Blog Archive

Categories

Popular Posts

Pages

Langsung ke konten utama

Hubungan Hukum Hindu dengan Budaya, Adat-istiadat, dan Kearifan Daerah Setempat

Sumber Hukum Hindu dalam Arti Sejarah, Sosiologi, Formal, dan ...
Dewa Ganesha

 

Perenungan.

“Ye tu dharmasùyante

bhuddhimohànwita janàh,

apathà gacchatàm tesàmanuyàtàpi

pidyate”.

Mwang ikang wwang nindà ring dharmaprawrtti, dening punggungya, jenek ta

ya ring adharmaprawrtti, ikang manùtnùt iriya tuwi, niyata pamangguhanya

lara.

Terjemahan:

Lagi pula orang yang merendahkan perbuatan dharma, karena angkuhnya, serta tetap melakukan perbuatan yang bertentangan dengan dharma dan juga yang mengikutinya, niscaya akan mendapatkan penderitaan, (Sarasamuçcaya, 47).

 

Agama Hindu disebut-sebut sebagai agama yang tertua di dunia, bagaimana hubungan hukum Hindu dengan budaya, adat-istiadat, dan kearifan daerah setempat di Indonesia? Diskusikan!!!

    Telah ditegaskan bahwa hukum Hindu yang dimaksud adalah hukum agama dalam arti yang sebenar-benarnya. Sebagai hukum agama, hukum Hindu disamakan pengertiannya dengan Dharma yang bersumber pada Rta. Agama itu sendiri juga merupakan norma atau kaidah-kaidah moral yang bersumber langsung dari wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Dari sini tampak ada usaha untuk mengkaitkan nilai-nilai agama dengan praktek kehidupan, apakah misalnya nilai agama itu telah ditransformasikan kedalam norma-norma sosial yang mengatur kehidupan manusia di dalam masyarakat. Hubungan yang demikian tidak terlalu sulit mencari, karena agama hindu memperlihatkan gejala yang multikomplek sebagai pandangan hidup yang menyeluruh dan terpadu. John L. Esposito ketika memberi kata pendahuluan pada buku”Agama dan Perubahan Sosiopolitik”, hanya melihat hubungan agama pada dua demensi, yakni dikatakan : agama mempunyai suatu hubungan yang integral dan organic dengan politik dan masyarakat.(Esposito,1985:1). Mengacu pada tujua hidup manusia menurut pandangan agama Hindu, yakni Moksartham Jagadhitaya ca iti dharmah, maka sebenarnya tradisi Hindu menawarkan suatu system normative dimana agama adalah integral dengan semua aspek kehidupan uamat manusia, baik politik, sosial, ekonomi, hukum, pendidikan, keluarga dan lain sebagainay. Keseluruhan aspek kehidupan tersebut tercakup dalam pengertian “kekinian” dan “keakanan” yang bersifat kesurgaan. (“kekinian dan “keakanan”dipinjam dari istilah Soedjatmoko, 1979:25) Pada gejala umum yang terjadi di Bali yakni keterkaitan agama dengan adat, adalah bukti adanya pertautan agama dengan salah satu aspek kehidupan manusia. Tjokorde Raka Dherana mengatakan, agama dan adat terjalin erat satu dengan lainnya, saling pengaruhmempengaruhi. Karenanya pelaksanaan agama disesuaikan dengan keadaan tempat yang telah dan sedang berlaku. 

    Penyesuaian mana bersifat membenarkan dan memperkuat adat setempat sehingga menjadikan kemuadian suatu “adat Agama” yaitu suatu penyelenggaraan agama yang disesuaikan dengan adat setempat. (Dherana, 1984:18). Pembuktian adanya tingkat pengaruh hukum Hindu menjiwai hukum adat telah terbukti sejak berdirinya kerajaan Hindu di Indonesia. Penguatan ini diberikan oleh Gde Pudja ketika membahas dimulainya pertumbuhan hukum Hindu. Pudja mengatakan, bagian-bagian dari ajaran –ajaran dan pasal-pasal dalam Dharmasastra telah dioper dan dipergunakan sebagai hukum pada masa kerajaan Hindu di Indonesia. Bahkan bukan pada masa kerajaan Hindu saja, karena secara tidak disadari bahwa hukum itu masih tetap berlaku dan berpengaruh pula dalam hukum positif di Indonesia melalui bentuk-bentuk hukum adat. Bentuk acara hukum dan kehidupan hukum Hindu yang paling nyata masih terasa sangat berpengaruh adalah bentuk hukum adat di Bali dan Lombok, sebagai hukum yang berlaku hanya bagi golongan Hindu semata-mata (Pudja,1977:34). Dalam berbagai penelitian dan penulisan Hukum Adat, baik dalam bidang hukum pidana (Adat Delict), dalam bidang hukum Perdata terutama hukum Waris, hukum kekeluargaan dan perkawinan yang dikatakan hukum adat, semuanya ternyata hukum hindu. Baik pengertian, istilah-istilah yang dipakai maupun dasar filosofinya ternyata dioper dari kitab-kitab suci Hindu. Demikian pula pengenaan pembagian delapan belas titel hukum atau astadasa wyawahara, pembagian 12 jenis anak, berbagai jenis pidana adat seperti brahmahatia, wakparusia, sahasa dan sebagainya, semuanya merupakan hukum agama. Ini berarti hukum Adat itu sebagai besar adalah hukum agama. Ini berarti hukum Adat itu sebagian besar adalah hukum agama Hindu (Pudja, 1997:34-35).

        Dalam praktek di tengah masyarakat memang tampak gejala yang bertaut menaut antara Hukum Hindu dengan Hukum adat. Kitabkitab hukum Hindu dalam bentuk kompilasi seperti Adigama, Agama, Kutaragama, Purwadigama dan Kutara Manawa, memang amat sering dijadikan sumber penyusunan Hukum Adat. Hanya transper ke dalam Hukum Adat tidak dilakukan sepenuhnya, karena tidak semua materi dalam hukum Hindu tersebut sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan masyarakat. Disini para tetua adat sangat berperan sebagai tokoh yang menyaring nilai-nilai hukum hindu untuk disenafaskan dengan kebutuhan sesuai dengan system sosial yang berkembang. Sejarah dari zaman Hindia Belanda mewariskan sesuatu yang pincang. Terutama dalam soal pengembangan hukum agama Hindu. Sebab semua ketentuan hukum yang ditujukan bagi masyarakat pribumi dan Timur Asing harus diundangkan terlebih dahulu menjadi hukum Adat. Paulus menguatkan dugaan ini. Ia mengatakan dalam hal melakukan peradilan di Hindia Belanda untuk orang-orang Pribumi dan Timur Asing terutama haruslah dilihat pada hukum kebiasaan mereka, yaitu adat. Dalam IS(ps 31 ayat 2 dibawah b), hukum ini disebut “peraturan-peraturan Hukum yang berkaitan dengan agama dan kebiasaan mereka”).(BP Paulus, 1979:159). 

        Semua pelanggaran dengan demikian berarti ditundukkan pada hukum adat yang berlaku. Ini berarti hukum adat menduduki orbit yang sentral dan telah berperan dominan dalam suatu lingkungan budaya tertentu, yakni lingkungan masyarakat adat yang mendukungnya. Konsekwensi dari peran yang dominan itu menjadikan hukum Adat semakin mengakar dan melembaga dalam interaksi sosial masyarakatnya, dalam arti bahwa kepatuhan masyarakat terhadap Hukum Adat tersebut tidak dapat dibantahkan. Konsekwensi lain ialah membawa akibat yang sangat fatal, dimana mulai muncul tokoh-tokoh hukum adat yang tidak lagi menerima anggapan bahwa hukum adat bersumber kepada hukum hindu atau dharmasastra. Van Vollenhoven adalah salah satu dari banyak sarjana yang berpendapat demikian. Sarjana ini menentang secara langsung pendapat Prof. Van Den Berg yang mengemukakan bahwa hukum Adat bersumber pada hukum agama dengan disana-sini terdapat penyimpangan-penyimpangan. 

        Berangkat dari pemikiran-pemikiran Van Den Berg, Gde Pudja memberi penekanan khusus pada hukum adat yang hakikatnya bersumber pada hukum agama. Dalam banyak hal pandangan tersebut mengandung pembuktian yang benar dan faktual. Mengemukakan hasil penelitiannya, Gde Pudja lebih jauh mengemukakan, “Hukum Hindulah yang merupakan sumber dasar Dari Hukum Adat di Indonesia terutama di daerah-daerah dimana pengaruh Hindu itu sangat besar. Untuk daerah Bali dan Lombok, pembuktian itu tidaklah begitu sulit, karena seluruh pola pemikiran dan tata  masyarakat yang beragama Hindu, tetap mendasarkan pada ajaran ajaran agama Hindu yang mereka yakini(Pudja, 1977: 192). Kembali kepada teori Soerjono Soekarnto yang mengemukakan bahwa hukum Adat bersumber dari perkembangan prilaku yang berproses melalui cara, kebiasaan, tata kelakuan, dan adat istiadat, baru kemudian menjadi hukum adat, akan semakin mempertegas mengenai pembuktian adanya hukum Hindu menjiwai hukum adat. Namun kerangka teori ini akan melahirkan adat murni, karena ia bersumberkan kepada perilaku menjadi manusia, baik personal maupun umum. 

        Dalam proses menjadikan perilaku menjadi kebiasaan, tata kelakuan dan adat istiadat, Dharmasastra atau hukum Hindu sedikit banyak memberi pengaruh, berhubung kebiasaan, tata kelakuan dan adat istiadat itu dibatasi oleh suatu norma-norma sosial dan norma-norma agama yang bersumber langsung dari wahyu Tuhan. Hukum Hindu dalam pembahasan dimuka dinyatakan bersumber pada Rta. Meski dibentangkan secara tersirat (inplisit) dari beberapa uraian di depan, kecuali menegakkan kebaradaan hukum Hindu yang menjiwai hukum adat, sebenarnya dengan sendirinya juga berarti mencakup pengertian hukum hindu menjiwai kebiasaan. Kebiasaan ini dibatasi dalam kontek-nya yang berkiblat pada hukum adat. I Ketut Artadi menggambarkan kebiasaan itu demikian: “Dalam aspek lain hubungan antar warga ini menonjol juga dalam hal pentaatan terhadap kebiasaan pergaulan hidup yang dihormati (sima) yang dapat berupa tata susila, sopan santun, hidup dalam pergaulan di suatu desa, yang sedemikian dianggap patut seperti cara bertegur sapa, menolong warga lain yang terkena musibah, saling tolong dalam menanam padi, saling Bantu dalam soal membuat rumah dll”.(Artadi,1987:2). Komponen ini dari pernyataan tersebut berturut-turut adanya pentaatan dari warga (masyarakat), kebiasaan pergaulan hidup yang dihormati , dan output berupa kebiasaan tolong menolong. Ide-ide untuk mematuhi norma sosial dan norma agama, sehingga melahirkan perilaku sosial yang tolong menolong, seperti terdapat dalam komponen tersebut di atas, merupakan ide-ide yang melahirkan hukum adat. Dengan demikian terdapat hubungan berantai dan estafet: dari hukum Hindu menjiwai hukum adat, dan penjiwaan itu mengalir juga menjiwai kebiasaan kehidupan

Komentar

Postingan Terakhir

8-latest-65px

Comments

8-comments