Menurut
tradisi yang lazim telah diterima oleh para para Maharsi tentang penyusunan atau pengelompokan
materi yang lebih sistematis sebagai sumber Hukum Hindu berasal dari Veda Sruti
dan Veda Smrti. Veda Sruti adalah kitab suci Hindu yang berasal dari wahyu Ida Sang
Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa yang didengar langsung oleh para Maharsi, yang
isinya patut dipedomani dan dilaksanakan oleh umat sedharma. Veda Smrti adalah
kitab suci Hindu yang ditulis oleh para Maharsi berdasarkan ingatan yang
bersumber dari wahyu Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, yang isinya patut juga dipedomani dan dilaksanakan
oleh umat sedharma. Veda Smrti sebagai
sumber Hukum Hindu dapat kita kelompokkan menjadi dua kelompok yaitu
:
1. Kelompok Vedangga/Batang tubuh Veda ( Siksa, Wyakarana,
Chanda, Nirukta, Jyotisa dan Kalpa).
2. Kelompok UpaVeda /Veda tambahan ( Itihasa, Purana,
Arthasastra, Ayur Veda dan Gandharwa Veda).
Bagian
terpenting dari kelompok Vedangga adalah Kalpa yang padat denga isi Hukum
Hindu, yaitu Dharmasastra, sumber hukum ini membahas aspek kehidupan manusia
yang disebut dharma. Sedangkan sumber hukum Hindu yang lain yang juga menjadi
sumber Hukum Hindu adalah dapat dilihat dari berbagai kitab-kitab lain yang
telah ditulis yang bersumber pada Veda diantaranya:
1. Kitab
Sarasamuscaya
2. Kitab Suara
Jambu
3. Kitab
Siwasasana
4. Kitab
Purwadigama
5. Kitab Purwagama
6. Kitab Devagama
(Kerthopati)
7. Kitab Kutara
Manawa
8. Kitab Adigama
9. Kitab
Kerthasima
10. Kitab
Kerthasima Subak
11. Kitab Paswara
Dari
berbagai jenis kitab di atas memang tidak ada gambaran yang jelas atassaling
berhubungan satu dengan yang lainnya. Semua kitab tersebut memuatberbagai
peraturan yang tidak sama satu dengan yang lainya karena masingmasing kitab
tersebut bersumber pada inti pokok peraturan yang ditekankan. Bidang-bidang
Hukum Hindu sesuai dengan sumber Hukum Hindu yang paling terkenal adalah Manawa
Dharmasastra yang mengambil sumber ajaran Dharmasastra yang paling tua, adapun
pembagian terdiri dari :
1. Bidang Hukum Keagamaan, bidang ini banyak memuat ajaran-ajaran yang mengatur tentang tata cara keagamaan yaitu menyangkut tentang antara lain;
*Bahwa semua alam semesta ini diciptakan dan dipelihara oleh suatuhukum yang disebut rta atau dharma.
*Ajaran-ajaran yang diturunkan bersifat anjuran dan larangan yang semuanya mengandung konsekuensi atau akibat (sanksi ).
*Tiap-tiap ajaran mengandung sifat relatif yaitu dapat disesuaikan dengan zaman atau waktu dan dimana tempat dan kedudukan hukum itu dilaksanakan, dan absolut berarti mengikat dan wajib hukumnya dilaksanakan.
*Pengertian warna dharma berdasarkan pengertian golongan fungsional.
2.
Bidang Hukum Kemasyarakatan, bidang ini banyak memuat
tentang aturan atau tata cara hidup bermasyarakat satu dengan yang lainnya,
atau sosial. Dalam bidang ini banyak diatur tentang konsekuensi atau akibat dari
sebuah pelanggaran, kalau kita telusuri lebih jauh saat ini lebih dikenal
dengan hukum perdata dan pidana. Lembaga yang memegang peranan penting yang
mengurusi tata kemasyarakatan adalah Badan Legislatif, yang menurut Hukum Hindu
adalah Parisadha. Lembaga ini dapat membantu menyelesaikan masalah dengan cara
pendekatan perdamaian, dan jika tidak berhasil maka ke pengadilan.
3.
Bidang Hukum Tata Kenegaraan, bidang ini banyak memuat
tentang tata cara bernegara, dimana terjalinnya hubungan warga masyarakat
dengan negara sebagai pengatur tata pemerintahan yang juga menyangkut hubungan
dengan bidang keagamaan. Disamping sistem pembagian wilayah administrasi dalam
suatu negara, Hukum Hindu ini juga mengatur sistem masyarakat menjadi
kelompok-kelompok hukum yang disebut ;Warna, Kula, Gotra, Ghana, Puga, dan
Sreni, pembagian ini tidak bersifat kaku karena dapat disesuaikan dengan
perkembangan zaman.
Kekuasaan
Yudikatif diletakkan pada tangan seorang raja atau kepala negara, yang
bertugas, memutuskan semua perkara yang timbul pada masyarakat. Raja dibantu
oleh Devan Brahmana yang merupakan Majelis Hakim Ahli, baik sebagai lembaga
yang berdiri sendiri maupun sebagai pembantu pemerintah didalam memutuskan
perkara dalam sidang pengadilan (dharma sabha), pengadilan biasa (dharmaastha),
pengadilan tinggi (pradiwaka) dan pengadilan istimewa.
Bagi umat sedharma atau masyarakat yang beragama Hindu, sumber hukumnya adalah kitab suci Veda. Ketentuan mengenai Veda sebagai sumber Hukum Hindu dinyatakan dengan tegas di dalam berbagai jenis kitab suci veda.
Peninjauan sumber hukum dapat kita lihat dalam berbagai kemungkinan. Peninjauan ini dibenarkan berdasarkan ilmu hukum, mengingat pengertian sumber hukum itu sendiri tidak ada persamaan. Oppenheim dalam Pudja (1977:15), mengemukakan masalah sumber hukum itu dilihat dari arti kata yaitu kata “sumber” yang oleh beliau disebut “SOURCE”. di dalam buku “International Law A Treatire”1. mengemukakan bahwa dengan sumber dimaksudkan ialah asal dari mana kaedah-kaedah itu bertumbuh dan berkembang. Pengertian ini dibandingkan sebagai perumpamaan dengan mata air yang mempunyai berbagai anak sungai dimana air-air sungai itu berasal dari mata airnya sampai pada ke tempat tujuan.
Sumber
hukum Hindu dalam arti sejarah adalah sumber hukum Hindu ynag digunakan oleh
para ahli hindulogi dalam peninjauannya dan penulisannya mengenai pertumbuhan
dan kejedian hukumhindu itu terutama dalam rangka pengamatan dan peninjauan
masalah aspekaspek politiknya, pilosofinya, sosiologinya, kebudayaannya dan hukumnya
sampai pada bentuk materiil yang tampak berlakau pada satu masa dan tempat
tertentu. Peninjauan sumber hukum Hindu secara histories ditujukan pada
penilaian data-data mengenai berlakunya kaedah-kaedah hukum berdasarkan dokumen
tertulis yang ada. Penekanan harus pada dokumen tertulis karena pengertian
sejarah dan bukan sejarah adalah terbatas, pada bukti tertulis. Kaedah-kaedah
yang ada dalam bentuk tidak tertulis (pra sejarah), tidak bersifat sejarah
melainkan secara tradisional atau kebiasaan yang di dalam hukum Hindu disebut
Acara. Kemungkinan kaedah-kaedah berasal dari pra-sejarah ditulis dalam jaman
sejarah, dapat dinilai sebagai satu proses pertumbuhan sejarah hukum dari satu
phase ke phase yang baru. Berdasarkan pengertian sumber tertulis, peninjauan
sumber hukum Hindu dilihat berdasarkan penemuan dokumen yang dapat kita baca dengan
melihat secara umum dan itensitasnya. Menurut bukti-bukti sejarah dokumen
tertua yang memuat pokok-pokok hukum Hindu, pertama-tama kita jumpai di dalam
Weda yang dikenal dengan nama Sruti. Kitab Weda Sruti tertua
adalah kitab Rg Weda yang diduga mulai ada pada tahun 2000 SM-1000 SM, ajaran
hukum yang ada masih bersifat Tradisional dimana isi seluruh kitab weda itu
disampaikan secara lisan dari satu generasi ke generasi yang baru. Sementara
itu jumlah kaedah-kaedah itu berkembang dan bertambah banyak. Adapun
kitab-kitab berikutnya yang merupakan sumber hukum pula timbul dan dikembangkan
pada jaman berikutnya, dalam jaman smerti. Dalam jaman ini terdapat yajur
Weda, Atharwa Weda dan Sama Weda. Kemudian berkembang
pula kitab Brahmana dan Arnyaka. Semua kitab-kitab dimaksud
adalah dokumen tertulis yang memuat kaedah-kaedah hukum yang berlaku pada jaman
itu. Phase II dalam sejarah pertumbuhan sumber hukum adalah adanya kitab Dharma
sastra yang merupakan kitab undang-undang murni dibandingkan dengan kitab
sruti. Kitab ini dikenal dengan kitab smerti, jenis buku-buku ini banyak dan
mulai berkembang sejak abad ke X SM. Berbagai cabang ilmu diterangkan dalam
bentuk kaedah yang menjadi landasan pola berpikir dan berbuat. Kitab Smerti ini
terutama dibagi menjadi enam bidang kodifikasi, mulai dari ilmu bahasa sampai pada
agama. Keenam itu disebut Sad Wedangga. Dari enam Wedangga itu,
yang terpenting untuk bidang hukum adalah Dharma Sastra (ilmu Hukum) Menurut
bentuk penulisnya dapat dibedakan antara dua macam yaitu:
1) Sutra,
yaitu bentuk penulisan yang amat singkat, semacam aphorisme.
2) Sastra, yaitu
uraian-uraian panjang atau yang lebih terurai.
Antara kedua
bentuk itu, bentuk Sutra dianggap paling tua yang ditulis ± tahun 1000
SM. Adapun bentuk sastra kemungkinan ditulis pada abad ke VI SM. Penulisan dan
asal mula hukumnya tidak sama karena authornya sendiri hidup jauh sebelum
naskah itu ditulis. Nama Manu dan Bhrgu telah kita jumpai setidak-tidaknya pada
abad ke 15 SM. Nama Manu disebut-sebut didalam Rg. Weda. Dengan demikian pula
nama Bhrgu. Dari dua penemuan di atas, hubungan antara Sruti dan Smrti
ditetapkan pada kitab Smrti sebagai sumber dokumen tertulis yang baru. Hubungan
antara Sruti dan Smrti ditegaskan dalam Bab II jo II. 7 dan
II.10.14 yang dapat diartikan bahwa dengan berlakunya hukum baru berdasarkan Smrti,
tidak berarti kaedah-kaedah yang telah ada dalam Sruti dihapus melainkan
harus dianggap tetap berlaku.
Smrti merupakan sumber baru yang menambah jumlah kaedah hukum
yang berlaku bagi masyarakat Hindu. Dengan demikian kita melihat adanya sistem
didalam Smrti yang dapat kita simpulkan dalam dua hal, yaitu:
1) Kaedah yang
berlaku sebelumnya dinyatakan berlaku dalam satu ketetapan.
2) Selama kaedah
itu tidak dihapuskan secara tegas, ketentuan hukum yang baru berlaku
bersama-sama dengan kaedah-kaedah hukum yang telah ada.
Akibatnya
timbul pilihan hukum yang dibenarkan pula sebagaimana contoh dikemukakan dalam
kitab Manusmrti II.15. Satu kemajuan dalam sejarah hukum Hindu ialah adanya pengesahan
berlakunya adat istiadat sebagai sumber hukum baru disamping kitab Smrti.
Dalam ilmu sejarah, perkembangan dan pembagian berlakunya hukum pun dapat kita
jumpai yaitu:
1) Manawadharma
sastra berlaku untuk jaman Krta Yuga.
2) Gautama
Dharmasastra berlaku pada jaman Treta.
3) Samkha-likhita
Dharmasastra berlaku pada jaman Dvapara.
4) Parasara
Dharmasastra berlaku pada jaman Kali.
Empat
bentuk Dharmasastra di atas, hanya penting kita lihat dalam rangkaian
pengertian sumber hukum dalam arti sejarah bukan materiil karena Manawadharma
sastra yang dikatakan berlaku pada jaman Krta Yuga berlaku pula pada jaman Kali
. Sejarah pertumbuhan hukum Hindu lebih jauh ditandai oleh adanya pertumbuhan
tiga madzab dalam hukum Hindu, yaitu:
1). Aliran Yajnawalkya
oleh Yajnaneswara
2) Aliran Mitaksara
Oleh Wijnaneswara.
3) Aliran Dayabhaga
oleh Jimutawahan.
Timbulnya
aliran-aliran hukum Hindu itu merupakan phenomena sejarah hukum Hindu yang
makin meluas dan makin berkembang.Adanya kritikus-kritikus system yang membahas
berbagai aspek hukum Hindu bertanggung jawab bagi lahirnya aliran-aliran hukum
tersebut.
Akibatnya timbul sebagai masalah hukum yang relatif menimbulkan variabilitas
kaedah-kaedah hukum Hindu antara berbagai daerah. Dua aliran hukum yang
terakhir itu mulai berpengaruh di Indonesia, terutama aliran Mitaksara, dengan
berbagai pengadaptasiannya. Pembinaan-pembinaan kemudian seperti kita jumpai
dalam berbagai rontal dengan berbagai nama, seperti Usana, Gajahmada, sarasamuccaya,
Kutara Manawa, agama, adigama, Purwadigama, Krtapati, Krtasima dan
berbagai jenis sesana (Rajasasana, Siwasasana, Putrasasana, Rsi
Sasana dll), adalah gubahan yang sebagai bersifat
copious
(Penyalinan) dan sebagian bersifat pengembangan. Yang terpenting dalam sumber
hukum dalam arti sejarah lainnya adalah adanya Rajasasana yang dituangkan dalam
berbagai prasasti dan paswara-paswara yang merupakan yusprudensi hukum Hindu dilembagakan
oleh raja-raja Hindu. Inilah hal-hal yang tampak pada kita secara garis
besarnya mengenai sumber-sumber hukum Hindu didasarkan atas sejarahnya.
2.
Sumber Hukum Hindu menurut Sosiologis
Sosiologi
mempelajari ilmu kemasyarakatan. Masyarakat adalahkelompok manusia pada daerah
tertentu yang mempunyai hubungan, baik hubungan budaya, agama, bahasa dan
lain-lainnya. Hubungan antara mereka telah mempunyai aturan yang melembaga,
baik berdasarkan tradisi maupun berdasarkan pengaruh-pengaruh baru yang datang
kemudian. Pemikiran atau perenungan berbagai kaedah hukum tidak lepas dari
pandangan-pandangan masyarakat setempat. Lebih-lebih hukum itu bersifat dinamis
dan berkembang. Peranan ahli pikir, orang-orangtua, lembaga desa, Parisada
dalam ikut serta mewarnai penggambaran hukum tidak dapat dielakkan. Dalam
mempelajari data-data tertentu yang bersumber pada Weda, seperti
Manawadharmasastra II. secara tegas menandaskan bahwa sumber dharma atau
hukum tidak saja Sruti dan Smrti tetapi juga sila (tingkah laku
orang-orang beradab), Acara (adat-istiadat atau kebiasaan setempat) dan Atmanastuti(apa
yang memberi kepuasan pada diri sendiri). Oleh karena aspek sosiologi tidak
saja mempelajari bentuk masyarakat tetapi juga kebiasaan dan moral dalam
masyarakat itu. Tanpa mengabaikan faktor sejarah pertumbuhan masyarakat itu
sendiri,
berkembangnya masyarakat sampai pada bentuk-bentuknya yang tertentu itu
menyebabkan kita tidak dapat mengabaikan faktor sosiologis masyarakat itu,
dalam pengamatan sosiologi tidak didasarkan pada faktor waktu, tetapi bentuk
tata kemasyarakatan pada waktu itu. Hukum tidak memperlakukan atas dasar waktu
walaupun masalah waktu berpengaruh pada pertumbuhan hukum itu.demikian pula
hukum Hindu yang disebut dharma. Bahkan hukum Hindu terlalu liberal menyebabkan
tidak mungkin memiliki kesatuan bentuk kecuali azas dan pula idiologinya saja.
Penerapan Dharma didasarkan pada azasazas
tertentu yang
disebut berdasarkan Samaya (waktu), Desa (lokal, tempat, daerah,
wilayah), Acara (kebiasaan), Kula (keluarga), Warna (golongan),
Samanya (sifat-sifat umum) yang berarti ilmu sosiologi berperan sekali dalam
menunjang sumber-sumber hukum Hindu itu.
3.
Sumber Hukum dalam Arti Filsafat
Filsafat
adalah ilmu pikir. Dalam ilmu filsafat terlihat berbagai macam ilmu terutama
ilmu etika, epistemology dengan metafisika. Etika membahas berbagai konsep
pandangan tentang nilai yang dianut baik oleh masyarakat tertentu maupun
masyarakat umum. Nilai adalah “guna dharma” yang di dalam pandangan
barat dibedakan antara “value” dengan “moral”, dan dalam bahasa sehari-hari
katakan “susila” atau “dharma”. Bahasa sehari-hari ini berasal
dari bahasa Sansekerta, bahasa yang dipakai oleh agama Hindu. Arti kata atau
makna dan tujuan istilah Sila atau Susila dan Dharma harus
diartiakan sebagaimana halnya, ada juga diartiakan secara terbatas Penafsiran
kata Sila dan Dharma secara terbatas dapat dibatasi arti
hukumnya. Filsafat membimbing manusia tidak saja pandai tetapi juga dimaksudkan
untuk mencapai Sonumbonum manusia yang dalam agama Hindu disebut “moksa”.
Moksa adalah tingkat kebahagiaan rokhani yang tertinggi. Tingkat
kebahagiaan itu merupakan cita-cita manusia menurut Hindu dimana keadilan dan
kedamaian ditegakkan. Untuk mencapai tingkat kebahagiaan itu ilmu filsafat
Hindu menegaskan system dan metode pelaksanaannya seperti:
1) Harus
didasarkan pada Dharma.
2) Harus
diusahakan melalui keilmuan (jnana).
3) Hukum
didasarkan pada kepercayaan (sadhana).
4) Harus didasarkan pada usaha-usaha yang terus-menerus
dengan pengendalian (danda) seperti pengendalian pikiran (mano danda)
pengendalian tulisan kata (wrg/wak danda) dan pengendalian tingkah laku
(kaya danda).
5) Harus ditebus
dengan usaha prayascitta (pensucian)
Dalam
arti epistimologi atau ilmu pengetahuan, filsafat Hindu tidak saja mengajarkan
tentang arti kata, tetapi juga sistem dan mencoba pencapaian buah pikiran dalam
pemakaian kata-kata itu. Likika dan pramatisme guna mendapatkan
kebenaran ilmu (pramana) yang disebut “Satya”. Kurangnya
tantangan dan peneriamaan kita terhadap filsafat sebagai sumber hukum adalah
karena kita beranggapan bahwa filsafat adalah metafisika, sedangkan metafisika
boleh dikatakan hampir tidak diperlukan sama sekali dalam bidang hukum kecuali
sebagai idiologi yang dianut oleh masyarakat pendukung hukum itu sendiri. Sebaliknya
kalau kita menyadari bahwa hukum itu adalah menyangkut berbagai bidang, akan
tidak terelakan pentingnya arti filsafat itu dalam menyusun hipotesa hukum yang
diperlukan. Bahkan filsafat akan menduduki tempat terpenting pula dalam ilmu
hukum. Agama tidak saja mengajarkan bagaimana manusia menyembah Tuhannya tetapi
juga memuat filsafat, hukum dan lain-lain. Oleh karena itu dimana filsafat
terutama bersumber pada agama maka ajaran-ajaran kefilsafatannya itu karena
dilihat pada hukum kenoniknya yang terdapat didalam kitab sucinya itu.
4. Sumber Hukum dalam Arti Formal menurut Weda.
Menurut. Van Apeldoorn, sumber hukum dalam arti
formil ialah sumber hukum berdasarkan sumber yang dibuat berdasarkan bentuk
yang dapat menimbulkan hukum positif itu artinya dibuat oleh badan atau lembaga
yang ada. Yang termasuk sumber hukum dalam arti formal
dan bersifat pasti yaitu; Undang-undang, Kebiasaan dan adat, serta Traktat
(Puja Gde 1984:85).
Ada juga penunjukkan jenis sumber dengan
menambahkan yurisprudensi dan pendapat ahli hukum. Dengan demikian akan kita
lihat susunan sumber hukum itu sebagai berikut :
1) Undang-undang,
2) Kebiasaan dan Adat,
3) Yurisprudensi,
4) Pendapat ahli hukum yang terkenal.
Sistematika susunan sumber hukum di atas, dianut
pula dalam hukum International, sebagaimana tertera dalam ps. 38 Piagam
Mahkamah International dengan menambahkan azas-azas umum hukum yang diakui oleh
berbagai bangsa yang beradab sebagai sumber hukum pula. Dengan demikian
terdapat susunan hukum sebagai berikut:
1). Traktat International yang kedudukannya sama
seperti UU terhadap negara itu.
2). Kebiasaan International.
3). Azas-azas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa
yang beradab.
4). Keputusan-keputusan hukum sebagai yurisprudensi
bagi suatu negara.
5). Ajaran-ajaran yang dipublisir
oleh para ahli dari berbagai negara hukum tersebut sebagi alat tambahan dalam
bidang pengetahuan hukum
Sangat menarik perhatian kita ialah bahwa sistem
dan azas yang dipergunakan mengenai masalah sumber hukum itu terdapat pula di
dalam Weda, terutama kitab Manawadharmasastra uraian II 6-14.Menurut Weda, dan
kitab Manus II.6 mrti sumber hukum (dharma) adalah:1) Sruti ,2) Smrti ,3) Sila, 4) Acara, 5) Atmanastuti.
Sruti, menurut penafsiran otentis dalam kitab Smrti
itu ialah Weda dalam arti murni, yaitu wahyu-wahyu yang dihimpun dalam beberapa
buah buku, disebut mantra samhita (terdiri atas empat buku, yaitu Rg Weda,
Yajur Weda, Atharwa Weda dan Sama Weda). Brahmana dan Aranyaka. Kalau kita bandingkan dalam bentuk perundang-undangan
negara, Sruti dianggap sebagai UUD, karena Sruti merupakan sumber
atau asal dari ketentuan-ketentuan berikutnya. Dalam hal ini Smrti
merupakan peraturan atau ajaran-ajaran yang dibuat sebagai ajaran atau
pedoman berdasarkan Sruti. Karena itu Smrti dalam arti
perundangundangan dalam suatu negara adalah sebagai UU, baik UU Organik maupun
UU Anorganik. Di dalam Manawadharmasastra II. 10 dikatakan :
Srutistu Wedo wijneyo dharmasastra tu wai smrtih,
te sarwathawam
imamsye tabhyam dharmohi nirbabhau.
Terjemahan:
Sesungguhnya Sruti adalah Weda, Smrti itu dharmasastra, keduanya tidak boleh
diragukan apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber
dari pada hukum (dharma).Dari pasal itu, jelas bahwa Sruti yang ditunjuk
oleh pasal-pasal itu adalah Weda. Sebagaimana dengan halnya Weda itu, baik Weda
dan Dharmasastra oleh pasal ini dinyatakan dengan tegas sebagai sumber
hukum. Istilah hukum ini terjemahan dari kata Dharma. Selanjutnya
mengenai Weda sebagai sumber utama, dapat kita lihat dari pasal II. 6 yang
dirumuskan sebagai berikut:
“Wedo’khilo dharma mulam smrti
sile ca tad widam,
Acarasca iwa sadhunam atmanas tustirewa ca.
Terjemahan:
Seluruh Weda merupakan sumbar utama dari pada
hukum,
kemudian barulah smrti dan tingkah laku orang-orang
baik,
kebiasaan dan akhisnya atmastuti (rasa puas dari
diri sendiri).
Weda dalam bidang ilmu menyangkut bidang yang
sangat luas sehingga sruti dan smrti diartikan weda dalam tradisi hindu. Ilmu
hukum
hindu sendiri membatasi arti weda itu pada kitab sruti, sebagaimana
ditegaskan oleh pasal II.10 diatas. Adapun kitab-kitab yang tergolong jenis
kitab Sruti menurut tradisi hindu adalah kitab-kitab mantra, Brahma
dan Aranyaka. Kitab-kitab mantra terdiri atas empat buah buku, yaitu Rg.
Weda, sama Weda, yajur Weda dan atharwa Weda. Kitab Brahma yang merupakan
bagian-bagian tiap-tiap kitab sruti. Di samping itu terdapat 108 buah kitab
Aranyaka, kesemuanya tergolong kitab sruti karenanya itu dianggap sebagai
sumber hukum hindu. Kedudukan kitab-kitab sruti yang demikian banyaknya
itu menyebabkan kesulitan-kesulitan didalam meninjau masalah-masalah sumber
hukum itu. Demikian pula di dalam menggunakan sebagai sumber utama dalam
menentukan atau menemukan kaedah-kaedah mana yang harus diperlukan semua
ketentuan-ketentuan itu berlaku, artinya keduanya dapat digunakan menurut
pilihan, tanpa membatalkan di antara hukum yang bertentangan. Hal ini
dinyatakan dalam weda pasal II.14, yang terjemahannya sebagai berikut: “Bila
dua dari kitab suci itu bertentangan yang satu dari yang lain, keduanya
diteriama sebagai hukum karena keduanya telah diterima oleh orang-orang suci”.
Disamping itu, smrti dijelaskan didalam manusmrti sebagai dhramasastra. Dharma
adalah kebiasaan-kebiasaan atau hukum berdasarkan adat tertulis. Pengertian ini
di bedakan dari Acara yang lasim nya diartikan sama dengan kebiasaan-kebiasaan
atau tradisitradisi tidak tertulis. Smrti bersifat pengkhususan yang
memuat penjelasan-penjelasan otentis. Penafsiran dan penjelasan otentis
dibidang hukum(dharma) dihimpun dalam satu buku yang disebut Dharmasutra.
Dharmasutra ini kemudian dijadikan himpunan baru dalam betuk kodifikasi hukum (dharma)
dari ajaran Manu oleh Bhrgu. Himpunan inilah yang disebut Dharmasastra atau Manawadaarmasastra.
Kitab ini merupakan bagian dari enam buah kitab Weda dan merupakan bagian dari
pada Weda . Karena itu Manawadhramasastra adalah kitab Wedangga. Kelompok jenis
kitab Smrti lainnya adalah kelompok Upaweda. Dengan demikian kitab Smrti
sebagai sumber Hindu dibedakan antara dua macam kelompok buku, yaitu:
1. kelompok jenisWedangga, dan
2. kelompok Upaweda (weda tambahan)
Kitab Dharmasastra terdiri dari banyak buku yang
penulisnya berbeda-beda juga. Dari penelitian yang pernah dilakukan terdapat
deretan nama-nama penulis dharmasastra bersama dengan Manu,sebagai berikut:
1.
Manu,
2.
Apastambha,
3.
Baudhayana,
4.
Wasistha,
5.
Sankha Likhita,
6.
Yajnawalkya dan
7.
Parasara.
Disamping itu ada disebutkan 36 jenis kitab-kitab
smrti yang utama dari beberapa sarjana. Sedangkan menurut Yajnavalkya hanya
menemukan 20 kitab. Tiga kitab smrti yang paling terpenting dan mungkn termasuk
sebagai kitab-kitab smrti yang paling prinsip, antara
lain:
1) Manu Smrti, adalah kitab yang
paling penting. Manu Smrti adalah hukum tertinggi yang merupakan sumbangan
masyarakat Hindu. Kitab peraturan-peraturan tingkah laku masyarakat dan
hukum yang tertulis oleh Manu yang
dikenal dengan Manu Smrti.
2) Yajnavakya Smrti, adalah peraturan-peraturan
yang kedua terpenting dari hukum Hindu.
3) Narada Smrti, ini adalah kitab
peraturan-peraturan yang terpenting ketiga daripada hukum dan juga diketahui
sebagai hukum Narada.
Selain yang disebutkan diatas juga terdapat dua kitab smrti yang penting
artinys dalam perkembangan hukum pada saat itu yakni; Brihaspati Smrti dsn
Katyana Smrti (Gauri Shankar Tandon,tt :3-4). Di samping itu secara tradisional
telah ditetapkan pengelompokkan kitab Manawadharmasastra
itu menjadi empat kelompok menurut jaman masing-masing, sesuai dengan adanya
pembagian empat tahap periodesasi dunia. Keempat masa periode dunia dihubungkan
dengan Kitab Manawadharmasastra itu,
ialah:
a. Jaman Satyayuga berlaku Dharmasastra Manu
b. Jaman Tritayuga berlaku Dharmasastranya
Yajnawalkya
c. Jaman Dwaparayuga berlaku Dharmasastranya
Likhita
d. Jaman Kaliyuga berlaku Dharmasastranya Parasara.
Jaman sekarang tergolong jaman Kaliyuga tetapi hingga sekarang pengaruh dan
penggunaan Manadharmasastra sebagai
sumber hukum tetap berlaku sedangkan himpunan Bhagawan Parasara hampir-hampir
tidak banyak kita dengar. Disamping kitab Manawadharmasastra,
masih banyak sumber-sumber hukum Hindu lainnya dalam buku tersendiri yang
kedudukannya setara denagn Manawadharmasastra
itu, seperti Sulvasutra, Jyotisastra,
Purana dan lain-lain. Berdasarkan nama-nama tersebut di atas, Manulah yang
terbanyak dan dianggab sebagai standar dari penulisan hukum itu. Nama Manu
inilah yang selalu ditunjukkan oleh hukum Hindu di Indonesia yang dipergunakan
sebagai patokan hukum dalam mengukur kaedah-kaedah hukum yang berlaku sebagai
hukum adat di Bali dan Lombok. Sila
merupakan ajaran tingkah laku orang-orang yang beradab. Akan sangat menarik
sekali kalau kita dapat perbandingan pengertian Sila itu seperti
azas-azas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. Sebaliknya Sadacara
adalah adat istiadat yang hidup menurut tempat setempat yang merupakan
hukum positif. Di dalam terjemahannya dalam bahasa Jawa Kuno istilah Sadacara
diartikan sama dengan dengan drsta. Baik drsta maupun Acara
adalah hukum kebiasaan. Atmanastuti yaitu rasa puas pada diri. Rasa
puasa adalah merupakan ukuran yang selalu diusahakan oleh setiap manusia. Namun
kalau rasa puas itu diukur pada diri pribadi seseorang akan menimbulkan
berbagai kesulitan karena setiap manusia ukuran rasa puas itu tidak sama. Oleh
karena itu rasa puas itu harus diukur atas arti publik atau umum. Penunjukan
rasa puas secara umum tidak dapat dibuat tanpa pelembagaannya. Weda
mempergunakan sistem kemajelisan sebagai dasar ukuran untuk dapat terwujudnya
rasa puas itu. Majelis Parisada adalah majelis pada ahli yang disebut para
Wipra atau Brahmana ahli dalam berbagai cabang ilmu. Untuk mencapai kepuasan,
kepuasan harus didasar pada kebenaran yang mendekati kebenaran yang paling
benar. Kebenaran yang dinyatakan berbeda dari kebenaran yang hakiki tidak
menimbulkan rasa puas melainkan kekecewaan dan penderitaan. Kebenaran yang mendekati
kebenaran yang paling benar ialah apabila yang mengatakan itu adalah
orang-orang ahli. Orang ahli itu disebut Wipra atau Brahmana. Ditegaskan pula
lebih jauh bahwa, diantara buntuk kebenaran yang dinyatakan paling benar
diantara para ahli ialah bila kebenaran itu telah dipertimbangkan berdasarkan
berbagai cabang ilmu itu.
Menurut Manusmrti pasal II.12,
sumber hukum itu lebih dibatasi lagi dengan mengeluarkan “Sila” sebagai
sumber hukum. Pembatasan atas penggunaan sila itu tidak dijelaskan sehingga
dapat kita tafsirkan bahwa sila tidak perlu disebutkan lagi karena Sila
dan Sadacara mengandung arti sama walaupun berbeda. Walaupun adanya
penciutan atas sumber-sumber hukum hindu itu, yaitu dengan tidak menyebukan
Sila sebagai sumber hukum Hindu, namun para sarjana hukum Hindu di India
seperti Dr.P.N. Sen, Dr.G.C. sarkar dan lain-lain umumnya tetap beranggapan dan
mengembangkan kelima macam jenis sumber hukum itu dan mempergunakan sistem
penempatan urutannya seperti disebut didalam Manusmrti II. 6 tersebut diatas. Dengan demikian maka sumber-sumber
hukum Hindu itu menurut ilmu dan tradisi adalah a) Sruti, b) Smrti,
c) Acara, d) Atmanastuti dan e) Nibanda. Kelima macam
sumber hukum itu mula-mula dijumpai dalam Weda, kecuali Nibanda. Nibanda
adalah nama kelompok buku atau tulisan yang dibuat oleh para ahli, yang
isinya bersifat pembahasan atau kritik terhadap materi hukum atau maslah
tertentu lainnya yang terdapat dalam kitab-kitab terdahulu. Jadi kalau
diperhatikan maka kitab Nibanda ini semacam kitab ilmiah mengenai
hal-hal tertentu, baik berupa saduran, kritik hukum atau lainnya yang sederajat
dengan pengertian itu. Istilah lain untuk Nibanda ialah kitab Bhasya.
Jenisjenis rontal pun tergolong Nibandasastra, seperti Agamasastra,
Kutaramanawa, Manusasana, Putrasasana, Rsi sesana dan lain-lainnya. Sebagai
jenis Nibanda, menurut pandangan Hindu tradisional, inipun dianggap sebagai
sumber dari dharma. Kalau kiata perbandingkan antara penulisan para sarjana
hukum Hindu di India dengan apa yang di jumpai sebagai sumber hukum menurut
Manawa Dharmasastra II.12, dapat kita simpulkan
bahwa para sarjana hukum itu menerima sumber-sumber hukum yang empat secara
bulat sedangkan Nibanda sebagai kelompok baru yang diperkenalkan.
Walaupun pada hakekatnya Sila tidak lagi disebut-sebut sebagai sumber hukum
namun dalam praktik, sila itu tetap mempengaruhi isi hukumhukum Hindu baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis.
Kitab sastra hukum hindu yang pertama-tama
berkembang menurut hasil penelitian ialah kitab Dharmasutra. Ada beberapa buah
kitab ditulis oleh Gautama, Apastamba dan Baudhayana. Diantara ketiga kitab itu
tidak sama semuanya. Gautama pada mulanya membahas aspek hukumnya dalam
rangkaian peletakan dasar tentang fungsi dan tugas Raja sebagai pemegang
Dharma, terdapat dalam Bab XII. Pada dasarnya isinya membahas pokok-pokok hukum
pidana dan perdata. Mengenai hukum pemidanaannya dibahas dalam dua bab, yaitu
Bab XII dan Bab XII.23. Berbeda dengan Gautama, Apastamba menambah pokok-pokok
materi wyawahara-pada dengan beberapa masalah yang belum dibahas dalam kitab
gautama,misal
1. Hukum mengenai perzinahan.
2. Hukum karena melakukan bunuh diri, pencurian,
penggunaan tanah.
3. Hukum karena terus-menerus melanggar dharma
4. Hukum yang timbul karena sengketa antara buruh
dan majikan
5. Hukum yang timbul karena penyalahgunaan hak
milik.
Baudhayana,
salah seorang pemuka dan penulis Dharmasutra didalam kitabnya, Bab mengenai Rajadharma
membahas pokok-pokok hukum dalam beberapa topik, seperti:
1) Hukum mengenai bela diri yang
membenarkan seseorang membunuh orang lain karena membela diri.
2) Penghukuman bagi seorang Brahmana
3) Penghukuman atas golongan rendah yang
dipersalahkan karena membunuh Brahmana.
4) Penghukuman atas pembunuh yang hukumnya dibedakan menurut status orang
yang dibunuh
5) Penghukuman atas pembunuhan yang dilakukan mengenai ternak orang lain
dan hewan-hewan lainnya.
Adapun pokok-pokok bahasan lainnya sama saja dengan
apa yang ditulis oleh Gautama maupun Apastambha, hanya saja khusus mengenai
hukum kekeluargaan, anak, perkawinan dan kesanakan dimuat dalam bab-bab khusus.
Wasistha, salah seorang eksponen terkemuka dalam bidang Dharmasastra, menulis
pula buku Dharmasutra. Isinya lebih mendekati dengan apa yang terdapat dalam
kitab Dharmasastra yang ditulis oleh Manu, Yajnawalkya, Wisnu, Narada Brhaspati
dan Arthasastra Kautilya. Oleh karena itu banyak ajaran mengenai Wyawahara yang tidak tertampung dalam
satu bab ditulis dalam bab tersendiri sebagai bab khus, misal Bab XVI. Proses
pertumbuhan hukum Hindu sejak jaman Weda sampai pada permulaan penulisan hukum
yang lebih sistematis, hanya ditemukan didalam kitab-kitab dharmasastra. Yang
perlu diperhatikan bahwa didalam hukum Hindu belum ada gambaran pembagian
antara bidang hukum publik dan hukum privat (perdata). Semua bahasan hukum
dibahas bersama dalam bab-bab yang mengatur fungsi dan tugas raja (pemerintah)
dalam rangkaian bagaimana raja harus mengambil keputusan atas setiap jenis
perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karena itu hampir semua materi hukum
Hindu terdapat bergandengan dengan bidang ajaran Rajadharma atau Nitisastra. Kitab
hukum (dharma) yang lebih muda adalah kitab Dharmasastra. Kitab ini dikenal pula sebagai kitab Smrti.
Adapun beberapa nama penulis yang penting untuk dikenal dibidang Dharmasastra, yaitu Wisnu, Manu,
Yajnawalkya, Narada, Brhaspati dan Kautilya. Kautilya juga yang dikenal dengan
Canakya tidak menulis Dharmasastra
secara khusus tetapi dalam tulisan yang bernama Arthasastra, menulis banyak
aspek masalah hukum yang harus diperhatikan oleh Pemerintah dalam memimpin
pemerintah terutama dalam bidang “Dharma”. Dari deretan nama-nama terkenal
diatas Manu dan Yjnawalkya yang paling banyak dikenal. Manu karena mewakili
bentuk tulisan tersendiri dan kitabnya menjadi sumber dari semua bahan bahasan
hukum yang berlaku luas. Pengaruhnya pun sampai ke Indonesia terbukti namanya dan
pokok ajarannya banyak dijumpai dalam berbagai rontal. Yajnawalkya sebagai
penulis lainnya terkenal pula. Ia terkenal terutama dalam rangkaian tulisannya
yang mewakili salah satu mazab hukum yang berkembang didalam ilmu hukum Hindu.
Ada tiga aliran (mazab) yang terkenal yaitu Mitaksara, Dayabhaga dan
Yajnawalkya. Berdasarkan kitab Dharmasastra (Manu:VIII.3-7) yang ditulis
oleh Manu, dibedakan adanya 18 title hukum atau Wyawaharapada, yaitu:
1. Rinadana (ketentuan tentang tidak
membayar hutang)
2. Niksepa (hukum mengenai deposito dan
perjanjian)
3. Aswamiwikraya (penjualan barang tak
bertuan)
4. Sambhuya-samutthana (perikatan antara
firman)
5. Dattasyanapakarma (ketentuan mengenai
hibah dan pemberian)
6. Wetanadana (hukum mengenai tidak membayar
upah)
7. Samwidwyatikarma (hukum mengenai tidak
melakukan tugas yang dikerjakan
8. Keayawikrayanusaya (pelaksanaan jual
beli) Swamipalawiwada (perselisihan antara buruh dan majikan)
10. Simawiwada (perselisihan mengenai
perbatasan)
11. Wakparusya (pnghinaan)
12. Dandaparusya (penyerangan dengan
kekerasan)
13. Steya (hukum mengenai pencurian)
14. Sahasa (kekerasan)
15. Strisamgraham (hukum mengenai suami
istri)
16. Stripundharma (kewajiban seorang istri)
17. Wibhaga (hukum pembagian Warisan)
18. Dyutasamahwaya (hukum
perjudian dan pertarungan) (Manu:VIII.3-7)
Jadi berdasarkan catatan yang dikutip dari kitab
Manawadharmasastra VIII. 3-7-diatas, terdapat adanya 18 macam topik wyawahara
(Wyawaharapada). Dengan demikian tiap masalah hukum penyelesaiannya ditundukkan
pada salah satu dari kedelapan belas title hukum itu. Kedelapan belas title
hukum itu tersebar dalam beberapa bab sehingga benar-benar menggambarkan
seolah-olah Dharmasastra itu merupakan ajaran khusus mengenai dharma atau hukum
yang berlaku dalam kalangan masyarakat Hindu. Demikian pula dalam berbagai
rontal disebutkan adanya Asta Dasa Wyawahara(Purwadigama). Narada sebagai salah
seorang penulis dan kritikus Dharmasastra membedakan jenis-jenis title hukum
kedalam 18 title hukum itu pula. Nama-namanya dan urutannya hampir sama dengan
apa yang dikemukakan oleh Manu. Berdasarkan 18 title di atas yang ada
persamaannya dengan apa yang terdapat dalam kitab Gautama Dharmasastra ialah: 1)
Wakparusya 4) Swamipalawiwada, 2) Dandaparusya, 3) Rinada,
4) Steya, 5) Strisamgrahana.
Dibandingkan dengan pokok-pokok
bahasan Apastamba Dharmasutra (apastamba) lebih singkat isinya,
meliputi: 1) Strisamgrahana, 2) Wakparusnya, 3) Steya, dan,
4) Asusrusa dan Swamipalawiwada
Berdasarkan perbandingan meteri antara kitab-kitab Dharmasutra
dengan Dharmasastra tampak perkembangan meteri yang sangat meluas dalam
berbagai bidangnya. Untuk melihat betapa pesatnya perkembangan hukum Hindu,
beberapa topik hukum di bawah ini akan diuraikan secara singkat, antara lain:
1. Hutang Piutang
Masalah hukum hutang piutang sebagai aspek Wyawahara telah kita jumpai jauh
sebelum Manu, hanya belum berkembang. Hutang piutang dan jaminan atas hutang
piutang sebagai lembaga mulai berkembang sempurna pada jaman
Manudharmasastra.(Manu VIII.49). Menurut manu didalam kitabnya Bab VIII.49
dinyatakan bahwa seorang kreditur dapat menuntut atau memperoleh piutangnya
dari debitur melalui persuasi moril, keputusan pengadilan, melalui cara upaya
akal: melalui cara puasa di pintu masuk rumah sidebitur dan kelima melalui cara
kekerasan. Selanjutnya menurut Bab VIII. 47 dan 48 dinyatakan bahwa Pemerintah
berhak memaksa debitur untuk melunasi hutang-hutangnya dengan metode yang sama.
Yang terpenting dari hukum hutang piutang itu adalah ketentuan mengenai
kebolehan mengenakan bunga sebagai hak yang dapat dituntut oleh kreditur atas
piutang yang diberikan kepada debitur. Menurut Gautama dibedakan jenis bunga
yang secara substantip dilanjutkan didalam kitab Manawadharmasastra. Bahkan
dikemukakan lebih jauh dalam Bab XII 40 bahwa hutang seorang debitur jauh
kepada ahli warisnya. Bila debitur meninggal dunia sebelum sempat melunasi
hutangnya, ahli waris berkewajiban melunasinya.
2. Deposito (Niksepa)
Masalah hukum Niksepa (deposito) mulai diajarkan oleh Gautama.
Kemudian dari pada itu, Narada dan Yajnawalkya membahasnya secara lebih
mendalam dan meluas. Baik Narada maupun Yajnawalkya membedakan beberapa jenis
bentuk deposito, yaitu: 1) Yachita, 2) Ayachita, 3) Anwahita,
4) Nyasa, 5) Niksepa.
3. Penjualan barang tak bertuan (Aswami wikraya)
Mengenai masalah penjualan barang tak bertuan tidak kita jumpai didalam
kitabnya Gautama. Hanya terdapat adanya clausula yang mengemukakan didalam Bab
XII 50 menegaskan bahwa penadah atau penerima barang curian dihukum. Dengan
demikian orang yang membeli barang curian dapat dihukum. Yajnawalkya memperluas
berlakunya hukum itu sebagaimana dapat dibaca dalam Bab II 168-174 menjelaskan
bahwa baik pembeli maupun penjualnya dapat dituntut. Oleh karena itu ia harus
dapat membuktikan bahwa benda itu adalah haknya yang sah. Ini berarti harus
dibuktikan bahwa barang itu bukan barang tidak bertuan
4. Persekutuan (Sambhayasamutthana)
Mengenai persekutuan antara firman dalam bidang hukum dagang, menurut hukum
hindu baru pertama kali kita jumpai dalam kitabnya Wisnu. Adanya persekutuan
kita ketahui secara tidak langsung dari Bab V. 125-26 dan VI 126. Sebagai
lembaga beru dijumpai di dalam kitab Manawadharmasastra. Termasuk dalam
persekutuan juga adalah bila beberapa orang pendeta secara bersama-sama
berkewajiban melakukan upacara (VII.203-210). Premi atau keuntungan atau upah
yang diteriama oleh para anggota harus berbanding sama menurut aturan.
Berdasarkan pertumbuhan kesadaran hukum masyarakat, lembaga itu mungkin sudah
berkembang sebelum Manu dan mencapai bentuknya pada jamannya Manu. Ajaran ini
selanjutnya dikembangkan oleh Yajnawalkya, Narada dan Brhaspati.
5. Dana dan Pemberian
Dana dan pemberian, baik berdasarkan agama maupun tidak berdasarkan agama
dikenal dengan title “tata pradanika” atau “dattapranadika” atau
:cattasyanapakarma” yang artinya menghadiahkan atau penuntutan atas pemberian.
Menurut agama hindu, berbuat dana merupakan kewajiban yang terpuji dan diatur
berdasarkan ajaran agama atau kepercayaan masyarakat. Bentuk pemberian yang
pertama kita jumpai adalah bentuk Daksina, yaitu semacam pemberian
sebagai upah kepada pandita (Brahmana) yang melakukan upacara untuk orang lain.
Besarnya pemberian tidak sama, yang terpenting adalah nilai itu. Di samping pemberian
seseorang kepada orang lain kepada pula jenis pemberian yang penerimaannya
bukan manusia sebagai subyek hukum, misalnya Dewa. Pemberian yang ditujukan
kepada Dewa pada satu Pura atau tempat ibadah tidak terdapat di dalam Weda
tetapi dalam jaman Dharmasastra. Dasar pemikiran dapat dijumpai pada kitab
Purwamimamsa yang menurut kitab ini Dewata walaupun tidak berwujud dapat
menerima atau menikmati pemberian dan karena itu dapat menerima hadiah. Dalam
pertumbuhan hukumnya, penerimaanya adalah badan keagamaan yang lekat pada
tempat ibadah itu. Salah satu masalah dalam bentuk pemberian adalah adanya
kemungkiann pemberian itu ditarik kembali. Menurut ajaran agama pengambilan
kembali atas pemberian yang telah diberikan kepada orang lain kurang mendapat
penghormatan dan bahkan dianggap sebagai satu dosa yang harus disucikan dengan
melakukan Prayascita. Masalah lembaga penghibahan ini dibahas secara
lebih luas didalam kitab Manu, Yajnawalkya dan Narada terutama menyangkut
aspek-aspek:
1) Apa-apa saja yang dapat diberikan
2) Apa-apa saja yang tidak boleh dihadiahkan
3) Kesahan pemberian hibah
4) Keabsahan pemberian hibah dan batalnya demi
hukum
Komentar
Posting Komentar