Blog Archive

Categories

Popular Posts

Pages

Langsung ke konten utama

Pengaruh Hukum Hindu terhadap Hukum Adat

 Ketua PHDI Desak Hukum Hindu Segera Masuk Sistem Peradilan ...

    Pembuktian adanya pengaruh hukum Hindu terhadap hukum adat telah terbukti sejak berdirinya kerajaan Hindu di Indonesia. Penguatan ini diberikan oleh Gde Pudja ketika membahas dimulainya pertumbuhan hukum Hindu. Gde Puja mengatakan, bagian-bagian dari sejarah dan pasal-pasal dalam Dharmasastra dioperalihkan dan dipergunakan sebagai hukum pada masa kerajaan Hindu di Indonesia. Bukann pada masa kerajaan Hindu saja, karena secara tidak disadari bahwa hukum Hindu itu masih tetap berlaku dan berpengaruh pula dalam hukum positif di Indonesia melalui bentuk-bentuk hukum Adat. Bentuk secara hukum dan kehidupan hukum Hindu yang paling nyata masih terasa sangat berpengaruh adalah bentuk hukum adat di Bali dan Lombok, sebagai hukum yang berlaku hanya bagi golongan Hindu semata-mata (Pudja 1977 : 34). Gede Puja selanjutnya, dalam berbagai penelitian dan penulisan hukum Adat, baik dalam bidang hukum pidana adat (adat delict), dalam bidang hukum perdata terutama hukum waris, kekeluargaan dan perkawinan yang dikatakan hukum adat, ternyata semuanya hukum Hindu. Baik pengertian, istilah-istilah yang dipakai maupun dasar filosofinya ternyata diambil-alih dari kitab-kitab suci Hindu. Demikian pula pengenaan pembagian 18 titel hukum atau asta dasa Wyawahara, pembagian 12 jenis anak, berbagai jenis pidana adat seperti Brahmatia, Wakpurusya, Sahasa dan sebagainya, semua merupakan hukum agama. Ini berarti hukum Adat itu sebagian besar adalah hukum agama Hindu (Pudja, 1977 : 35).

    Dalam praktek di tengah masyarakat memang tampak gejala hukum Adat yang taut menaut dengan hukum Hindu, kitab-kitab hukum pidana Hindu dalam bentuk kompilasi seperti Adigama, Agama, Kutaragama, Purwagama, dan Manawa Swarga. Memang amat sering dijadikan sumber penyusunan hukum Adat. Hanya transfer  dalam hukum Adat tidak dilakukan sepenuhnya, karena tidak semua materi dalam hukum Hindu tersebut sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan masyarakat. Di sini para tetua masyarakat desa adat sangat berperan sebagai tokoh yang menyaring nilai-nilai hukum Hindu atau disenapaskan dengan kebutuhan sesuai dengan situasi sosial yang berkembang (Widnya, 1988:37). Pengaruh hukum Hindu ke dalam hukum adat, perlu kiranya diperhatikan beberapa delik adat yang masi berlaku dan hidup di masyarakat, baik yang tercantum dalam awig-awig desa adat maupun dalam Wetboek yang ada (di Bali ada 4 Wetboek yang dinamakan caturagama yaitu, Wetboek Adi Agama, Wetboek Kutara Agama, Wetboek Purwa Agama, dan Wetboek Agama). Sudiana(2001), dalam laporan penelitiannya menunjukkan bahwa di Bali masih dikenal empat jenis delik  adat sebagai berikut.

1.  Delik Adat yang Menyangkut Kesusilaan.

Berbicara tentaang kesusilaan tidaklah dapat dipisahkan dari kelahiran manusia itu sendiri, karena tujuan dari kesusilaan itu adalah unutk menciptakan keseimbangan atau keharmomnisan hubungan antara makrokosmos (bhuana agung) dengan mikrokosmos (bhuana

alit). Berkaitan dengan hal ini Cloka 160 Sarassamuscaya menyatakan sebagai berikut.

Cilam pradhanam puruse tadyasyeha paramacyati,

Natasya jivitenartho duchilam kinprayojanam

Artinya;

Susila itu adalah yang paling utama pada titisan sebagai manusia sehingga jika ada prilaku (tindakan) titisan sebagai manusia itu tidak susila, apakah maksud orang itu dengan hidupnya, dengan kekuasaannya, dengan kebijaksanaan, sebabsia-sia itu semuanya (hidup, kekuasaan, dan kebijaksanaan) jika tidak ada penerapan kesusilaan pada perbuatan. (Kajeng,dkk. 1977:114).

Walaupun demikian, kenyataan dalam praktek (das Saein) tidaklah selalu sesuai dengan apa yang diharapkan (das Sollen), sehingga terjadilah pelanggaran terhadap kesusilaan itu sendiri dengan beraneka ragam bentuknya, sehingga dalam pertumbuhannya jenis ini masih

banyak diatur dalam awig-awig desa adat seperti, lokika sanggraha, drati karma, gamia gamana, memitra galang, salah karma, kumpul kebo, berzina, dll.

Team research FM & PM Universitas Udayana Denpasar dalam penelitiannya terhadap pengaruh agama Hindu terhadap hukum pidana adat di Bali, menunjukan adanya pengaruh hukum Hindu dalam jenis pelanggaran susila ini : Lokika Sanggraha, Amandel Sanggama, Gamia Gamana, Salah Krama, Dati krama, dan Wakparusya, Pembongkaran Kuburan (Team research FM & PM Udayana Denpasar, 1973 : 47-54). Adapun pengertian jenis pelanggaran susila di atas adalah sebagai berikut. (1) Lokika Sanggraha adalah suatu bentuk delict adat dimana seorang laki-laki beluim kawin mengadakan hubungan sex dengan seorang perempuan yang belum kawin atas dasar suka sama suka dengan janji untuk dikawini yang kemudian menyebabkan wanita tersebut hamil, akan tetapi ternyata si laki-laki tersebut tidak mau menikahinya. 2) Amandel Sanggama adalah suatu bentuk perbuatan dimana seorang istri meninggalkan suaminya yang masih dalam status ikatan perkawinan. (3) Gamia Gamana adalah suatu bentuk larangan terhadap hubungan sexual yang dilakukan antara mereka yang mempunyai ubungan darah dekat, seperti halnya seorang lelaki yang berhubungan badan dengan ibu tirinya atau seorang bapak yang berhubungan badan dengan anak atau keponakannya. (4) Salah Krama adalah suatu bentuk delict adat yang berupa hubungan sexual antara manusia dengan binatang. (5) Drati Krama adalah seatu bentuk delict adat yang berupa hubungan sexual antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah bersuami. (6) Wakparusya adalah mengeluarkan kata-kata kotor yang ditujuklan klepada seseorang. (7) Pembongkaran Kuburan yaitu dimana pembongkaran inji sering bermotif jahat, missalnya untuk mengambil mayat orang yang ditanam atau mengamnbil suatu benda berharga yang ikut tertanam dengan mayat tersebut. (8) Mamitra ngalang ialah suatu delik yang berupa seorang laki-laki yang sudah beristri mempunyai hubungan derngan wanita lain yang diberinya nafkah ;lahir batin seperti layaknya suami istri, tetapi wanita inmi belum resmi dinikahi. Hubungan mereka bersifat terus menerus, dan biasanya si wanita di tempatkan dalam suatu rumah tersendiri. Delik ini hampir sama dengan drati karma, tetapi titik berat pelakunya adalah laki-laki yang sudah beristri, sedang pihak wanita tidak terikat perkawinan dan hubungannya secara terus menerus. Jadi wanita dalam drati krama masih bersuami yang sah. (9) Kumpul kebo ialah seorang laki-laki derngan seorang wanita hidup bersama-sama dalam satu rumah dan mengadakan hubungan secxual, seperti layaknya suami istri, tetapi mereka belum dalam ikatan perkawinan yang sah.

2.  Delik  Adat yang Menyangkut Harta Benda

Delik adat tentang harta benda yang diatur dalam Awig-awig Desa Adat, secara garis besarnya dapat dikelompokan dalam tiga kelompok, yaitu: (a) Delik pencurian diatur dalam 24% dan awig-awig desa adat yang ada; (2) Delik adat pencurian benda suci diatur dalam 41% awigawig desa adat; (3) Delik adat merusak benda suci terdapat dalam 18% awig-awig desa adat. Delik pencurian tidak akan dibicarakan lebih lanjut sebab sudah diatur dalam KUHP. Mengenai pencurian benda suci terlebih dahulu harus dibatasi apa yang dimaksud benda suci itu. Menurut para ahli, yang dimaksud benda-benda suci ialah “benda-benda yang telah

disucikan dengan suatu upacara menurut agama Hindu, yang digunakan sebagai stana (pralingga) Sang Hyang Widhi Wasa atau dipergunakan sebagai alat-alat di dalam upacara keagamaan” (Sarka, 1978:43). Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa benda-benda suci adalah benda yang bersih menurut pengertian keagamaan. Artinya, setelah benda itu diupacarai barulah benda itu dapat dikatakan sebagai benda suci yang dipakai sebagai alat untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi. Sebelum adanya upacara terhadap benda tersebut maka benda itu tak akan mempunyai nilai kesucian, sebab upacara itu mempunyai fungsi yang sangat penting didalam proses penyucian benda tersebut. Benda-benda suci itu menurut besar kecil nilai kesuciannya dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:

a. Pralingga-pralingga yang dibuat khusus untuk melambangkan Sang Hyang Widhi Wasa yang wujudnya seperti pewayangan yang disesuaikan manifestasinya;

b. Tapakan-tapakan seperti misalnya barong, rangda, dan lain sebagainya yang dibuat dengan tujuan supaya dijiwai oleh ista dewata yang mempunyai kekuatan gaib supaya jangan mengganggu di alam semesta;

c. Alat-alat upacara yaitu semua alat yang khusus dipakai dalam upacara keagamaan saja, misalnya kain lelancingan, umbul-umbul dan lain-lain.

Terhadap benda-benda suci seperti yang tersebut dalam butir a dan b terdapat larangan-larangan yang harus ditaati dan bila dilanggar maka kesuciannya akan hilang dan untuk mengembalikan kesucian itu harus diadakan upacara kembali yang disebut upacara panyapuhang.

3. Delik Adat yang Melanggar Kepentingan Pribadi

Jenis pelanggaran ini antara lain meliputi mengucapkan kata-kata kotor atau mencaci seseorang (“memisuh”); memfitnah (“mapisuna”) orang lain; menipu atau berbohong (“mamauk/mogbog”) yang menimbulkan kerugian pada orang lain; menuduh orang lain tanpa

bukti yang jelas (menuduh bisa “ngleak”/menyakiti orang lain), dan sebagainya.

4. Delik Adat karena Kelalaian atau tidak Menjalankan Kewajiban.

Pelanggaran adat ini misalnya: lalai atau tidak melakukan kewajiban sebagai warga/”krama” desa adat, seperti tidak melaksanakan kewajiban “nyahan” desa, tidak hadir dalam rapat (“paruman”) desa, tidak memenuhi kewajiban membayar iuran (“papeson”) untuk kepentingan upacara atau pembangunan, dan lain-lain. Delik adat ini sifatnya ringan, oleh karena itu, biasanya dikenakan sanksi denda yang besarnya sesuai dengan awig-awig yang berlaku di desa adat bersangkutan dan tidak melalui proses peradilan. Semua jenis delict adat tersebut pernah diterapkan dalam peradilan Kerta di Bali semasa jaman penjajahan Hindia Belanda di Indonesia. Dari keputusan-keputusan raad kerta kita mendapatkan kesimpulan bahwa bentuk hukum perdata, terutama hukum waris dan perkawinan menempati skala pelanggaran terbesar dibandingkan bentuk hukum lainnya. Apabila skala pengaruh hukum Hindu terhadap hukum adat ditinjau secara makro, maka kita harus bertolak pada tigs hal pokok yang dipakai tumpuan memahami eksistensi hukum adat Bali secara lebih mendasar. Ketiga hal pokok itu adalah Tri Hita Karana, yakni adanya upaya umum masyarakat untuk berusaha menegakan keseimbangan antar warga masyarakat itu sendiri. Upaya menegakan keseimbangan hubungan masyarakat secara keseluruhan dengan alam Ketuhanan. Berbagai pengaruh hukum Hindu terhadap hukum adat sebagaimana contoh yang dikedepankan di atas, menunjukan skala pengaruh hukum Hindu terhadap hukum adat pada dimensi “Pawongan” dan “Palemahan”. Adanya pengaruh hukum Hindu terhadap hukum adat, tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa hukum adat itu tidak ada. Gede Puja mengatakan, hukum adat haruslah tetap ada, sebagai kaidah yang asli pada masyarakat primer. Namun sejauh ini pembuktian untuk membedakan hukum Adat dengan hukum Hindu, belum banyak dilakukan. Kalau ada, penulisan itu belum sampai melihat kemungkinan bahwa hukum itu bersumber pada hukum Hindu (Pudja, 1977:34).

Komentar

Postingan Terakhir

8-latest-65px

Comments

8-comments