Melampaui Bahasa sebagai Makhluk Homo Symbolicum
.
Oleh : Haris Brahma Eka Aditya
.
.
Manusia adalah makhluk istimewa yang memiliki kecerdasan majemuk (multiple intelligence). Seorang psikolog dan ahli pendidikan dari Universitas Harvard AS yaitu Prof. Dr. Howard Gardner merumuskan teorinya Multiple Intelligence. Multiple Intelligence yang dibabarkan oleh Gardner ada 9 yaitu kecerdasan Linguistik, Matematis-Logis, Visual-Spasial, Kinestetik-Jasmani, Musikal, Interpersonal, Intrapersonal, Naturalis, dan Eksistensial. Sungguh itu merupakan anugerah terindah yang dimiliki oleh seorang manusia. Dengan kecerdasan tersebut, semakin mengembangkan diri maka manusia menjadi makhluk yang berdaya sosial tinggi. Berdaya sosial yang tinggi membuat manusia bisa berkomunikasi dengan berbagai bentuk sesuai dengan kualitas kecerdasan yang dikembangkan. Komunikasi merupakan proses pertukaran dan pemaknaan pesan antarindividu atau kelompok individu. Komunikasi berawal dari keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain maupun makhluk hidup lainnya. Kualitas kecerdasan majemuk yang telah dijelaskan diatas menjadi jembatan untuk bisa saling berinteraksi dalam komunikasi multi dimensi.
.
.
Melihat isu fenomena terkini, terlihat bahwa dunia global menjadi semakin abstrak dan semakin kompleks. Mau tidak mau manusia modern saat ini juga harus membuka diri untuk memahami bahasa global. Hal itu diharapkan karena jangkauan manusia bukan hanya pada lingkungan lokalnya saja tapi saat ini sudah meluas seperti tidak ada sekat antara batas ruang ataupun waktu. Karena pada masa lalu masyarakat bumi belum global seperti saat ini yang bisa memahami simbol, ikon, lambang, tata-cara, budaya dari masyarakat yang berada pada daerah lain. Maka kecerdasan local pada suatu daerah saat itu mau tidak mau harus dibahasakan dengan sesuatu yang mungkin dapat dimengerti oleh masyarakat masa itu. Oleh karena itu untuk memahami sesuatu maka manusia perlu terjun ke dalam diri untuk kontemplasi. Kontemplasi yang baik adalah memperhatikan alam dengan segala kenaturalannya. Alam merupakan natural-force yang alami dan tidak membuat kerancuan hukum alami. Seperti contoh hukum grafitasi yang natural pada bumi ini, hukum ini tidak pilih kasih membedakan daya tariknya pada daerah tertentu atau golongan tertentu saja. Oksigen, Matahari, Siang Malam dan banyak lagi Law-Of-Nature disekeliling kita yang mungkin belum kita ketahui. Daya-daya natural tersebut juga memiliki berbagai layer atau lapisan yang memiliki tatanan dimensi yang berbeda pula.
.
.
Kebijaksanaan pada manusia sebagai makhluk Homo Symbolicum menjadi jembatan kasih antar makhluk lainnya. Simbol yang tercipta pada setiap tatanan kehidupan merupakan buah dari kontemplasi yang diciptakan manusia pula. Walaupun banyak juga yang terwujud secara alami dan natural. Sebagai makhluk individu manusia mengamati realita ini dengan pikiran dan rasa. Hingga akhirnya terbentuk komunitas sosial dan terwujudlah kesepakatan dari kecerdasan daya cipta manusia yang muncul dalam bentuk bahasa verbal ataupun non verbal. Komunitas ini akan semakin berkembang dengan frekuensi yang sama bahwa manusia memahami simbol verbal ataupun non verbal secara sepakat. Contoh ini seperti adat daerah Bali, hanya bisa dipahami pada masyarakat daerah Bali tersebut pula. Meskipun kita ketahui bersama ritus adat itupun juga perpaduan dari kecerdasan yang ditransformasikan pada simbol-simbol tertentu dan dimaknai secara filosofis pada adat dan budaya tertentu. Kesimpulannya adalah ketika manusia bisa memahami simbol-simbol pada daerah secara verbal ataupun non-verbal, maka unity (keutuhan) akan terbentuk. Akan tetapi jika manusia tetap kukuh untuk sempit hanya pada bahasa, simbol dan tata-cara digolongan atau komunitas mikro/makro sendiri, maka itu akan menciptakan sikap etnosentrisme. Etnosentrisme merupakan pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaan sendiri, biasanya disertai dengan sikap yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan lain.
.
.
Kecerdasan majemuk manusia sebagai makhluk Homo Symbolicum inilah yang menciptakan banyak bahasa. Seperti yang dijelaskan diatas yaitu bahasa verbal dan non-verbal. Kemampuan memahami ini akan membuat manusia utuh pada kemajemukan sebagai makhluk hidup. Memahami adat, tradisi, budaya, bahkan Agama yang saat ini menjadi tantangan manusia untuk bijaksana dalam saling memahami pola-pola simbol yang berbeda. Secara natural keindahan kontemplasi manusia dalam menciptakan simbol menjadi ciri otentik yang khas. Seperti contoh di Nusantara, ada suku Jawa, Bali, Batak, Sunda, Dayak dan sebagainya, mereka memiliki ciri otentik yang khas namun jika dibawa pada satu titik yang mendasar tetap saja bahasa ataupun simbol yang terwujud untuk mensakralkan atau mengutuhkan pola kehidupan ini. Ada cuplikan dari penulis oleh Danz Suchamda yaitu “Jadi kalau soul anda mengerti, maka tidak akan lagi terbelenggu oleh istilah-istilah bahasa yang merupakan alat untuk pikiran bekerja”. Daya fleksibelitas, universalitas, kreatifitas dan seni tidak akan dipahami oleh mereka yang menutup diri untuk tidak memahami simbol-simbol dibalik itu. Dasar dari kecerdasan majemuk ini adalah kontemplasi pada diri dan alam semesta. Karena secara mendasar kita sebagai bagian alam ini adalah satu tidak terpisah satu dengan lainnya. Keterpecahan atau fragmentasi terbentuk karena manusia kaku dalam memahami keutuhan yang agung ini.
.
.
Manusia juga disebut binatang yang memiliki kecerdasan. Disisi lain bisa diistilahkan dalam animal symbolicum, yaitu binatang modern yang bisa menghubungkan keterpecahan pola alam menjadi satu kesatuan yang utuh. Kecerdasan yang alami sebagai makhluk Homo Symbolicum adalah menciptakan jembatan komunikasi antar simbol dan mewujudkan keteraturan sesuai Law-Of-Nature. Hukum semesta ini merupakan keterkaitan energi yang saling mengisi satu sama lain. Makanya alam semesta (universe) menjadi contoh dalam keteraturan multi dimensi yang bisa dipahami dengan memahami layer demi layer dimensi tersebut. Bahasa yang tertulis dalam sebuah kitab suci ataupun literatur masa lalu pun jika bisa kita sepakati bahwa kita sebagai manusia hanya bisa meng¬-interpretasi¬¬-kan itu menurut kecerdasan masing-masing. Sebagai tambahan tidak ada yang sama dalam memahami bahasa tersebut, namun secara kemampuan diri manusia hanya bisa sepakat untuk utuh. Bagaimana cara memahami dan melampaui bahasa/simbol itu secara utuh (unity)? Yaitu dengan kontemplasi mendalam memahami diri sebagai bagian dari semesta agung ini. Sehingga bisa paham melampaui bahasa/simbol dengan ruang waktu yang tak terwakili bahasa apapun tapi terwakili oleh Rasa Sunya (Feel Emptyness). Karena dalam abstraksi piramidal yang terbawah, segala sesuatu memang keterpecahan dan memiliki sekat pada masing-masing ruang dan waktu. Namun semakin melampaui fractal- fractal itu akan terbentuk pada satu keutuhan yang tak terpisah, dan puncak abstraksi piramidal adalah Emptyness (Kekosongan). Seperti yang tersirat pada Hukum Kekekalan Energi (Hukum I Termodinamika) : “Energi dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain tapi tidak bisa diciptakan ataupun dimusnahkan (konversi energi)”. Jadi tidak ada yang berbeda pada alam semesta ini, walaupun dengan simbol, bahasa, lambang dan sebagainya, itu hanyalah wujud lain dari pemaknaan atau implementasi seni kecerdasan makhluk Homo Symbolicum.
.
.
Sabda Svara Ong Sunyata.
Sekian, Salam Rahayu Shanti.
rahayu bang, menarik artikelnyaa
BalasHapusSuksme bli, mohon kritik dan sarannya juga 🙏🙏
BalasHapus