disebuah bukit Kunjarakunja. Di Gunung wukir terdapat candi induk dengan 3 buah candi perwara, di dalam candi induk terdapat Yoni sebagai alas Lingga. Raja Sanjaya adalah putra raja Sanaha sebagai saudara perempuan dari Raja Sima. Sanjaya adalah penerus dari kerajaan Mataram di Jawa Tengah.

Berdasarkan penuturan sejarah Jawa Tengah tersebut dapat ditarik suatu pernyataan bahwa pada masa pemerintaha raja-raja disana telah tumbuh peradaban Agama Hindu dengan sangat baik. Para raja dan masyarakatnya telah mendapat tuntunan ajaran agama dengan sangat baik sehingga kehidupan pada umumnya mejadi damai dan masyarakatnya-pun dapat mencapai kemakmuran dan keadilan. Semunya itu terjadi karena ajaran Hindu dipahami, dipelajari, dan dipraktikan dengan sungguh-sungguh, yang dapat dibuktikan dengan adanya beberapa peninggalan candi sebagai sarana pemujaan Tuhan oleh umat sedharma. Berikut ini adalah daftar peninggal candi Hindu di Indonesia;

 

No.         Nama Candi                         Lokasi Penemuan                               Pembuatan                           Peninggalan

1              Prambanan                           Yogyakarta                                          Abad ke-7 M                        Mataram Lama

2              Dieng                                     Dieng,    Jawa Tengah                        Abad ke-7 M                        Mataram Lama

3              Badut                                     Malang, Jawa Timur                          Tahun 760 M                       Kanjuruhan

4              Canggal                                 Jawa Tengah                                        Abad ke-8 M                        Mataram Lama

5              Gedong Sanga                     Jawa Tengah                                        Abad ke-8 M                        Mataram Lama

6              Penataran                              Blitar, Jawa Timur                              Abad ke-11M                      Kediri

7              Sawentar                               Blitar Jawa Timur                               Abad ke-12 M                     Singasari

8              Candi Kidal                          Jawa Timur                                          Abad ke-12 M                     Singasari

9              Singasari                               Jawa Timur                                          Abad ke-12 M                     Singasari

10           Sukuh                                    Karang Anyar, Jateng                        Abad ke-13 M                     Majapahit

 

Candi Prambanan dibangun pada sekitar tahun 850 Masehi oleh salah seorang dari kedua orang ini, yakni: Rakai Pikatan, raja kedua wangsa Mataram I atau Balitung Maha Sambu, semasa wangsa Sanjaya. Tidak lama setelah dibangun, candi ini ditinggalkan dan mulai rusak. Candi Prambanan adalah candi Hindu terbesar di Asia Tenggara, tinggi  bangunan  utamanya  adalah  setinggi  47 m. Kompleks candi ini terdiri dari 8 kuil atau candi utama yang kokoh dan lebih daripada 250 candi kecil. Tiga candi utama disebut Trisakti dan dipersembahkan kepada sang hyang Trimurti: Batara Siwa sang Penghancur, Batara Wisnu sang Pemelihara dan Batara Brahma sang Pencipta.

Candi Arjuna adalah sebuah kompleks candi Hindu peninggalan dari abad ke-7-8 yang terletak di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia. Dibangun pada tahun 809, Candi Arjuna merupakan salah satu dari delapan kompleks candi yang ada di Dieng. Ketujuh candi lainnya adalah Semar, Gatotkaca, PuntaDeva, Srikandi, Sembadra, Bima dan Dwarawati. Di kompleks candi ini terdapat 19 candi namun hanya 8 yang masih berdiri. Bangunan-bangunan candi ini saat ini dalam kondisi yang memprihatinkan. Batu-batu candi ada yang telah rontok, sementara di beberapa bagian bangunan ini terlihat retakan yang memanjang selebar 5 cm. Candi Srikandi terletak di utara Candi Arjuna. Batur candi setinggi sekitar 50 cm dengan denah dasar berbentuk kubus. Di sisi timur terdapat tangga dengan bilik penampil.

Candi Badut terletak di kawasan Tidar, kota Malang.  Candi  ini  diperkirakan  berusia  lebih dari 1400 tahun dan diyakini adalah peninggalan Prabu Gajayana, penguasa kerajaan Kanjuruhan sebagaimana yang termaktub dalam prasasti Dinoyo pada tahun 760 Masehi silam.

4)    Jawa Timur

Kata Badut di sini berasal dari bahasa sansekerta “Bha-dyut” yang berarti sorot Bintang Canopus atau Sorot Agastya. Candi ini ditemukan pada tahun 1921 dimana bentuknya pada saat itu hanya berupa gundukan bukit batu, reruntuhan dan tanah. Orang pertama yang memberitakan keberadaan Candi Badut adalah Maureen Brecher, seorang kontrolir bangsa Belanda yang bekerja di Malang. Candi Badut dibangun kembali pada tahun 1925-1927 di bawah pengawasan B. De Haan dari Jawatan Purbakala Hindia Belanda. Dari hasil penggalian yang dilakukan pada saat itu diketahui bahwa bangunan candi telah runtuh sama sekali, kecuali bagian kaki yang masih dapat dilihat susunannya.

Keberadaan kerajaan Kanjuruan dapat kita pergunakan sebagai salah satu landasan untuk mengetahui peradaban agama Hindu di Jawa Timur. Prasasti Dinaya merupakan bukti peninggalan sejarah kerajaan Kanjuruan. Prasasti ini banyak membicarakan tentang perkembangan agama Hindu di Jawa Timur. Prasasti Dinoyo ditulis mempergunakan hurup kawi (Jawa Kuno) dengan bahasa sanskerta menuliskan angka tahun 760 Masehi. Dikisahkan bahwa dalam abad ke 8 kerajaan yang berpusat di Kanjuruan bernama Deva Simha. Beliau memiliki putra yang bernama Limwa, setelah menggantikan ayahnya sebagai raja bernama Gajayana. Raja Gajayana mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk memuliakan Maha Rsi Agastya. Arca Maha Rsi Agastya pada mulanya terbuat dari kayu cendana, kemudian diganti dengan arca batu hitam.

Peresmian arca Maha Rsi Agastya dilaksanakan dalam tahun 760 Masehi. Pelaksanaan upacaranya dipimpin oleh para pendeta ahli Veda. Pada saat itu pula Raja Gajayana dikisahkan mengahadiahkan tanah, lembu, dan bangunan untuk para brahmana dan para tamu. Dinyatakan bahwa salah satu bentuk bangunan itu yang berasal dari zaman kerajaan Kanjuruan adalah “Candi Badut”. Di dalam candi inilah diketemukan sebuah lingga sebagai perwujudan dari Deva Çiwa. Di dalam prasasti Dinaya juga dituliskan tentang perjalanan Maha  Rsi Agastya  dari  India  menuju  Indonesia  untuk  menyebarkan  dan mengajarkan Agama Hindu.

Selanjutnya perkembangan Agama Hindu di Jawa Timur dapat kita ketahui dari berdirinya Dinasti Isyanawangça yang berkuasa tahun 929-947 Masehi. Dinasti  ini  diperintah  oleh  Mpu  Sendok,  yang  mempergunakan  gelar “Isyana Tunggawijaya”. Isyana Tunggawijaya berarti raja yang memuliakan pemujaan kehadapan Deva Çiwa. Setelah kekuasaan Isyana Tunggawijaya berakhir, berkuasalah raja Airlangga yang memerintah sampai tahun 1049 Masehi. Raja Airlangga dinobatkan sebagai pengganti raja Dharmawangça yang memerintah sampai tahun 1019 Masehi. Beliau bergelar “Çri Maharaja Rake Halu Çri Lokeçwara Dharmawangça Airlangga Anantawikramottungga Deva”  yang  dinobatkan  oleh  Pendeta  Çiwa  dan  Budha.  Raja Airlangga setelah mengundurkan diri dari tahtanya, beliau wafat tahun 1049 Masehi dan dimakamkan di candi belahan. Airlangga diwujudkan sebagai Deva Wisnu dengan arca wisnu duduk di atas garuda.

Banyak  karya  sastra  bernafaskan  ajaran  Agama  Hindu  diterbitkan  pada zaman Dharmawangça, diantaranya kitab Purwadigama yang bersumber pada kitab Menawa Dharmasastra. Sedangkan kitab Negara Kertagama, Arjuna Wiwaha, Sutasoma dan yang lainnya muncul pada zaman Majapahit. Pada zaman ini juga dibangun berbagai macam candi seperti candi Penataran di Blitar. Berdasarkan petunjuk peninggalan sejarah seperti tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa peradaban Agama Hindu di Jawa Timur sangat pesat.

Wujud patung Hindu antara lain hewan dan manusia. Patung berupa hewan dibuat karena hewan tersebut dianggap memiliki kesaktian. Patung berupa manusia dibuat untuk mengabadikan tokoh tertentu dan untuk menggambarkan Deva Devi. Contoh patung peninggalan kerajaan Hindu yang terkenal adalah Patung Airlangga sedang menunggang garuda. Dalam patung itu, Airlangga digambarkan  sebagai  penjelmaan  Deva Wisnu.  Jenis  Patung  peninggalan Hindu Indonesia adalah;

 

No.         Nama Patung                       Lokasi Penemuan                               Pembuatan                           Peninggalan

1              Trimurti                                -                                                              -                                              -

2              Dwarapala                            Bogor, Jabar                                         Abad ke-5 M                        Tarumanegara

3              Wisnu Cibuaya I Cibuaya, Jabar                                     Abad ke-5 M                        Tarumanegara

4              Wisnu Cibuaya II               Cibuaya, Jabar                                     Abad ke-5 M                        Tarumanegara

5              Rajasari                 Jakarta                                                   Abad ke-5 M                        Tarumanegara

6              Airlangga                             Medang Kemulan                               Abad ke-10 M                     Medang Kemulan

7              Ken Dedes                            Kediri, Jatim                                        Abad ke-12 M                     Kediri

8              Kertanegara                         Jawa Timur                                          Abad ke-12 M                     Singasari

9              Kertarajasa                           Mojekerto, Jatim                 Abad ke-13 M                     Majapahit

 

5)    Bali

Keberadaan agama Hindu di Bali merupakan kelanjutan dari agama Hindu yang berkembang di Jawa. Pertama kalinya disebut-sebut dikembangkan oleh Maha Rsi Markandheya bertempat di Besakih yang sekarang dikenal dengan  nama  ‘Pura  Besakih’. Agama Hindu yang datang ke Bali disertai oleh Agama Budha. Setelah di Bali kedua agama tersebut berakulturasi dengan harmonis   dan   damai.   Kejadian   ini sering disebut dengan sinkritisme Çiwa– Budha. Di sekitar zaman pra sejarah sebelum pengaruh Hindu berkembang di Bali masyarakatnya telah mengenal sistem kepercayaan dan pemujaan.

a)      Kepercayaan  kepada  gunung  sebagai  tempat  suci.  Gunung  oleh masyarakat Bali dipandang sebagai tempat bersemayamnya para roh nenek-moyang yang telah disucikan.

b)      Sistem  penguburan  yang  mempergunakan  sarkopagus  (peti  mayat). Setiap orang yang meninggal dikubur dengan kepala menuju arah gunung dan kakinya menuju arah laut. Hal ini memberikan inspirasi kepada kita bahwa gunung dan laut melambangkan sebagai ulu dan teben, kepala dan kaki, purusa dan peredana, serta utama mandala dan nista mandala.

c)      Kepercayaan adanya alam sekala dan niskala. Alam sekala merupakan tempat hidup dan kehidupan manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Sedangkan alam niskala diyakini sebagai tempat bersemayamnya Ida Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya dan roh suci manusia setelah meninggalkan jasadnya.

d)      Kepercayaan  adanya  penjelmaan  (Punarbhawa).  Masyarakat  Bali “Hindu” percaya bahwa roh seseorang yang meninggalkan jasadnya setelah kurun waktu tertentu menjelma kembali ke dunia nyata ini.

e)      Kepercayaan bahwa roh nenek-moyang orang bersangkutan dapat setiap saat memberikan perlindungan, petunjuk, sinar dan tuntunan rohani kepada generasinya.

 

Demikianlah sistem kepercayaan masyarakat Bali sebelum pengaruh ajaran Hindu datang ke Bali. Sistem kepercayaan masyarakat Bali nampak memiliki pola sangat sederhana. Setelah datangnya Maha Rsi Markhandeya di Bali pola kepercayaan yang sederhana itu kembali disempurnakan. Keterangan tentang Maha Rsi Markhandeya menyebarkan pengaruh Hindu di Bali dapat diketahui  melalui kitab Markhandeya  Purana. Kitab  tersebut menyatakan bahwa untuk pertama kalinya pengaruh Hindu di Bali disebarkan oleh Maha Rsi Markhandeya. Beliau datang ke Bali diperkirakan disekitar abad ke 4-5 Masehi melalui gunung Semeru (Jawa Timur) menuju daerah gunung Agung (Tolangkir) dengan tujuan hendak membangun asrama atau penataran. Kedatangan beliau untuk pertama kalinya diikuti oleh 400 orang pengiring, namun dikisahkan kurang berhasil. Setelah pulang ke Jawa, beliau kembali datang ke Bali dengan pengiring sebanyak 2000 orang. Kedatangan beliau yang ke dua ini berhasil menanam panca datu di kaki gunung Agung (Besakih) sekarang.

Selanjutnya dikisahkan bahwa Maha Rsi Markhandeya berkehendak untuk merabas hutan untuk dijadikan sawah guna meningkatkan kesejahtraan para pengiringnya. Hutan yang dirabas itu bernama Desa Sarwada (Desa Taro) sekarang. Di Desa Sarwada inilah beliau mendirikan tempat suci yang sekarang bernama Pura Desa Taro. Pada tempat suci ini beliau meninggalkan sebuah prasasti yang isinya mengisahkan kebesaran jiwa Maha Rsi Markhandeya.

Selama menetap di Bali Maha Rsi Markhandeya secara berangsur-angsur mulai meningkatkan kepercayaan masyarakat Bali.

1)      Masyarakat Bali mulai diajarkan melakukan pemujaan kehadapan Sang Hyang Widhi. Sang Hyang Tuduh, Sang Hyang Prama Kawi, Sang Hyang Prama Wisesa dan yang lainnya adalah sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa. Dengan mempersembahkan upakara api, air, bunga dan buah beliau menyembah kehadapan Surya “nyuryasewana” tiga kali sehari memuja kebesaran Tuhan. Unsur-unsur upakara yang dipersembahkan itu disebut alat-alat bebali. Selanjutnya beliau mengajarkan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan adalah untuk mewujudkan keselamatan, hendaknya didahului dengan mempersembahkan bebali kehadapan Sang Hyang Widhi. Ajaran yang demikian disebut agama bebali.

2)      Pada saat itu pula mulai dikenal tentang daerah Bali. Bali diartikan daerah yang segala sesuatunya mempergunakan sesajen atau sarana bebali. Masyarakat Bali yang menjadi pengiringnya dan mendiami daerah pegunungan disebut orang-orang Bali aga.

3)      Pura Besakih mulai dibangun dan difungsikan sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Waça guna memohonkaan keselamatan umatnya. Tempat suci lainnya yang dibangun oleh beliau adalah Pura Andakasa, Lempuyang, Watukaru, Sukawana dan yang lainnya.

4)      Warna merah dan putih mulai dipergunakan sebagai ider-ider atau umbul- umbul di tempat-tempat suci. Kedua warna itu melambangkan kesucian yang bersumber dari warna surya dan bulan.

5)      Upacara bebali untuk keselamatan binatang dan peternakan ditetapkan pada tumpek kandang atau hari sabtu-kliwon wuku uye. Sedangkan untuk keselamatan tumbuh-tumbuhan ditetapkan pada tumpek pengatag atau hari sabtu-kliwon wuku wariga. Personifikasi Tuhan Yang Mahaesa yang menganugrahkan keselamatan kepada binatang dan tumbuh-tumbuhan disebut Sang Hyang Rareangon dan Sang Hyang Tumuwuh.

Upaya dan usaha pelestarian agama Hindu di Bali setelah Maha Rsi Markhandeya dilanjutkan oleh Mpu Sang Kulputih. Beliau disebut-sebut sebagai pemongmong Pura Besakih. Banyak peran yang dilaksanakan dan diambil oleh beliau dalam meningkatkan peran dan kualitas Agama Hindu.

1)      Mengajarkan tentang bebali dalam bentuk seni yang mengandung makna simbolis dan suci.

2)      Mengajarkan  orang-orang  Bali  aga  menjadi  orang-orang  suci  untuk Pura Kahyangan, seperti; Pemangku, Jro Gede, Jro Prawayah dan Jro Kebayan. Untuk menjadikan diri orang bersangkutan suci diajarkan pula tentang tata cara melakukan tapa, brata, yoga dan semadhi.

3)      Mpu Sang Kulputih juga mengajarkan masyarakat untuk melaksanakan hari-hari suci, seperti; Galungan, Kuningan, Sugian, Pagerwesi, Tumpek, dan yang lainnya. Disamping itu juga mengajarkan tentang tatacara membuat arca lingga dari kayu, logam atau uang kepeng sebagai perwujudan dari Ida Sang Hyang Widhi Waça beserta manifestasinya.

 

Bertempat di Pura Puseh (Desa Bedulu Gianyar) ditemukan peninggalan arca Çiwa. Menurut tipenya arca itu dinyatakan serupa dengan arca Çiwa yang terdapat di Candi Dieng. A.J Bernet Kemper mengatakan arca tersebut berasal dari abad ke 8 Masehi.

Prasasti Blanjong yang berangka tahun 913 Masehi menyebutkan bahwa Raja Putri Mahendradatta yang bergelar Gunapriya Dharmapatni mangkat di Buruan Kutri Gianyar. Beliau diwujudkan dalam bentuk Dhurga Mahisa Asura Mardhani yaitu Bhatari Dhurga yang sedang membunuh para setan yang ada di badan seekor kerbau. Prasasti tersebut kini tersimpan di Pura Blanjong Sanur.

Pada masa pemerintahan Raja Marakatta Pangkaja Sthanottungga Deva tahun 944-948 çaka (1022-1026 Masehi) datanglah Mpu Kuturan ke Bali. Beliau berasal dari Jawa Timur, setibanya di Bali membangun asrama di Padangbai (Pura Silayukti) sekarang. Oleh beliau masyarakat Bali diajarkan tentang silakrama,  filsafat tentang  makrokosmos  dan  mikrokosmos,  Sang  Hyang Widhi, Jiwatman, Karmaphala, Wali dan Wewalen. Beliau juga mengajarkan tentang Kusuma Deva, Widhi Sastra, Sangkara Yoga dan tatacara membangun Kahyangan atau bangunan suci lainnya. Bangunan suci yang ada sampai sekarang dibangun menurut ajaran beliau adalah;

1)    Sanggah Kemulan, Taksu dan Tugu untuk setiap rumah tangga dalam satu pekarangan.

2)      Sanggah Pamrajan yang terdiri dari; Surya, Meru, Gedong, Kemulan, Taksu, Pelinggih Pengayatan Sad Kahyangan, dan Paibon serta yang lainnya, untuk penyungsungan lebih dari satu kepala keluarga/pekarangan.

3)      Pura Dadiya, Pemaksan, Panti dan yang lainnya, yang penyungsungnya lebih dari satu paibon/pemerajan.

4)      Kahyangan Tiga (Pura Puseh, Baleagung, dan Dalem) sebagai tempat memuja Tri Murti dibangun pada setiap Desa Pekraman/adat.

Selain pembangunan tempat-tempat suci tersebut di atas, beliau juga mengajarkan tentang pembangunan Kahyangan Jagat, seperti; Pura Besakih, Pura Batur, Pura Uluwatu, Pura Lempuyang, Pura Andakasa, Pura Goalawah, Pura Pusering Tasik dan yang lainnya.

Pada masa Pemerintahan Raja Marakatta dilaksanakanlah penghormatan kepada Maha Rsi Agastya, sebagaimana disebutkan dalam prasasti tersebut yang berangka tahun 944 Çaka. Adapun kalimatnya berbunyi “Rasa nikang sapatha Bhatara Puntahyang Hyang Anggasti Maha Rsi purwa satya daksina….”. Lontar Dwijendra Tattwa menjelaskan bahwa “kedatangan Maha Rsi Agastya di Bali mengajarkan agama Úiwa”. Selanjutnya dinyatakan bahwa beliau mengajarkan tentang ilmu gaib (Tantrisme atau Tantra) kepada para raja dan kaum bangsawan. Ajaran inilah yang sering disebut Aywawera.

Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong yang berkedudukan di Gelgel tahun 1470-1550 Masehi datanglah Dang Hyang Dwijendra di Bali. Beliau juga disebut Dang Hyang Nirartha. Kedatangan beliau di Bali melalui Blambangan- Banyuwangi, mengarungi segara rupek (selat Bali) dan sampailah di Desa Pulaki. Dari sini beliau melanjutkan perjalanan menuju Desa Gadingwangi, Desa Mundeh, Mengwi, Kapal, Tuban, Buangan dan sampailah di Desa Mas. Dalem Waturenggong memerintahkan Ki Gusti Penyarikan Dauh Baleagung untuk mendak Dhang Hyang Nirartha datang ke Puri Gelgel menjadi Purohita Kerajaan.

Dang Hyang Nirartha banyak mengajarkan pengetahuan agama kepada para raja dan masyarakat Bali.

1)    Ilmu tentang pemerintahan.

2)    Ilmu tentang peperangan (Dharmayuddha).

3)      Pengetahuan  tentang  smaragama  (cumbwana  karma)  ajaran  tentang pertemuan smara laki dan perempuan.

4)    Ajaran tentang pelaksanakaan mamukur, maligia, dan mahasraddha.

 

Sejak kedatangan beliau (Dhang Hyang Nirartha) dari Jawa ke Bali dan setelah lama menjadi Purohita di Puri Gelgel, seizin Raja Dalem Waturenggong akhirnya Dang Hyang Nirartha berasrat untuk melanjutkan mengadakan perjalanan suci mengelilingi Bali. Dari Puri Gelgel beliau berjalan menuju Pura Rambut Siwi dan selanjutnya menuju Pura Uluwatu – Bukit Gong – Bukit Payung – Sakenan – Air Jeruk – Tugu – Genta Samprangan – Tengkulak – Goa Lawah – Pojok Batu – Pengajengan – Masceti – Peti Tenget dan tempat suci lainnya serta akhirnya beliau dinyatakan moksa di Pura Luhur Uluwatu (Dwijendra Tattwa, 1993: 35).

Berdasarkan data tersebut di atas sangatlah besar jasa Dhang Hyang Nirartha di Bali. Beliau telah mengajarkan tata cara pemerintahan, keagamaan, arsitektur, kesusasteraan, pembimbing masyarakat, tatacara pembangunan pelinggih Padmasana untuk pemujaan Sang Hyang Widhi dan yang lainnya dalam rangka mempermulia keimanan umat manusia.

Prasasti Bendosari yang berangka tahun 1272 Çaka ada memuat kata-kata “Bhairawa, Sora, dan Budha”. Prasasti ini diprediksi sudah ada pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Jawa. Hal ini memberikan indikasi bahwa Raja Hayam Wuruk juga sebagai pemuja sakti, surya dan budha. Sedangkan R. Goris dalam bukunya sekte-sekte di Bali, menyebutkan bahwa Agama Hindu berkembang di Bali dengan berbagai sekte. Disebutkan ada sembilan sekte yang mendominasi, diantaranya; Sekte Siwa Siddhanta-Pasupata-Bhairawa- Wesnawa-Bodha/Sogata, Brahma-Rsi-Sora dan Ganesa. Keberadaan berbagai Sekte tersebut sampai sekarang masih hidup dan berkembang serta luluh menyatu menjadi Siwa-Siddhanta.

Perkembangan agama Hindu boleh dikatakan tumbuh dan berkembang dengan subur di Indonesia sejak abad permulaan sampai akhir abad ke 15. Pada abad ke 14 masehi mengalami puncak keemasan pada masa kejayaan pemerintahan Majapahit di Jawa. Sedangkan abad ke 15 masehi pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali. Tiga setengah abad berikutnya yakni pada masa pemerintahan penjajah abad ke 19 Masehi keberadaannya mengalami kekurang beruntungan. Disekitar tahun 1927 Masehi oleh penjajah, pustaka Hukum Catur Agama dirubah menjadi pasuara Residen Bali-Lombok. Kitab Hukum Dharma Sastra dijadikan hukum Adat, Pengadilan Agama dijadikan Raad Van Kerta, dan Desa Adat “Pekraman” yang berfungsi sebagai lembaga agama masyarakat disandingkan dengan Desa Dinas. Tahun 1938 Masehi pemerintah Belanda mengubah sistem pemerintahan di Indonesia “Bali” menjadi dua kelompok:

1)      Kaula Swapraja yaitu pemerintahan kerajaan dengan menerapkan sistem keadilan Raad Van Kerta.

2)      Kaula Guperman yaitu pemerintahan penjajah dengan menerapkan sistem keadilan lembaga landra sebagai lembaga keadilan masyarakat.

 

Kedua sistem ini sangat kurang menguntungkan terhadap tumbuh kembangnya kehidupan beragama “Hindu” di Indonesia. Sejak awal abad ke 20 (17 Agustus 1945) Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamasikan, setelah itu kehidupan agama ditata berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2. Ini berarti bahwa kehidupan beragama Hindu” di Indonesia telah memiliki kekuatan hukum yang pasti. Seiring dengan itu maka;

1)      Pada tanggal 3 Januari 1946 terbentuklah Departemen Agama, yang bertugas menata kembali kehidupan beragama di Indonesia.

2)      Tahun 1950 diberlakukanlah Undang-Undang Nomor 44 tahuin 1950 tentang Pemerintahan Otonom. Pemerintah Bali mulai mengadakan pembinaan kepada umat Hindu, seperti tentang perayaan Hari Nyepi, pemeliharaan Pura Besakih dan yang lainnya.

3)      Tanggal 21-23 Februari 1959 diselenggarakanlah Pesamuhan Agung Bali bertempat di Gedung Fakultas Sastra Universitas Udayana yang dihadiri oleh pejabat pemerintah yang terkait, pemuka agama dan lembaga agama yang ada pada waktu itu. Yang akhirnya memutuskan untuk membentuk lembaga tertinggi umat Hindu yang disebut Parisada Hindu Dharma Bali.

4)      Tanggal  4  Juli  Yayasan  Dwijendra  Denpasar  mendirikan  Sekolah Pendidikan Guru Agama Hindu Bali. Pada tahun 1968 sekolah ini dijadikan Sekolah Pendidikan Guru Agama Hindu Negeri. Sejak itu berdirilah sekolah yang sejenis sampai ke Mataram (Lombok) dan Blitar (Jawa).

5)      Tanggal  6  Juli  1960  Pemerintah  Bali  menetapkan  hari  raya;  Nyepi, Galungan, Kuningan, Saraswati dan Pagerwesi sebagai hari libur daerah Bali.

6)      Tanggal 17-23 Nopember 1961 dilaksanakanlah Pesamuhan di Campuhan Ubud, mengasilkan Keputusan yang dikenal dengan sebutan Piagam Campuhan Ubud.

7)      Tanggal 3 Oktober 1963 berdirilah Lembaga Tinggi Pendidikan Agama Hindu yang disebut Maha Widya Bhuwana Institut Hindu Dharma, sekarang UNHI.

8)      Tanggal 7-10 Oktober 1964 dilaksanakanlah Mahasabha I dengan hasil; memutuskan PHDI bersidang setiap 4 tahun sekali. PHD Bali menjadi PHD Indonesia.

9)      Tanggal 3-5 September 1992 di Denpasar telah dilaksanakan pertemuan PHD sedunia yang disebut “World Hindu Fodaration Meeting for Peace Humanity.

 

Karya sastra peninggalan kerajaan Hindu berbentuk kakawin atau kitab. Kitab- kitab peninggalan itu berisi catatan sejarah. Umumnya karya sastra peninggalan sejarah Hindu ditulis dengan huruf Pallawa dalam bahasa Sansekerta pada daun lontar. Karya sastra yang terkenal antara lain Kitab Baratayuda dan Kitab Arjunawiwaha. Kitab Baratayuda dikarang Empu Sedah dan Empu Panuluh. Kitab Baratayuda berisi cerita keberhasilan Raja Jayabaya dalam mempersatukan Kerajaan Kediri dan Kerajaan Jenggala. Kitab Arjunawiwaha berisi pengalaman hidup dan keberhasilan Raja Airlangga. Berikut ini daftar kitab-kitab peninggalan sejarah Hindu di Indonesia.

 

No.         Nama Kitab                                          Lokasi Penemuan               Pembuatan                           Peninggalan

1              Carita Parahayangan                          Bogor, Jabar                         Abad ke-5 M                        Tarumanegara

2              Kresnayana                                          Bogor, Jabar                         Abad ke-5 M                        Tarumanegara

3              Arjunawiwaha     Kahuripan,           Jatim                                      Abad ke-10 M                     Medang Kemulan

4              Lubdaka                                                Kediri, Jatim                        Abad ke-11 M                     Kediri

5              Baratayuda                                           Kediri, Jatim                        Abad ke-12 M                     Kediri

 

Tradisi:

Tradisi adalah kebiasaan nenek moyang yang masih dijalankan oleh masyarakat saat ini. Tradisi agama Hindu banyak ditemukan di daerah Bali karena penduduk Bali sebagian besar beragama Hindu. Tradisi agama Hindu yang berkembang di Bali, antara lain:

1)    Upacara nelubulanin ketika bayi berumur 3 bulan.

2)    Upacara potong gigi (mapandes).

3)      Upacara pembakaran mayat yang disebut Ngaben. Dalam tradisi Ngaben, jenazah dibakar beserta sejumlah benda berharga yang dimiliki orang yang dibakar.

 

6)    Nusa Tenggara Barat

Perkembangan agama Hindu di NTB (Lombok) dapat kita ketahui dari perjalanan suci “dharmayatra” Dhang Hyang Nirartha. Beliau dikenal dengan sebutan Pangeran Sangupati. Banyak peninggalan tempat suci dan sastra Hindu yang dapat kitapergunakan sebagai reprensi bahwa Hindu pada jaman itu telah berkembang sampai di Nusa Tenggara Barat. Keberadaan agama Hindu di NTB juga tidak terlepas dari peran serta kekuasaan raja-raja Karangasem pada masa itu.

7)    Nusa Tenggara Timur

Masyarakat Nusa Tenggara Timur “Sumbawa” sampai saat ini masih mengenal sebutan Tuan Semeru. Nama Tuan Semeru adalah sebutan dari Dhang Hyang Nirartha. Hal ini memberikan indikasi bahwa beliau pernah menyebarkan ajaran Hindu ke daerah ini. Sekarang keberadaan agama Hindu di daerah ini kembangkan kembali oleh para transmigrasi asal Bali.

8)    Sulawesi

Perkembangan Agama Hindu di Sulawesi diprediksi sudah ada sejak abad ke 3 Masehi. Hal ini ditandai dengan penemuan patung Budha yang terdapat di daerah Goa yang diperkirakan pembuatan sejaman dengan patung-patung Budha yang ada di India (R.Soekmono,1973:82). Tidak banyak yang bisa kita kemukakan dengan penemuan ini. Selanjutnya dapat dinyatakan bahwa perkembangan Agama Hindu tumbuh subur di wilayah ini sebagai akibat dari adanya masyarakat transmigrasi yang berasal dari Bali dan sekitarnya.

9)    Papua

Tidak jauh berbeda dengan daerah Sulawesi, bahwa perkembangan ke-Hindu an yang ada di Papua disebabkan oleh karena adanya masyarakat transmigrasi. Di samping itu, juga karena adanya penduduk yang mendapatkan tugas-tugas tertentu di daerah ini.

                Demikian peradaban   Hindu di Indonesia, yang menurut penuturan sejarah Indonesia, di mulai dari Kalimantan, Jawa, Bali, Sumatera, dan daerah yang lainnya. Runtuhnya Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu, peradaban agama Hindu dimulai kembali dari Bali yang telah menganut paham Hindu sejak Maha Rsi Markhandeya datang di Bali sampai sekarang.

 

D.  Pelestarian Peninggalan Budaya Agama Hindu di Indonesia

                Kata ‘pelestarian’ berasal dari kata ‘lestari’ berarti tetap seperti keadaan semula; tidak berubah;  bertahan;  kekal  (Kamus  Besar Bahasa Indonesia, Tim: 2001). Melestarikan adalah menjadikan (membiarkan) tetap tidak berubah; membiarkan tetap seperti keadaan semula; mempertahankan kelangsungannya. Pelestari adalah orang yang menjaga sesuatu (hewan, hutan, lingkungan, warisan, budaya) dan sebagainya agar tetap lestari. Pelestarian adalah proses, cara, perbuatan melestarikan; perlindungan dari kemusnahan atau kerusakan; pengawetan;       konservasi       sumber-sumber alam;  pengelolaan  sumber  daya  alam  yang menjamin pembuatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.

                Pelestarian peninggalan budaya Agama Hindu berarti proses, cara, perbuatan melestarikan; perlindungan dari kemusnahan atau kerusakan; pengawetan; konservasi peninggalan budaya Agama Hindu; pengelolaan peninggalan budaya Agama Hindu yang menjamin pembuatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Menjadi kewajiban umat sedharma pada kususnya (Indonesia) dan umat sejagat raya ini pada umumnya, untuk mewujudkan pelestarian peninggalan budaya Agama Hindu yang diwariskan oleh putra-putri anak bangsa ini dari masa lampau. Pemikiran, pernyataan, sifat dan sikap anak-anak bangsa yang demikian adalah wujud dari putra-putri yang berhati mulia. Kita semua patut bersyukur kehadapan- Nya, karena berkesempatan dianugrahkan anak-anak bangsa menjadi pelestari dari budaya Agama Hindu.

                Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kita ini memiliki banyak dan beraneka corak, ragam dan sifat benda-benda peninggalan sejarah. Benda- benda itu merupakan warisan masa lampau yang sangat berharga dari leluhur anak bangsa ini. Benda-benda itu menjadi milik negara, menjadi milik seluruh rakyat Indonesia. Benda-benda peninggalan sejarah yang patut menjadi kebanggaan Bangsa Indonesia, seperti; Yupa, Prasasti, Karya sastra dan seni, Candi (Prambanan, Borobudur, Penataran), Pura (Besakih), dan yang lainnya. Sepertinya tak terbayangkan oleh kita, sejak abad ke 4  sampai dengan abad ke 9 bangsa kita sudah mampu membuat bangunan semegah, indah dan suci seperti itu. Tidak ada kata yang dapat menggantikan kemegahan, keindahan, dan kesuciannya. Sudah sepatutnya kita bersikap hormat dan menghargai benda-benda peninggalan sejarah dan budaya agama kita.

                Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam upaya pelestarian peninggalan agama Hindu :

1.    Merawat dan menjaga pelestarian peninggalan Agama Hindu di Indonesia

Banyak benda peninggalan dan warisan sejarah budaya Agama Hindu di Indonesia yang sudah berusia ratusan atau bahkan ribuan tahun. Tak heran benda-benda tersebut banyak pula yang sudah rapuh dan rusak. Bila tidak dirawat dengan baik bisa rusak hancur dan menghilang. Merawat benda-benda peninggalan dan warisan budaya Agama Hindu di Indonesia merupakan tugas kita semua. Tapi penanggung-jawab utamanya adalah negara (pemerintah yang sedang berkuasa). Cara menjaga dan merawat antara lain sebagai berikut

a.       Membangun museum-museum untuk penyimpanan benda-benda dan warisan sejarah budaya Agama Hindu di Indonesia.

b.      Menjadikannya cagar budaya sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan, benda-benda budaya bernafaskan ajaran Agama Hindu.

c.       Menjaga  dan  merawat  wilayah  atau  daerah-daerah  cagar  budaya benda-benda yang bernafaskan agama Hindu dengan sebaik mungkin. Di daerah cagar budaya biasanya terdapat banyak benda-benda peninggalan berbudaya Agama Hindu.

d.      Turut menjaga agar benda-benda peninggalan budaya Agama Hindu tidak dirusak atau dirusak oleh barisan orang yang tidak bertanggung- jawab. Benda-benda peninggalan sejarah harus diamankan dari tangan- tangan jahil.

2.      Mengunjungi  tempat-tempat  pelestarian  peninggalan  warisan  benda- benda sejarah budaya Agama Hindu di Indonesia

       Sudah atau belum pernahkah di antara kita mengunjungi tempat-tempat pelestarian peninggalan warisan benda-benda sejarah dan budaya agama Hindu di Indonesia? Kalau memang sudah, lanjutkanlah upaya dan usaha mulia yang sudah dilaksanakan itu untuk diri pribadinya dan juga untuk generasi selanjutnya. Bila sekiranya belum, cobalah melakukannya. Amatilah dengan baik, benda-benda apa saja yang terdapat di sana. Sebab mengunjungi tempat-tempat pelestarian peninggalan warisan benda-benda sejarah dan budaya Agama Hindu termasuk salah satu cara mewujudkan rasa bhakti, hormat, rasa memiliki, dan menghargai-nya. Diatara kita bisa mengunjungi tempat pelestarian peninggalan warisan benda-benda sejarah dan budaya Agama Hindu setempat lainnya, seperti;

a. Candi;

b. Makam pahlawan/kuburan nenek-moyang;

c. Monumen, dan yang lainnya.

3.      Bersembahyang  di  tempat-tempat  suci  “Pura”  sebagai  tempat  suci peninggalan sejarah dan budaya Agama Hindu dari nenek-moyang bangsa Indonesia

Tempat suci umat sedharma ‘Hindu’ disebut dengan nama “Pura”. Kata Pura dalam Kamus besar bahasa Indonesia berarti; kota; istana; negeri (spt.Indrapura); tempat beribadat (bersembahyang) umat Hindu Dharma. Sudahkah di antara kita umat sedharma memungsikan ‘Pura’ sebagai tempat bersembahyang setiap saat atau 3 (tiga) kali dalam sehari. Umat Hindu memiliki banyak “ribuan” tempat suci yang dapat dipergunakan sebagai sarana untuk menghubungkan diri (jasmani dan rohani) kehadapat Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, kapan dan dimana saja sedang berada sesuai dengan tata-tertib bersembahyang. Terbiasa atau belum biasakah diantara kita bersembahyang di tempat-tempat suci (Pura) sebagai peninggalan warisan sejarah dan budaya Agama Hindu Indonesia untuk mengadakan kontak dengan-Nya? Bilamana sudah, lanjutkanlah upaya dan usaha mulia nan suci itu untuk pribadi pribadi, teman sejawat dan juga untuk generasi selanjutnya. Bila sekiranya belum,  mulailah  untuk  melakukannya!  Tidak  ada  peraturan  prasasti yang melarang mu untuk memulai, berusaha dan berupaya berhubungan dengan Sang Pencipta beserta dengan prabhawanya yang patut kita muliakan dan sucikan dalam kesempatan hidup ini dimanapun kita sedang berada. Amatilah dengan baik tempat-tempat suci untuk memuja siapa saja yang terdapat di sekitarnya. Sebab datang mengadap (tangkil) ke tempat-tempat suci yang ada di lingkungan sekitar kita, yang tetap terjaga sampai saat ini kelestarian dan kesuciannya, sebagai peninggalan warisan sarana bersejarah dan berbudaya dalam Agama Hindu adalah termasuk salah satu cara untuk mewujudkan rasa bhakti, hormat, rasa memiliki, dan menyucikan-nya. Diataranya, kita wajib bersembahyang di tempat-tempat suci, seperti;

1)    Merajan/sanggah;

2)    Pura Kawitan;

3)    Pura Paibon;

4)    Pura Dadiya/Panti;

5)    Pura Kahyangan Tiga;

6)    Pura Padarman;

7)    Pura Dhang Kahyangan;

8)    Pura Kahyangan Jagat; dan yang lain-lainnya.

4.      Melarang  atau  tidak  memberikan  izin  kepada  orang-orang/individu/ kelompok yang hanya   memiliki   kepentingan   sesaat   atau   tidak bertanggung-jawab untuk mengelola tempat-tempat pelestarian sejarah dan budaya peninggalan Agama Hindu di Indonesia. Karena tidak tertutup kemungkinan di antara mereka dapat menyalah-gunakan pemanfaatannya, seperti menghalalkan segala cara, menafikan sejarah dan budaya bangsanya. Bila kondisi seperti ini dibiarkan terjadi secara berkesinambungan maka degradasi moral tentu dapat terjadi, dan akhirnya bangsa ini tinggal menunggu kehancuran.

 

E.     Kontribusi Kebudayaan Hindu dalam Pembangunan Nasional dan Parawisata Indonesia Menuju Era Globalisasi

                Bahasa (budaya) menunjukkan bangsa, demikian para budayawan menyatakan. Brandes (Blanda) tahun 1884 M. menerangkan bahwa bangsa- bangsa di seluruh kepulauan Indonesia mulai dari pulau Formosa di sebelah utara, dan Madagaskar di sebelah barat, tanah Jawa, Bali dan seterusnya disebelah selatan, sampai ke tepi Amerika pada jaman dahulu berbahasa satu. H. Kern (Blanda) tahun 1889 M. mengadakan penyelidikan bahasa di kepulauan Indonesia, menyatakan penduduk kepulauan Indonesia berbahasa Tjempa (tanah Annam; sekarang). Sampai tahun 1500 SM bangsa Indonesia masih berkumpul di Tjempa, karena desakan bangsa lain (orang Asia tengah), lalu mereka berpindah ke Kamboja, ke Thailand dan ke Malaka. Dari Malaka berpindah ke Sumatera, Borneo (Kalimantan), Jawa dan sebagainya. Sampai pada permulaan masehi bangsa-bangsa ‘Hindu’ tersebut sudah ada di Borneo (Kutai) yang dari padanya baru diketahui ada ke’Hindu’an tahun 400 Masehi (abad ke 4 M) di Borneo Timur (Kutai) dan Jakarta. Tulisan yang terdapat di Kutai berbunyi sebagai berikut;

 

“Sang Maharaja Kundunga, yang amat mulia, mempunyai putra yang mashur, Sang Acwawarman namanya, yang seperti sang ancuman (Deva matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Acwawarman mempunyai putra tiga, seperti api (yang suci) tiga. Yang terkemuka dari ke tiga putra itu ialah Sang Mulawarman, raja yang berperadaban baik, kuat dan kuasa. Sang Mulawarman telah mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan) emas amat banyak. Buat peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu batu ini didirikan oleh para Brahmana” (Purbatjaraka,  R.M.Ng. 1968).

 

                Sebagai anak bangsa Indonesia sudah sepantasnya kita bersyukhur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, karena telah dilahirkan, dipelihara/dibesarkan menjadi insan-insan yang beragama dan berbudaya. Berangkat dari pemikiran Dr. H. Kern, dapat disimak bahwa Bangsa Indonesia di lahirkan oleh nenek moyang-nya yang religius, berbudaya sesuai dengan zamannya. Hindu yang disebut-sebut sebagai agama tertua di dunia menurut penuturan sejarah, memiliki benang merah dengan keberadaan nenek moyang Indonesia.  Oleh  karena  panjangnya  perjalanan  yang  dilalui  maka  sangat wajar memiliki beraneka macam bentuk, sifat dan ciri khas peninggalan kebudayaan yang dimilikinya termasuk karya sastra.

                Berdasarkan fakta-fakta sejarah Indonesia dengan peninggalan benda-benda budaya yang bernafaskan ke’Hindu’an dengan yang ada, dapat dinyatakan Agama Hindu memiliki kontribusi yang besar terhadap pembangunan pariwisata Indonesia menuju era global. Kontribusi yang dimaksud antara lain;

1.      Pariwisata alam; Indonesia dikenal oleh dunia memiliki sumber daya alam yang kaya dan indah bernafaskan ke-Hinduan. Keindahan alam Indonesia mejadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan dunia untuk berkunjung ke Indonesia. Atas kunjungan itu sudah menjadi kewajiban bangsa dan negara kita menyiapkan fasilitas yang memadai, seperti; transportasi (jalan dan angkutan) umum dan khusus, gedung atau rumah- rumah penginapan beserta fasilitasnya, makanan dan minuman sesuai kebiasaannya, jasa pelayanan (harus mengetahui dan fasih berbahasa asing), keamanan dan kenyamanan para wisatawan dalam berwisata, administrasi yang akurat/jelas (tidak berbelit-belit atau membingungkan) dan lainnya. Bangsa Indonesia lebih dari wajar harus memelihara kelestarian alamnya sebagaimana mestinya. Realisasi dari wisata alam ini dapat memberikan pendapatan negara yang juga dapat meningkatkan kesejahteraan bangsa ini. Ajaran Hindu yang bersifat kreatif mengantarkan bangsa ini bebas dari kemiskinan material dan rohani.

2.    Wisata budaya; Budaya anak Bangsa Indonesia melahirkan kebudayaan. Dari berbagai macam suku bangsa yang ada di Indonesia berbuah beraneka- macam kebudayaanya yang dapat dikonsumsi oleh para wisatawan yang berkunjung ke Indonesia. Hindu sebagai agama tertua di dunia termasuk di Indonesia, menjiwai kebudayaan anak bangsa ini sehingga semuanya itu menjadi hidup “metaksu”. Kebudayaan yang ‘metaksu’ menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan (lokal dan asing) untuk menikmatinya. Semuanya itu lagi-lagi dapat menambah pendapatan negara dan daerah yang dikunjunginya. Berikut ini beberapa bentuk dari pariwisata budaya sumbangan Agama Hindu yang dapat disajikan antara lain;

a.  Candi

1)    Candi Jabung

Candi Hindu ini terletak di Desa Jabung,  Kecamatan  Paiton, Kabupaten   Probolinggo,   Jawa Timur. Struktur bangunan candi yang terbuat dari bata merah ini mampu bertahan   ratusan   tahun.   Menurut kitab Nagarakertagama Candi  Jabung  di  sebutkan  dengan  nama Bajrajinaparamitapura.

Kitab Nagarakertagama juga menyebutkan bahwa Candi Jabung pernah dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk dalam lawatannya keliling Jawa Timur pada tahun 1359 Masehi. Pada kitab Pararaton disebut Sajabung yaitu tempat pemakaman Bhre Gundal salah seorang  keluarga  raja. Arsitektur  bangunan  candi  ini  hampir serupa dengan Candi Bahal yang ada di Bahal, Sumatera Utara.

2)    Candi Tikus

Candi ini terletak di kompleks Trowulan, sekitar 13 km di sebelah tenggara kota Mojokerto. Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam tanah ditemukan kembali pada tahun 1914. Penggalian situs dilakukan berdasarkan laporan bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro, tentang ditemukannya miniatur candi di sebuah pekuburan rakyat.

Pemugaran secara menyeluruh dilakukan pada tahun 1984 sampai dengan  1985.  Nama  ‘Tikus’  hanya merupakan sebutan yang digunakan masyarakat setempat. Konon, pada saat ditemukan, tempat candi tersebut berada merupakan sarang tikus.

3)    Candi Dieng

Secara administratif dataran tinggi Dieng (Dieng Plateau) berada di lokasi wilayah kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Dataran tinggi Dieng (Dieng Plateau) berada pada ketinggian kurang lebih 2088 m dari permukaan laut dengan suhu rata-rata 13-17 C, Dataran tinggi Dieng merupakan dataran yang terbentuk oleh kawah gunung berapi  yang telah mati. Bentuk kawah jelas terlihat dari dataran yang terletak di tengah dengan dikelilingi oleh bukit-bukit. Sebelum menjadi dataran, area ini merupakan danau besar yang kini tinggal bekas- bekasnya berupa telaga. Bekas-bekas kawah pada saat ini, kadang- kadang masih menampakan aktivitas vulkanik, misalnya pada kawah Sikidang. Disamping itu juga aktivitas vulkanik, yang berupa gas/uap panas bumi dan dialirkan melalui pipa dengan diameter yang cukup besar, dan dipasang di permukaan tanah untuk menuju ke lokasi tertentu yang berada cukup jauh dari lokasi pemukiman penduduk dan   dimanfaatkan untuk Pembangkit Tenaga Listrik Panas Bumi. Dengan kondisi topografi, pemandangan alam yang indah dan situs-situs peninggalan purbakala yang berupa candi, sehingga Dataran Tinggi Dieng mempunyai potensi sebagai tempat rekreasi dan sekaligus obyek peninggalan sejarah Hindu yang indah.

Dataran Tinggi Dieng pandang sebagai suatu   tempat yang memiliki kekuatan misterius, tempat bersemayamnya arwah para leluhur, sehingga tempat ini dianggap suci. Dieng berasal dari kata Dihyang yang artinya tempat arwah para leluhur. Terdapat beberapa komplek candi di daerah ini, komplek Candi Dieng dibangun pada masa Agama Hindu, dengan peninggalan Arca Deva Siwa,Wisnu, Agastya, Ganesha dan lain-lainya bercirikan Agama Hindu. Candi-candi yang berada di dataran tinggi Dieng diberi nama yang berhubungan dengan cerita atau tokoh-tokoh wayang Purwa dalam lokan Mahabarata, misalnya candi Arjuna, candi Gatotkaca, candi Dwarawati, candi Bima, candi Semar, candi Sembadra, candi Srikandi dan candi Punta Deva. Nama candi tersebut tidak ada kaitannya dengan fungsi bangunan dan diperkirakan nama candi tersebut diberikan setelah bangunan candi tersebut ditinggalkan atau tidak digunakan lagi. Siapa yang membangun candi tersebut belum dapat dipastikan, dikarenakan  informasi yang terdapat di 12 prasasti batu tidak ada satupun yang menyebutkan siapa tokoh yang membangun candi religius ini.

4)    Candi Cetho

Candi Cetho adalah sebuah candi  bercorak  Agama Hindu, yang merupakan peninggalan masa akhir pemerintahan   Majapahit (abad ke-15). Laporan ilmiah pertama tentang keberadaan candi    Cetho    dibuat    oleh Van   de   Vlies   pada   tahun 1842. Masehi A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian yang berhubungan dengan keberadaan candi ini. Ekskavasi   atau   penggalian untuk kepentingan rekonstruksi candi ini dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda.

Berdasarkan keadaannya ketika itu, pada reruntuhan Candi Cetho diteliti dan diketahui bahwa usianya tidak jauh dengan Candi Sukuh. Lokasi candi berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Candi Cetho berada pada ketinggian 1400 m di atas permukaan laut. Candi ini patut dikunjungi oleh umat sedharma untuk mengetahui keberadaannya.

5)    Candi Sukuh

Merupakan sebuah kompleks candi Agama Hindu yang terletak di wilayah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya objek pujaan lingga dan yoni. Candi Sukuh ini tergolong kontroversial karena bentuknya yang  kurang lazim dan karena banyaknya objek-objek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas.  Candi  Sukuh  telah  diusulkan  ke  UNESCO  untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995.

6)    Candi Surawana

Merupakan candi Hindu yang terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, sekitar 25 kilometer arah timur laut dari Kota Kediri. Candi Surawana juga dikenal dengan nama Candi Wishnubhawanapura. Candi ini diperkirakan dibangun pada abad 14 Masehi, untuk memuliakan Bhre Wengker, yang dikenal sebagai seorang raja dari Kerajaan Wengker yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Raja Wengker ini mangkat pada tahun 1388 M. Dalam Negarakertagama diceritakan bahwa pada tahun 1361 Raja Hayam Wuruk dari Majapahit pernah berkunjung bahkan menginap di Candi Surawana. Candi Surawana saat ini keadaannya sudah tidak utuh. Hanya bagian dasar yang telah direkonstruksi. Untuk menghormati jasa para pendahulu negara kita, candi ini sebaiknya dilanjutkan rekonstruksinya sehingga menjadi utuh dan tetap lestari keberadaannya dalam rangka mewujudkan pariwisata berwawasan budaya.

7)    Candi Gerbang Lawang

Dalam bahasa Jawa, Wringin Lawang berarti ‘Pintu Beringin’. Gapura agung ini terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14 Masehi.

Candi Gerbang ini lazim disebut bergaya candi bentar atau tipe gerbang terbelah.  Gaya  arsitektur  seperti  ini diduga muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali.

 

b.  Karyasastra

Indonesia memiliki banyak pujangga besar pada masa pemerintahan raja-raja di nusantara ini. Para pujangga pada masa itu tergolong varna Brahmana yang memiliki kedudukan sebagai purohita kerajaan. Banyak karya sastra yang ditulis oleh pujangga kerajaan. Kekawin Ramayana ditulis oleh Mpu Yogiswara. Dalam satu bait karya beliau menjelaskan sebagai berikut;

 

“Bràhmana ksatryàn padulur, jàtinya paras paropasarpana ya, wiku tan panatha ya hilang, tan pawiku ratu wiçîrna.

 

Terjemahan:

 

“Sang Brahmana dan sang Ksatria mestinya rukun, jelasnya mesti senasib sepenanggungan tolong menolong, pendeta tanpa raja jelas akan kerusakan, raja tanpa raja tentu akan sirna, (Ramayana Kekawin, I.49).

 

Dalam karya ini Mpu Yogiswara ingin mengajarkan bagaimana pentingnya hubungan harmonis dan timbal-balik antara para raja dengan  para  brahmana.  Karya  sastra  yang  lainnya  yang  penuh dengan makna tersebar di masyarakat dapat dijadikan penuntun hidup menghadapi dunia pariwisata di era globalisasi ini, antara lain;

1)      Carita Parahyangan Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara

Carita Parahiyangan merupakan nama suatu naskah Sunda kuno yang dibuat pada akhir abad ke-16, yang menceritakan sejarah Tanah Sunda, utamanya mengenai kekuasaan di dua ibukota Kerajaan Sunda yaitu Keraton Galuh dan Keraton Pakuan. Naskah ini merupakan bagian dari naskah yang ada pada koleksi Museum Nasional Indonesia Jakarta. Naskah ini terdiri dari 47 lembar daun lontar ukuran 21 x 3 cm, yang dalam tiap lembarnya diisi tulisan 4 baris. Aksara yang digunakan dalam penulisan naskah ini adalah aksara Sunda (Soeroto. 1970:1650).

Naskah Carita Parahiyangan   menceritakan   sejarah   Sunda, dari awal kerajaan Galuh pada zaman Wretikandayun sampai runtuhnya Pakuan Pajajaran (ibukota Kerajaan Sunda akibat serangan Kesultanan Banten, Cirebon dan Demak.

2)   Kresnayana Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara

Kakawin Kresnâyana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuno karya Mpu Triguna, yang menceritakan pernikahan prabu Kresna dan penculikan calonnya yaitu Rukmini. Singkat, ceritanya sebagai berikut. Devi Rukmini, putri Prabu Bismaka di negeri Kundina, sudah dijodohkan dengan Suniti, raja negeri Cedi. Tetapi ibu Rukmini, Devi Pretukirti lebih suka jika putrinya menikah dengan Kresna. Maka karena hari besar sudah hampir tiba, lalu Suniti dan Jarasanda, pamannya, sama-sama datang di Kundina. Pretukirti dan Rukmini diam-diam memberi tahu Kresna supaya datang secepatnya. Kemudian Rukmini dan Kresna diam-diam melarikan diri. Mereka dikejar oleh Suniti, Jarasanda dan Rukma, adik Rukmini, beserta para bala tentara mereka. Kresna berhasil membunuh semuanya dan hampir  membunuh  Rukma  namun  dicegah oleh Rukmini. Kemudian mereka pergi ke Dwarawati dan melangsungkan pesta pernikahan. Kakawin Kresnâyana ditulis oleh Mpu Triguna pada saat prabu Warsajaya memerintah di Kediri pada kurang lebih tahun 1104 Masehi (Yamin, Muhammad. 1975 : 29).

3)   Arjunawiwaha  Kahuripan,  Jatim  Abad  ke-10  M  Medang Kamulan

Kakawin Arjunawiwāha adalah kakawin pertama yang berasal dari Jawa Timur. Karya sastra ini ditulis oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga, yang memerintah di Jawa Timur dari tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi. Sedangkan kakawin ini diperkirakan digubah sekitar tahun 1030.

Kakawin  ini  menceritakan  sang Arjuna  ketika  ia  bertapa  di gunung Mahameru. Lalu ia diuji oleh para Deva, dengan dikirim tujuh bidadari. Bidadari ini diperintahkan untuk menggodanya. Nama bidadari yang terkenal adalah Devi Supraba dan Tilottama. Para  bidadari  tidak  berhasil  menggoda Arjuna,  maka  Batara Indra  datang  sendiri  menyamar  menjadi  seorang  brahmana tua. Mereka berdiskusi soal agama dan Indra menyatakan jati dirinya dan pergi. Lalu setelah itu ada seekor babi yang datang mengamuk  dan Arjuna  memanahnya.  Tetapi  pada  saat  yang bersamaan ada seorang pemburu tua yang datang dan juga memanahnya. Ternyata pemburu ini adalah batara Siwa. Setelah itu Arjuna diberi tugas untuk membunuh Niwatakawaca, seorang raksasa yang mengganggu kahyangan. Arjuna berhasil dalam tugasnya dan diberi anugerah boleh mengawini tujuh bidadari ini (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 15).

4)      Lubdhaka Kediri, Jatim Abad ke-11 M Kediri

Kakawin ini ditulis dalam bahasa Jawa Kuno oleh mpu Tanakung pada paruh kedua Abad ke 15. Dalam kakawin ini diceritakan bagaimana seseorang yang berdosa besar sekalipun dapat mencapai surga. Dikisahkan bagaimana Lubdhaka seorang pemburu sedang berburu di tengah hutan. Tetapi sudah lama ia mencari-cari buruan, tidak dapat. Padahal hari mulai malam. Supaya tidak diterkam dan menjadi mangsa binatang buas, ia lalu memanjat pohon dan berusaha supaya tidak jatuh tertidur. Untuk itu ia lalu memetik daun-daun pohon dan dibuangnya ke bawah. Di bawah ada sebuah kolam. Kebetulan di tengah kolam ada sebuah lingga dan daun-daun berjatuhan di atas sekitar lingga tersebut. Lalu malam menjadi hari lagi dan iapun turun dari pohon lagi.

Selang beberapa lama iapun melupakan peristiwa ini dan kemudian meninggal dunia. Arwahnya lalu gentayangan di alam baka tidak tahu mau ke mana. Maka Deva Maut; Batara Yama melihatnya  dan  ingin  mengambilnya  ke  neraka.  Tetapi  pada saat yang sama Batara Siwa melihatnya dan ingat bahwa pada suatu malam yang disebut “Malam Siwa” (Siwaratri) ia pernah dipuja dengan meletakkan dedaunan di atas lingga, simbolnya di bumi. Lalu pasukan Yama berperang dengan pasukan Siwa yang ingin mengambilnya ke surga. Siwapun menang dan Lubdhaka dibawanya ke surga (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 32).

5)      Baratayuda Kediri, Jatim Abad ke-12 M Kadiri.

Baratayuda, adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut perang besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Kurawa (Mahabharata). Perang ini merupakan klimak dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India.

Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha (Perang Bharata), yaitu judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuno yang ditulis pada tahun 1157 Masehi oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kediri.  Karya  ini  merupakan  gubahan  dari  Mahabarata.  Isi dari kitab ini menjelaskan peperangan dari darah bharata yaitu Pandawa dan Kurawa, yang berlangsung 18 hari. Boleh jadi kekawin baratayuda yang ditulis pada masa Kediri itu sebagai simbolis keadaan perang saudara antara Kerajaan Kediri dengan Jenggala yang sama-sama keturunan Raja Airlangga. Keadaan perang saudara itu digambarkan seolah-olah seperti yang tertulis dalam Kitab Mahabarata karya Vyasa yaitu perang antara Pandawa dan Kurawa yang sebenarnya juga keturunan Vyasa sang penulis (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 22).

6)   Negarakertagama, Majapahit abad ke 14 Masehi.

Merupakan karya kesusasteraan kuno seiring perkembangan waktu sebagai hasil karya pujangga jaman Majapahit. Sedangkan dari isinya merupakan uraian sejarah. Isi dari Kekawin Negarakertagama merupakan uraian sejarah dari Kerajaan Singasari dan Majapahit dan ternyata sesuai dengan prasasti- prasasti yang ditemukan. Di dalamnya terdapat pula uraian tentang kota Majapahit, jajahan-jajahan Majapahit, perjalanan Raja Hayam Wuruk di sebagian Jawa Timur yang dijalin dengan daftar candi-candi yang ada, upacara craddha yang dilakukan untuk roh Gayatri dan tentang pemerintahan serta keagamaan dalam zaman Hayam Wuruk. Negarakertagama merupakan karya Mpu Prapanca tahun 1365 Masehi (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 37)

7)   Sutasoma

Kekawin Sutasoma menggunakan bahasa Jawa kuno sehingga dimasukkan dalam kesusasteraan zaman Majapahit I. Kitab Sutasoma menceritakan tentang seorang anak raja bernama Sutasoma. Sutasoma, seorang anak raja yang menjadi  pendeta Budha. Sutasoma rela meninggalkan kehidupan duniawi karena taat kepada Agama Buddha. Ia bersedia berkorban untuk kebahagiaan makhluk hidup. Bahkan diceritakan ia rela dimakan raksasa agar raksasa tersebut kenyang.

Dalam kitab ini tergambar adanya kerukunan umat beragama di Majapahit antara umat Hindu dengan umat Budha. Kalimat Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa tertulis didalamnya (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 38).

8)   Pararaton

Pararaton termasuk ke- susasteraan jaman Majapahit II. Kitab ini menggunakan bahasa Jawa tengahan dan berbentuk tembang   atau   kidung   namun ada pula yang berupa gancaran. Kitab Pararaton merupakan uraian sejarah, namun kurang dapat dipercaya karena isinya sebagian   besar   lebih   bersifat mitos atau dongeng. Selain itu, angka-angka tahun yang ada tidak cocok dengan sumber sejarah yang lain. Dari kitab ini mula- mula diuraikan tentang riwayat Ken Arok, yang penuh dengan kegaiban. Raja-raja Singasari berikutnya juga demikian. Bagian kedua menguraikan Raden Wijaya pada saat sebagai pengikut Kertanegara sampai menjadi raja Majapahit. Kemudian diceritakan tentang Jayanegara dan pemberontakan-pemberontakan Rangga Lawe dan Lembu Sora, serta peristiwa Putri Sunda di Bubat. Pada bagian penutup memuat daftar raja-raja sesudah Hayam Wuruk (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 65).

9)      Calon Arang

Calon Arang termasuk kesusasteraan kuno yang menggunakan bahasa Jawa tengahan, sehingga dapat dimasukkan ke dalam jaman Majapahit II. Kitab Calon Arang ini berisi tentang cerita Calon Arang yang dibunuh oleh Mpu Bharadah atas perintah Raja Airlangga. Kitab Calon Arang ini juga mengisahkan tentang pemisahan Kerajaan Kediri oleh Mpu Bharada atas perintah Raja Airlangga (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 55).

Pada  awalnya,  karya  sastra  ini  ditulis  di  atas  daun  lontar yang bila rusak selalu diperbaiki. Sejalan dengan kemajuan teknologi kemudian diubah menggunakan kertas. Karya sastra ini bisa berbentuk puisi, kakawin, maupun prosa. Berikut karya sastra yang bercorak ke-Hindu-an seperti; Kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya, karya Mpu Panuluh; Kitab Smaradhana, karya Mpu Dharmaja; Kitab Lubdaka dan Kitab  Wrtasancaya  karya  Mpu  Tanakung;  Kitab  Sundayana yang mengisahkan terjadinya peristiwa Bubat, yakni perkawinan yang  berubah  menjadi  pertempuran;  Kitab  Ranggalawe  yang menceritakan pemberontakan Ranggalawe; Kitab Sorandaka yang menceritakan pemberontakan tentang Lembu Sora; Kitab Usana Jawa yang menceritakan penaklukan Bali oleh Gajah Mada bersama Arya Damar (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 23).

10).  Cerita Panji

Mengisahkan perkawinan Panji Inu Kertapati, putra raja Kahuripan dengan Galuh Candra Kirana, putri raja Daha. Perkawinan berlangsung setelah berhasil mengatasi berbagai kesulitan.

 

Tradisi tulisan peninggalan kerajaan-kerajaan Islam yang berupa karya sastra mendapat pengaruh dari Persia. Namun pengaruh sastra Indonesia dan Hindu juga masih ada. Pada masa itu munculah hikayat, yakni karya sastra yang kebanyakan berisi dongeng belaka. Ada pula hikayat berisi cerita sejarah;  di pulau Jawa ‘babad’ biasa di Jawa berupa puisi (tembang)  di luar Jawa bisa berbentuk syair atau prosa. Pertunjukan seni drama biasanya banyak bersumberkan karya sastra tersebut.

Kesusasteraan merupakan hasil kebudayaan yang mengandung makna penting menurut sejarah. Dinyatakan demikian karena dari karya sastra tersebut kita banyak bisa mengetahui gambaran sejarah dimasa lampau. Menurut waktu perkembangannya kesusasteraan kuno dapat dibagi menjadi beberapa zaman, diantaranya; kesusasteraan zaman Mataram (sekitar abad; 9 dan 10 Masehi), zaman Kediri (sekitar abad; 11 dan 12 Masehi), zaman Majapahit I (sekitar abad; 14 Masehi), dan zaman Majapahit II (sekitar abad; 15 dan 16 Masehi). Disebutkan terdapat dua zaman Majapahit karena adanya perbedaan bahasa yang digunakan pada kesusasteraan tersebut. Zaman Majapahit I menggunakan bahasa Jawa kuno, sedangkan zaman Majapahit II menggunakan bahasa Jawa tengahan.

 

 

Komentar

Postingan Terakhir

8-latest-65px

Comments

8-comments