Blog Archive

Categories

Popular Posts

Pages

Langsung ke konten utama

Tujuh Kanda dalam Ramayana

The 7 Kandas of Ramayana, The Hindu Epic - Valmiki Ramayana

Keberadaan cerita Rāmāyana boleh jadi memiliki perjalanan kesejarahan yang panjang serta dibawa bersamaan dengan munculnya kebudayaan Hindu dari India ke Nusantara. Dalam perjalanannya tersebut, tentu terdapat persinggungan kebudayaan yang unik antara India dengan Nusantara atau bahkan dengan Asia. Keunikan tersebut dibuktikan dengan munculnya berbagai versi gubahan atau saduran pada masa awal persebaran cerita Rāmāyana dari India ke berbagai daerah di Asia hingga Nusantara.

Tidak hanya pengaruh agama, saat penyebaran cerita ini, terdapat pula kontak sejarah kebudayaan yang cukup erat antara agama Hindu di Asia dan di India. Kontak ini meliputi seluruh elemen yang ada dalam kehidupan, khususnya nilai-nilai yang terkandung di dalam cerita Rāmāyana.

Rāmāyana telah memainkan peran penting dalam proses perpindahan dan penyebaran elemen Hindu dari India ke negara-negara di Asia. Nilai-nilai Hindu selalu terlihat di mana pun kisah Valmiki diadopsi oleh negara-negara di Asia. Namun, nilai-nilai Hindu ini diserap dengan memperhatikan budaya asli negara itu termasuk di Nusantara.

1.Ringkasan Cerita Rāmāyana

a). Balakāṇḍa

Di negeri Kosala dengan ibukotanya Ayodhyā yang diperintah oleh raja Daśaratha. Daśaratha memiliki tiga permaisuri, yaitu Kauśalyā, Sumitrā, dan Kaikeyī. Setelah pernikahannya, Daśaratha belum juga dikaruniai anak. Akhirnya ia mengadakan putrakamayajña (ritual suci) yang dipimpin Ṛsī Srengga. Dari upacara tersebut, Daśaratha memperoleh payasam berisi air suci untuk diminum oleh para permaisurinya. Kauśalyā dan Kaikeyī minum seteguk, sedangkan Sumitrā meminum dua kali sampai habis. Beberapa bulan kemudian, suara tangis bayi menyemarakkan istana. Kausalya yang berputra Rāmā sebagai anak tertua, Kaikeyi yang berputra Bharata dan Sumitra yanmg berputra Laksmana dan Satrughna. Dalam sayenbara di Wideha, Rāmā berhasil memperoleh Sītā putri raja Janaka sebagai istrinya.

b). Ayodhyākāṇḍa

Daśaratha merasa sudah tua, maka beliau hendak menyerahkan mahkotanya kepada Rāmā. Datanglah Kaikeyī yang memperingatkan bahwa ia masih berhak atas dua permintaan yang mesti dikabulkan oleh raja. Maka permintaan Kaikeyī yang pertama supaya bukan Rāmā melainkan Bharatalah yang menjadi raja menggantikan Daśaratha. Permintaan kedua ialah supaya Rāmā dibuang ke hutan selama 14 tahun.

Demikianlah Rāmā, Lakṣmaṇa dan Sītā istrinya meninggalkan Ayodhyā. Tak lama kemudian Daśaratha meninggal dan Bharata menolak untuk dinobatkan menjadi raja. Ia pergi ke hutan mencari Rāmā. Bagaimana pun ia membujuk kakaknya, Rāmā tetap pendiriannya untuk mengembara terus sampai 14 tahun. Pulanglah Bharata ke Ayodhyā dengan membawa terompah Rāmā. Terompah inilah yang ia letakkan di atas singgasana, sebagai lambang bagi Rāmā yang seharusnya menjadi raja yang sah. Ia sendiri memerintah atas nama Rāmā.

c).  Āraṇyakāṇḍa

Rāmā di dalam hutan berkali-kali membantu para pertapa yang tidak habis-habisnya diganggu oleh raksasa. Suatu ketika ia berjumpa dengan raksasa perempuan Surpanaka namanya, ia jatuh cinta padanya. Oleh Lakṣmana raksasa ini dipotong telinga dan hidungnya. Kemudian ia melaporkan peristiwa ini kepada kakaknya Ravana, seorang raja raksasa yang berkepala sepuluh dan memerintah di Alengka. Diceritakan pula betapa cantiknya istri Rama.

Rāvaṇa pergi ketempat Rāmā, dengan maksud menculik Sītā sebagai pembalasan terhadap penghinaan adiknya. Marica seorang raksasa teman Rāvaṇa, menjelma sebagai kijang emas, dan berlari-lari kecil di depan kemah. Rāmā dan Sītā sangat tertarik, dan meminta kepada suaminya untuk menangkap kijang itu. Ternyata kijang itu tidak sejinak nampaknya, dan Rāmā makin jauh dari tempat tinggalnya. Akhirnya kijang itu dipanahnya. Seketika itu kijang itu menjelma menjadi raksasa dan menjerit keras.

Jeritan itu dikira oleh Sītā berasal dari Rāmā, maka disuruhnyalah iparnya memberi pertolongan. Sītā tinggal sendirian. Datanglah seorang Brahmana kepadanya untuk berpura-pura meminta nasi. Sītā dilarikannya. Dengan sangat bersedih hati mereka mencari jejak Sītā. Dalam pengembaraan yang tidak menentu itu, mereka bertemu dengan burung Jatayu. Burung tersebut merupakan bekas kawan baik Daśaratha, dan ketika ia melihat Sītā di bawa terbang oleh Rāvaṇa, ia mencoba mencegahnya. Dalam pertempuran yang terjadi, Jatayu kalah. Sehabis memberikan penjelasan itu, Jatayu mati.

d). Kiṣkindhakāṇḍa

Rāmā berjumpa dengan Sugriva, seorang raja kera yang kerajaan serta istrinya direbut oleh saudaranya sendiri yang bernama Walin. Rāmā bersekutu dengan Sugriwa untuk memperoleh kerajaan dan istrinya dan sebaliknya Sugriwa akan membantu Rāmā untuk mendapatkan Sītā dari negeri Alengka.

Khiskinda di gempur. Walin terbunuh oleh panah Rāmā. Sugriwa kembali menjadi raja Kiṣkindha dan Anggada, anak Walin dijadikan putra mahkota. Tentara kera berangkat ke Alengka. Di tepi pantai selat yang memisahkan Alengka dari daratan India, tentara itu berhenti. Dicarilah akal bagaimana untuk dapat menyeberangi lautan.

e). Sundarakāṇḍa

Hanuman, kera kepercayaan Sugriva, mendaki gunung Mahendra untuk melompat ke negeri Alengka. Akhirnya ia dapat pula menemukan Sītā. Kepada Sītā dijelaskan bahwa tak lama lagi Rāmā akan datang menjemput. Hanuman ditahan oleh tentara Lengka. Ia diikat erat-erat dan kemudian dibakar. Ia meloncat ke atas rumah dengan ekornya yang menyala menimbulkan kebakaran di kota Lengka. Kemudian Hanuman melompat kembali menghadap Rāmā untuk member laporan.

f). Yuddhakāṇḍa

Dengan bantuan Dewa Laut tentara kera berhasi membuat jembatan ke Lengka. Rāvaṇa yang mengetahui bahwa negaranya terancam musuh menyusun pertahanannya. Adiknya, Wibisana menasehatkan untuk mengembalikan Sītā kepada Rāmā dan tidak usah berperang. Rāvaṇa bukan main marahnya. Adiknya itu diusir dari Alengka dan menggabungkan diri dengan Rāmā.

Setelah itu terjadilah pertempuran yang sengit, setelah Indrajit dan Kumbakarna gugur, Rāvaṇa terjun ke dalam kancah peperangan yang diakhiri dengan kemenangan di pihak Rāmā dan Rāvaṇa terbunuh dalam peperangan tersebut. Setelah peperangan selesai Vibhisana adik Rāvaṇa yang memihak Rāmā diangkat menjadi raja di negeri Lengka serta Sītā bertemu kembali dengan Rāmā.

Rāmā tidak mau menerima kembali istrinya, karena sudah sekian lamanya tinggal di Alengka dan tidak mungkin masih suci. Sītā sedih sekali kemudian ia menyuruh para abdinya membuat api unggun. Kemudian ia terjun ke dalam api. Nampaknya Dewa Agni  di dalam api tersebut menyerahkan Sītā kepada Rāmā. Rāmā menjelaskan, bahwa ia sama sekali tidak sanksi dengan kesucian Sītā, akan tetapi sebagai permaisuri kesuciannya harus terbukti di depan mata rakyatnya. Diiringi oleh tentara kera Rāmā beserta istri dan adiknya kembali ke Ayodhyā. Mereka disambut oleh Bharata yang segera menyerahkan tahta kerajaan kepada Rāmā.

g). Uttarakāṇḍa

Bagian ini menceritakan bahwa kepada Rāmā terdengar desas-desus bahwa rakyat menyangsikan kesucian Sītā. Maka untuk memberi contoh yang sempurna kepada rakyat diusirlah Sītā dari istana. Tibalah Sītā di pertapaan Vālmīki, yang kemudian mengubah riwayat Sītā tersebut menjadi wiracarita Rāmāyana. Dipertapaan itu Sītā melahirkan dua anak laki-laki kembar, Kusa dan Lava. Kedua anak ini dibesarkan oleh Vālmīki.

Waktu Rāmā mengadakan Aswamedha, Kusa dan Lava hadir di istana sebagai pembawa nyanyi-nyanyian Rāmāyana yang digubah oleh Vālmīki. Segeralah Rāmā mengetahui, bahwa kedua anak laki-laki itu adalah anaknya sendiri. Maka dipanggilah Vālmīki untuk mengantarkankembali Sītā ke istana.

Setiba di istana, Sītā bersumpah, janganlah hendaknya raganya diterima oleh bumi seandainya ia memang tidak suci. Seketika itu belahlah dan muncul Dewi Pertiwi di atas singasana emas yang didukung oleh ular-ular naga. Sītā dipeluknya dan dibawanya lenyap ke dalam bumi. Rāmā sangat sedih dan menyesal, tetapi tidak dapat memperoleh istrinya kembali. Rāmā kemudian menyerahkan mahkotanya kepada kedua anaknya, dan kembali ia ke kahyangan sebagai Visnu

Komentar

Postingan Terakhir

8-latest-65px

Comments

8-comments